Oleh : Fatharany Berkah Abdul
Barry
(Mahasiswa
Pascasarjana Ilmu Politik Konsentrasi Politik Indonesia
Universitas
Nasional Jakarta)
Politik kekerabatan atau politik dinasti, memang
bukalah fenomena baru dalam alam demokrasi, tetapi belakangan pasca reformasi
98, politik dinasti menjadi salah satu topik perbincangan paling menarik
diranah politik dalam proses demokratisasi di daerah-daerah di Indonesia. Ia
menyita perhatian dalam kaitannnya dengan ketidaksetaraan distribusi kekuasaan
politik sebagai refleksi dari ketaksempurnaan sistem demokrasi representasi,
yang dibenarkan bila demokrasi dilihat semata-mata secara prosedural, tetapi
salah bila dilihat secara substantif. Politik dinasti bertentangan dengan
demokrasi, karena dalam politik dinasti, ada syahwat berlebihan untuk
mengekalkan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan. Sifat alamiahnya adalah
kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di atas garis trah dan
kekerabatan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan, tujuan-tujuan
bersama, keputusan dan kerja-kerja asosiatif. Pengekalan dan pelembagaan
politik dinasti dimungkinkan dengan merajalelanya politik-uang, dan memperbesar
celah korupsi, kolusi dan nepotisme. Demokrasi diubah teksturnya sedemikian
rupa bukan lagi sebagai ruang kontestasi ide, gagasan, program dan ideologi,
melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan
kelompok-kekerabatan. Inilah
tendensi yang disebutkan filsuf Italia Gaetano Mosca, dalam karyanya The
Rulling Class (1980).
Di Indonesia, politik dinasti yang
menempatkan hubungan kekerabatan pejabat sebagai faktor utama dalam suksesi
kepemimpinan begitu tumbuh subur, sebut saja contoh dinasti Yasin Limpo di
Sulawesi Selatan, dimana adik-adik serta anak Gubernur Sulsel Syahrul Yasin
Limpo menduduki posisi Bupati, Anggota DPR, dan DPRD, demikian pula di Banten,
yang mana suami, anak, menantu, dan saudara mantan Gubernur Ratu Atut Chosiyah
ikut berada dalam lingkar kekuasaan. Kaitannya dengan politik dinasti dalam
catatan ini, penulis sekedar mengajak kita berlayar sejenak kepulau hati
(Peling) untuk mengamati kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten
Banggai Kepulauan (Bangkep) 2017 mendatang, karena ditengah hiruk pikuk politik
disana, diantara panasnya klaim perebutan kapal (Partai-red) tentang siapa yang
menjadi nahkoda dan dikapal mana dia, telah usai. Ada 2 (dua) kontestan dari
empat pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati berlabel Dinasti Politik yang tengah berebut hati masyarakat BangKep, yaitu Dinasti MUS yang direfrensentasikan
pada diri Cabup Zainal Mus, dan Dinasti
MALINGONG yang direfresentasikan pada sosok Cabup Irianto Malingong. Kedua
klan itu penulis sebut dinasti karena memenuhi syarat sebagai suatu dinasti
politik. Sebab baik MUS maupun MALINGONG merupakan dua klan (keluarga) yang
sukses membangun kekuatan dan kekuasaan politik di daerah mereka masing-masing,
dinasti MUS di Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara dan dinasti MALINGONG di
Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah.
A.
Perbandingan
Dinasti
Sebelum kita mulai menganalisis soal alotnya
perang dinasti dan peluang kemenangan dari masing-masing dinasti tersebut, mari
kita lakukan kajian komparatif soal plus minus kedua dinasti politik ini. Pada Dinasti
MUS ada Ahmad Hidayat Mus (AHM) kakak Zainal dan Aliong, mantan Bupati
Kepulauan Sula (Kepsul) dua periode sekarang Koordinator Pemenangan Pilkada
Kawasan Indonesia Timur DPP Partai Golkar, lalu Zainal Mus, mantan ketua DPRD
Kepsul dua periode sekarang kontestan di Pilkada Bangkep, dan Aliong Mus,
mantan Anggota DPRD Provinsi Maluku Utara sekarang Bupati Kabupaten Pulau
Taliabo periode 2015-2020, serta Nurohmah Mus, istri AHM, anggota DPR RI komisi
IV dari Fraksi Partai Golkar.
Sementara pada Dinasti MALINGONG ada Irianto
Malingong, kakak dari Sulaeman dan Israfil, Ia mantan Bupati Bangkep, sekarang
ikut kembali menjadi kontestan di Pilkada Bangkep, kemudian ada Sulaeman Husen
Malingong, tiga periode sebagai wakil rakyat, mantan Ketua DPRD Bangkep,
sekarang Wakil Ketua DPRD Bangkep, serta Israfil Malingong, yang juga tiga
periode dikursi legislatif Bangkep, sekarang Wakil Ketua DPRD Bangkep.
Komparasi dari sisi karakteristik politik-kekuasaan,
kedua dinasti ini berbeda, bila kita meminjam istilah dalam strategi permainan sepak
bola, maka dinasti Mus cenderung memiliki karakter politik-kekuasaan yang ofensif
(agresif). Sementara dinasti Malingong memiliki karakter politik-kekuasaan yang
cenderung defensif (bertahan). Karakteristik ini dapat dilihat dari rekam jejak
kekuasaan kedua dinasti politik itu. Dimana, dinasti Mus yang dikomandoi AHM
setelah sukses membangun kekuasaan dinasti politik di Kabupaten Kepulauan Sula,
mereka lalu melakukan perluasan wilayah kekuasaan keluar daerah Kepulauan Sula,
menuju pentas politik regional Malut dan pentas politik nasional. AHM sang
kakak setelah dua periode menjabat Bupati Kepsul, ia naik level dan ikut bertarung
pada Pilkada Gubernur Maluku Utara (Malut) tahun 2013 menantang sang petahana
Abdul Gani Kasuba (AGK) meskipun gagal. Setelah Kabupaten Pulau Taliabo
dimekarkan dari Kepsul pada akhir 2012, giliran kedua adiknya Zainal Mus dan
Aliong Mus yang bertarung secara head to
head di gelaran Pilkada serentak 2015, memperebutkan posisi Bupati pertama
Pulau Taliabo yang berhasil dimenangkan oleh Aliong Mus. Setelah Kalah dari
sang adik Aliong Mus, kini Zainal Mus melintasi tapal provinsi untuk berkontestasi
sebagai Calon Bupati Banggai Kepulauan periode 2017-2022 berpasangan dengan
Rais Adam.
Dari rekam jejak dan komposisi kekuasaan yang
diduduki, dapat kita lihat bahwa dinasti Mus memiliki karakter politik ofensif.
Sementara pada dinasti Malingong, setelah Irianto Malingong sempat terpental
dari kursi kekuasaan pada Pilkada Bangkep 2011 silam, kedua adiknya, Sulaeman
Husen Malingong dan Israfil Malingong, meskipun sebelumnya telah dua periode dilegislatif
Bangkep, namun keduanya tidak melakukan lompatan kekuasaan politik ke level
provinsi dan nasional, entah itu maju berkompetisi sebagai Calon Anggota Legislatif
Provinsi dan Pusat, maupun sebagai Cagub atau Cawagub Sulteng pada Pilkada
serentak 2015, hanya Iriantolah yang sempat mencoba peruntungan maju sebagai
Calon Anggota DPR RI pada pileg 2014 namun gagal, dari rekam jejak ini
menunjukan, bahwa dinasti Malingong memiliki karakter politik defensif.
Simpelnya, dapat dikatakan dinasti Mus bukan
hanya memiliki kualifikasi sebagai jagoan kandang tetapi juga jagoan tandang,
sedangkan dinasti Malingong memiliki kualifikasi sebagai jagoan kandang. Dalam
hidmat penulis, perbedaan karakteristik politik-kekuasaan antara dua dinasti
ini, lebih disebabkan oleh 2 (dua) faktor yaitu Pertama, faktor bawaan budaya lokal yang secara natural membentuk mind sett politik, dalam hal ini tentu berbeda antara kearifan lokal orang kepulauan
Sula-Taliabo dengan orang Sea-sea
Banggai, sehingga membentuk mind sett
dan karakter budaya politik yang berbeda pula antara orang Sula-Taliabo dan orang Sea-sea Banggai. Faktor Kedua, adalah kaitannya dengan budget
politik. Seperti dilansir dari berbagai sumber media online, Dinasti Mus yang dikomdoi AHM, selama
berkuasa diwilayah Kepulauan Sula, bukan hanya sukses membangun kekuatan
politik, tetapi juga sukses membangun imperium ekonomi dinasti hingga menjadi
kaya raya dengan rincian kekayaan yang fantastis. Hasil verifikasi daftar kekayaan
Cagub AHM yang dilakukan oleh KPUD Malut pada gelaran Pilgub 2013, menemukan
total kekayaan AHM kurang lebih Rp.1 triliun, tentu ini berbeda dengan kekayaan
dinasti Malingong apalagi kekayaan pribadi Irianto Malingong.
B.
Ekspansi
dan Perang
Membaca uraian atas karakteristik
dua dinasti politik tersebut, telah dapat dipahami dalam rivalitas ini, dinasti
Mus berposisi sebagai pihak yang melakukan ekspansi kekuasaan (penantang),
sementara dinasti Malingong berposisi sebagai pihak tuan rumah (ditantang)
sehingga terjadilah perang dinasti antara dinasti Mus dan dinasti Malingong.
Perang dinasti ini, syarat gengsi dan emosi, karena bukan hanya pertarungan
antara orang-orang kuat lokal, yang dalam perspektif Joel Migdal disebut local strongmen, tetapi juga ada
fanatisme identitas kedaerahan disana. Tajamnya isu tentang tragedi sejarah
masa lalu (Perang Tobelo), dan isu motif kesombongan politik dinasti Mus sebagai
konglomerat dari negeri Sula Maluku Utara yang hendak menjadikan Pilkada
Bangkep sebagai panggung judi untuk membeli kuasa, “karena tidak tau lagi mau
dikemanakan duitnya”, membuat duel ini menjadi perang pertaruhan kehormatan.
Antara kehormatan dinasti Mus, sebagai dinasti petarung dan penjudi kuasa yang
berani kemana-mana mencari lawan tanding, serta kehormatan dinasti Malingong
sebagai dinasti lokal yang mengakar, dengan atribusi pau lipu yang telah teruji abdinya pada negeri Sea-sea Banggai
Kepulauan.
Inilah perang dinasti bertajuk
Pilkada Bangkep yang menarik di ikuti alur pertempurannya. Sebab bukan hanya
mempertemukan dua aktor refresentatif dari dinasti politik Mus dan Malingong,
yakni Zainal Mus dan Irianto Malingong, tetapi juga mempertemukan dua tokoh politisi
nasional yang saling memberi backing
pada dua figur Calon Bupati tersebut yaitu, Ahmad Hidayat Mus, mantan ketua DPD
I Partai Golkar Provinsi Maluku Utara, sekarang menjabat Koordinator
Pemenangan Pilkada Kawasan Indonesia Timur DPP Partai Golkar, yang
disebut-sebut sebagai salah satu dari orang kepercayaan Abu Rizal Bakrie, berada
dibelakang Zainal Mus. Sedangkan Ahmad Ali, Ketua DPW Partai NasDem Provinsi
Sulawesi Tengah, sekarang menjabat anggota DPR RI, merupakan tokoh NasDem yang
diandalkan Surya Paloh diwilayah Sulawesi Tengah berada dibelakang Irianto
Malingong.
C.
Analisis
Kemenangan
Plus minus kedua figur Calon Bupati,
Zainal Mus dan Irianto Malingong, yang paling mudah diidentifikasi adalah Zainal
Mus mungkin lebih mumpuni dari segi budget
politik daripada Irianto, tetapi ia kurang dari segi kekuatan grassroot (akar rumput), sementara
Irianto Malingong lebih mengakar ditingkat akar rumput, meskipun mungkin kalah
dari kekuatan finansial bila dibandingkan dengan Zainal. Rilis hasil survei
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Indo Barometer masih menempatkan pasangan
calon Irianto Malingong-Hesmon FVL Pandili (IRHES) sebagai pasangan yang paling
diinginkan oleh masyarakat untuk memimpin Kabupaten Banggai Kepulauan lima
tahun kedepan, jauh dari Pasangan Calon Zainal Mus-Rais Adam (ZAMRA). Hal ini
wajar, karena Irianto Malingong adalah mantan Bupati Banggai Kepulauan yang
dinilai telah terbukti dedikasinya dalam pembangunan infrastruktur daerah
selama ia memimpin, sehingga secara popularitas dan elektabilitas beliau sangat
baik. Sedangkan Zainal Mus adalah pendatang baru dalam kancah politik lokal
Bangkep, yang baru mulai membangun citra agar dikenal dan kelak dipilih menjadi
pemimpin Bangkep.
Melihat dari komposisi koalisi
partai pengusung, Paslon ZAMRA yang diusung Partai Demokrat, PKS, Partai Hanura
dan PBB dengan 6 kursi diparlemen, dan Paslon IRHES yang didukung empat partai
koalisi yakni NasDem, PAN, PPP dan Golkar dengan 13 kursi dukungan di DPRD
Bangkep. Secara matematis pasangan IRHES masih jauh lebih unggul, apalagi dua
partai besar pemenang Pileg 2014 yakni PAN dan Golkar masuk dalam koalisi Montolutusan
itu, ditambah lagi ada PDIP, yang meskipun mengusung Pasangan Calon HERI ADJA
tetapi kekuatannya akan terbelah ke IRHES, karena bagaimanapun faktor Israfil Ketua
DPC PDIP Bangkep adalah adik kandung Irianto, sehingga secara psikologi politik
diluar dari upayanya untuk profesional, kecenderungan nuraninya tetap akan ke
IRHES, atau dengan kata lain mesin politik PDIP tidak akan bekerja secara power full kepada Paslon Heri Adja.
Meskipun demikian, bukan berarti Paslon ZAMRA tidak memiliki peluang untuk
mengkudeta semua analisis keunggulan IRHES tersebut.
Dimata penulis tiga Pasangan Calon
Bupati dan Wakil Bupati yang menjadi penantang IRHES yakni Zainal Mus-Rais Adam (ZAMRA), Heri
Ludong-Adjumain Lumbon (HERI ADJA) yang diusung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra,
serta Delmard Siako-Nadjib Bangunan (DESA MEMBANGUN) dari jalur perseorangan. Pertama,
yang paling potensial merusak peluang kemenangan IRHES adalah ZAMRA, karena secara finansial paslon ini dinilai
sangat siap, bahkan informasi Rp.500 ribu perkepala untuk setiap konstituen
yang bersedia menjatuhkan pilihan kepada Paslon ZAMRA sudah ramai diwacanakan
oleh tim suksesnya. Posisi kedua dan ketiga yang berpeluang menggagalkan kemenagan
IRHES dan juga ZAMRA adalah Paslon Desa Membangun dan Paslon Heri Adja.
Menempatkan ZAMRA sebagai paslon
yang paling potensial merusak peluang kemenangan IRHES dengan pertimbangan
“uang” cukup beralasan, meskipun uang memang tidak menjadi jaminan kemenangan.
Tetapi karakteristik dinasti Mus seperti diuraikan diatas, cenderung hard (keras) berani melakukan perjudian
politik secara terbuka dalam bentuk money politics, tidak seperti gaya tarung pasangan
calon lain yang lebih soft (lembut).
Lihat saja bagaimana kampanye “bagi-bagi duit” Ahmad Hidayat Mus (AHM) yang diunggah
salah satu akun media sosial youtube pada Pilgub Maluku Utara 2013 yang berbuah
ricuh, atau gaya teranyar Zainal Mus yang memborong semua jenis dagangan ikan
dan sayuran di pasar Salakan (Bangkep) untuk dibagikan kepada warga. Sebuah bentuk
parade kekuatan finansial yang siap dilakukan untuk menghadang setiap lawan
politik di Pilkada kali ini, terutama IRHES. Yang pasti maestro dinasti Mus
yakni AHM, pemilik Klub Kuda Pacu Taliabo di arena Pacuan Kuda Pulomas
Jakarta Timur dengan ratusan kuda pacu bernilai miliaran rupiah, serta pemilik
sejumlah mobil mewah bermerek Toyota Alphard Vellfire, Audi Q7, Land Cruiser
Cygnus (Deliknews.com), akan habis-habisan memback-up
sang adik Zainal Mus untuk menangkan pertarungan di Pilkada Bangkep.
Secara gengsi, tentu akan berbeda beck-up yang diperoleh IRHES dari Ahmad Ali, dengan back up politik yang diberikan AHM
kepada Zainal Mus, karena relasi AHM dan Zainal Mus adalah relasi biologis
antara adik dan kakak, sehingga kekuatan maksimum akan diberikan. Sedangkan
relasi Ahmad Ali dan Irianto Malingong hanyalah relasi politik, Partai NasDem
sebagai partai pertama yang menyatakan dukungannya kepada Paslon IRHES. Memang
telah terlihat, bagaimana peran penting seorang Ahmad Ali dalam membantu
Irianto melakukan negosisi kepada sejumlah DPP partai politik pengusung yang
berbuah Surat Keputusan dukungan. Pada konteks dukungan maksimum, mungkin back up link dan lobi-lobi politik lebih dominan, dibandingkan dengan
dukungan budget politik, tetapi bila
Ahmad Ali melihat bahwa duel ini bukan sekedar duel Zainal Mus dan Irianto
Malingong, melainkan duel yang mempertaruhkan reputasi dirinya (Ahmad Ali-red)
sebagai salah satu orang kuat (local
strongmen) di Sulawesi Tengah khususnya dikawasan Timur Sulawesi dengan AHM
sebagai salah satu orang kuat di Maluku Utara, maka menurut penulis pertarungan
ini akan berimbang dan habis-habisan.
Tentu bukanlah berlebihan, bila penulis menyebut, pertarungan ini
adalah pertarungan pemanasan antara dua Ahmad jelang Pilgub Sultim, bila memang
Provinsi Sulawesi Timur dapat lahir dalam waktu satu atau dua tahun kedepan. Sebab
jika menilik dari karakteristik dinasti Mus yang ofensif dan gemar melakukan
ekspansi politik, maka bila Zainal Mus memenangi Pilkada Bangkep dan Sultim
terealisasi dalam kurun waktu dekat ini, kehadiran Ahmad Hidayat Mus digelanggang
politik Sultim sebagai Calon Gubernur menantang Ahmad Ali dan nama lain seperti
Anwar Hafidz dan Ma’mun Amir bukanlah isapan jempol.
Tetapi catatan terpenting dari ujung artikel ini adalah: kehadiran
paslon ZAMRA di Pilkada Bangkep yang akan dihelat Februari 2017 mendatang,
menjadi ujian apakah benar IRHES diinginkan kembali oleh masyarakat Bangkep
untuk memimpin atau tidak,? apakah benar IRHES memiliki akar konstituen
ideologis yang sangat kuat sehingga tidak akan tergoyahkan dengan serangan
politik uang,? atau sejauh mana efektifitas pencerahan politik yang dilakukan
pasangan ini dalam membentengi dan merasionalisasikan simpatisannya agar tidak
tergoda dan mengalihkan dukungannya, seperti menolak pemberian uang, atau
menerima pemberian uang tetapi tidak menjatuhkan pilihan pada paslon pemberi
uang dan sebagainya. Hasil dari Pilkada Bangkep nantinya, sekaligus akan
menjadi jawaban atas kultur dan karakteristik pemilih kita masyarakat Banggai
Kepulauan, apakah pemilih ideologis-rasional atau pemilih pragmatis-irasional.
(****)