Rabu, 30 Januari 2013

MELURUSKAN SEJARAH BANGGAI


Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry
(Pemerhati Sejarah Banggai)


Tema diatas sengaja penulis ambil menjadi judul dalam tulisan ini sebagai simbolisasi pesan dan nilai yang terkandung dan coba akan penulis uraikan secara lugas dalam catatan ini. Mengingat dalam perjalannya, sejarah Banggai telah mengalami penyesatan akan kebenarannya, baik penyesatan yang dilakukan oleh mereka yang mengaku sesepuh dan tokoh adat Banggai maupun penyesatan yang dilakukan oleh sejumlah sejarawan lokal dalam penyusunan buku sejarah Banggai yang kemudian dijadikan referensi antar generasi dalam mempelajari sejarah Banggai. Penyampaian pesan sejarah yang kurang mendalam dan cenderung tidak transparan akhirnya menjadikan pengetahuan generasi Babasal akan sejarahnya sendiri hanya secara parsial. Bicara soal sejarah Banggai tentunya kita tidak akan luput bicara sol kerajaan Banggai. Dalam tulisan ini penulis coba mengklasifikasikan sejarah Banggai dalam dua periode, dimana periode pertama adalah periode doeloe yaitu BATOMUNDOAN BANGGAI (Kerajaan Banggai) yang meliputi fase kerajaan Banggai klasik dan fase kerajaan Banggai moderen. Sedangkan periode kedua adalah periode kekinian yakni BATOMUNDOAN ADAT BANGGAI (Kerajaan Adat Banggai).

Pemisahan periode dengan menggunakan terminologi Batomundoan Banggai dan Batomundoan Adat Banggai peting kiranya guna memperjelas status dan ruang Batomundoan Banggai yang merupakan masa kerajaan Banggai sejati dan Batomundoan Adat Banggai yang merupakan masa Kerajaan Adat Banggai atau kerajaan Banggai replika yang eksis saat ini. Perbedaannya bukan hanya pada status. ruang dan waktunya yang berbeda, tetapi pada fungsi dan peran sang pemegang kepemimpinan. Dimana pada era Batomundoan Banggai doeloe, Tomundo merupakan pemimpin pemerintahan (kerajaan) yang menjalankan fungsi penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif), sedangkan Basalo Sangkap sebagai dewan pertimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan (legislatif). Sedangkan era  Batomundoan Adat Banggai saat ini, Tomundo hanya merupakan pemimpin masyarakat adat yang menjalankan fungsi pelestarian budaya peninggalan era Batomundoan Banggai tempo dulu.    

1.    Periode Batomundoan Banggai (Kerajaan Banggai)

Bila kita mengurai sejarah peradaban Batomundoan Banggai atau Kerajaan Banggai, maka kita akan bicara tentang dua fase peradaban Kerajaan Banggai yaitu fase Kerajaan Banggai klasik dan fase Kerajaan Banggai moderen. Dimana fase peradaban Kerajaan Banggai klasik diawali dari sebuah legenda kuno tentang suatu banjir besar yang rumit untuk diuraikan dengan kalimat dan dicerna dengan logika ilmiah. Tetapi intinya bahwa kerajaan Banggai klasik telah ada dan dikenal sekitar abad ke 13 masehi dengan nama Benggawi, diera kejayaan Kerajaan Mojopahit dibawah pimpinan Prabu Hayam Wuruk (1351-1389) dimana kerajaan Banggai saat itu telah menjadi bagian dari kerajaan Mojopahit, sebagaimana disebut pada seuntai syair dalam buku Nagara kertama karya Mpu Prapanca. Dalam struktur Kerajaan Banggai klasik menurut Dr.Alb.C.Kruyt dalam studinya De Vorsten van Banggai, kerajaan Banggai kala itu dipimpin oleh seorang raja yang bergelar ADI yang tinggal di Linggabutun yang terletak digunung Bolukan (sekarang Padang Laya) dan empat orang yang merupakan suatu dewan penasehat bagi ADI dan diberi gelar TOMUNDO SANGKAP yang masing-masing mempunyai kekuasaan tertentu yaitu Olu/Babolau, Lombongan/Katapean, Singgolok dan Kokini, sehingga orang bicara Tomundo dari Olu/Babolau, Lombongan/Katapean, Singgolok dan Kokini. Mereka inilah sejatinya pendiri Kerajaan Banggai. Secara berturut-turut disebut empat orang Adi yang memerintah sebelum seorang Adi Lambal Polambal memerintah. Adi Lambal Polambal menjadi raja terakhir fase Kerajaan Banggai klasik, selama ia memerintah sering terjadi perselisihan antar saudara diantara empat raja kecil (tomundo Sangkap) yang merupakan dewan penasehat bagi Adi, yang sukar untuk didamaikan oleh Adi Lambal Polambal.

Pada masa pemerintahan Adi Lambal Polambal inilah muncul seorang bangsawan dari tanah Jawa yang merupakan panglima perang Sultan Baabullah dari Kerajaan Ternate bernama Adi Cokro alias Adi Soko. Adi Cokro kemudian hadir sebagai sosok pembawa kedamaian atas gejolak internal Kerajaan Banggai, sehingga karena kebijaksanaannya, Adi Lambal dan keempat tomundo tersebut menawarkan pemerintahan kepadanya. Karena identitasnya sebagai sebagai seorang panglima perang Kesultanan Ternate inilah yang kemudian melegitimasi  kerajaan Banggai sebagai bagian dari taklukan Kesultanan Ternate, meskipun Adi Cokro hadir tidak dengan cara konfrontasi militer melainkan menjalankan misi penyebaran agama islam. Adi Cokro kemudian naik tahta menjadi raja Banggai dengan gelar MBUMBU, sejak itulah gelar adi menghilang digantikan dengan mbumbu yang kemudian dikombinasikan dengan tempat mereka meninggal dan dikuburkan seperti Adi Cokro mbumbu doi Jawa yaitu raja yang meninggal di Jawa dan Mbulang mbumbu doi Balantak, yaitu raja yang meninggal di Balantak dll.

Masa Adi Cokro memimpin disinalah menjadi fase awal peradaban Kerajaan Banggai moderen, ia kemudian dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai moderen  setelah beliau sukses memperluas wilayah Kerajaan Banggai (klasik) yang sebelumnya hanya meliputi wilayah Pulau Banggai saja menjadi kerajaan utama (primus inter pares) dari beberapa kerajaan yang ada dengan menundukan kerajaan – kerajaan di Pulau Peling seperti Kerajaan Tokolong (Buko), Lipu Babasal (Bulagi), Sisipan, Liputomundo, Kadupang dan Kerajaan Bongganan, hingga sampai ke jazirah timur daratan Sulawesi dengan menaklukan Kerajaan Tompotika, Bola, Lowa, dan Kerajaan Gori-gori yang kemudian disebut wilayah Banggai darat (sekarang Kab.Banggai). Ia kemudian mengatur pemerintahan atas daerah-daerah kekuasaannya serta membawa masuk agama islam diseluruh wilayah kekuasaan kerajaan Banggai. Pulau Banggai tetap dijadikan pusat pemerintahannya, sementara itu Adi yang terakhir yaitu Adi Lambal Polambal diangkat kembali sebagai pelaksana pemerintahannya dengan memberi kepadanya jabatan JOGUGU, sedangkan dewan penasehat, yaitu keempat raja (tomundo) kecil juga mendapat gelar kehormatan PAU BASAL / BASALO yang lebih rendah dari tomundo dan memberi mereka nama-nama baru seperti Olu menjadi Doduung, Kokini menjadi Tanobonunungan, Singgolok menjadi Monsongan, dan Lombongan menjadi Gonggong. Sehingga bekas tomundo Olu menjadi Pau Basal Doduung dst.

Sebutan Pau Basal yang dalam bahasa berarti “anak besar” dianggap sebagai satu gelar kehormatan, karena membentuk suatu hubungan antara bapak-anak antara Mbumbu dengan keempat Pau Basal itu, daerah kekuasaan mereka ditentukan kembali dari gunung Bolukan dimana sang raja membangun sebuah istana untuk salah seorang istrinya. Tetapi dalam pembagian daerah itu diatur sedemikian rupa sama seperti para bapak leluhurnya, yakni para Tomundo. Keempat Pau Basal sangat dihormati oleh Mbumbu dan para penerusnya, mereka merupakan suatu dewan penasehat, yang pengaruhnya sama luasnya dengan kekuasaan Mbumbu.

Selain itu Adi Cokro juga meletakan suatu struktur tata pemerintahan yang demokratis, yang terdiri dari Eksekutif dan Legislatif. Dimana raja sebagai pucuk pimpinanan kekuasaan kerajaan dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh empat orang staff eksekutif atau dewan menteri yang dikenal dengan sebutan KOMISI SANGKAP yang terdiri dari : (1). Mayor Ngopa atau Raja Muda; (2). Kapitan Laut atau Kepala Angkatan Perang; (3), Jogugu atau Menteri Dalam Negeri; (4). Hakim Tua atau Pengadilan. Komisi empat ini ditunjuk dan diangkat oleh raja yang sedang bertahta. Sedangkan sebagai Badan Legislatif atau Dewan Penasehat adalah empat Pau Basal yang sekarang disebut BASALO SANGKAP yaitu (1).Basalo Babolau (Doduung); (2). Basalo Kokini (Tanobonunungan); (3). Basalo Singgolok (Monsongan); (4). Basalo Katapean (Gonggong). Dewan penasihat atau Badan Legislatif Dewan Basalo Sangkap  di ketuai oleh Basalo Babolau yang bertugas melakukan pemilihan setiap bangsawan untuk menjadi raja. Begitu pula untuk melantik seorang raja, dilakukan di hadapan Basalo Sangkap. Basalo Sangkap yang akan melantik raja, lalu meriwayatkan secara teratur sejarah raja-raja Banggai secara berurut, kemudian disebutkan calon raja yang akan dilantik, yang kepadanya dipakaikan mahkota kerajaan sebagai simbol bahwa yang bersangkutan resmi menjadi raja pemimpin kerajaan Banggai. Keempat Basalo ini sangat dihormati oleh mbumbu dan para penerusnya, mereka merupakan suatu dewan penasehat yang pengaruhnya sama luasnya dengan kekuasaan Mbumbu.

Karena suatu hal, Adi Cokro kembali ke tanah Jawa, akibatnya kerajaan Banggai mulai mengalami kekacauan dan kevakuman pemerintahan yang cukup panjang. Dalam desertase Banggaische Adatrecht oleh Dr.JJ.Dormeier disebutkan bahwa pasca  Adi Cokro, ada delapan orang Mbumbu berturut-turut yang memerintah Kerajaan Banggai. Tiga diantaranya tercatat sebagai Mbumbu dinaadat atau raja yang dibunuh. Krisis panjang ini baru berarkhir setelah putera Adi Cokro Maulana Prins Mandapar memerintah. Setelah ayahnya, Mandapar kemudian dianggap sebagai Raja Banggai pertama dan yang terbesar, ia kembali menegakkan kekuasaannya diseluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai, mulai dari Pulau Sonit sampai ke Balingara dan dari Rata sampai ke Teluk Tomini serta mendirikan suatu pemerintahan pusat di Banggai.

Sejak dari Raja Mandapar silsilah raja-raja Banggai telah teratur sebagai berikut : 1. Maulana Prins Mandapar Mbumbu doi Godong (1600-1630); 2. Molen Mbumbu doi Kintom  (1630-1648); 3. Paudagar Mbumbu doi Benteng (1648-1689), 4. Mbulang Mbumbu doi Balantak (1689-1705); 5. Abdul Gani Mbumbu doi Kota (1705-1728); 6. Abu Kasim Mbumbu doi Bacan (1728-1753); 7.Kabudo Mbumbu doi Mendono (1753-1768); 8. Ansyara Mbumbu doi Padongko (1768-1773); 9. Manduis Mbumbu doi Dinaadat (1773-1809); 10. Agama Mbumbu doi Bugis (1809-1821); 11. Atondeng Mbumbu doi Galela (1821-1827); 12. Lauta Mbumbu doi Tenebak (1827-1847); 13. Taja Mbumbu doi Sau (1847-1852); 14. Tatu Tanga Mbumbu doi Jere (1852-1858); 15. Soak Mbumbu doi Banggai (1858-1870); 16. Nurdin Mbumbu doi Labasuma (1870-1882); 17. Tomundo Hi. Abdul azis (1882-1900); 18. Tomundo Hi. Abdul Rahman (1901-1922); 19. Tomundo Hi.Awaludin (1925-1940); 20). Tomundo Nurdin Daud (1940-1959). Inilah deretan raja Banggai yang sah dan legal secara kontitusional dalam episode perjalanan sejarah Batomundoan Banggai.

Adapun mengenai status dan posisi Syukuran Aminudin Amir dalam sejarah Kerajaan Banggai bukanlah Tomundo yang terlegitimasi secara utuh dan sah oleh tata aturan hukum formil kerajaan Banggai, melainkan hanya sekedar sebagai Pelaksana tugas harian Tomundo Banggai tatkala Tomundo Banggai Nurdin Daud yang yang baru berusia 12 tahun dikukuhkan oleh Basalo Sangkap pada tahun 1939 pasca mangkatnya Tomundo Awaludin sebagai tomundo Banggai ke 19. Namun karena mengingat usia raja Nurdin Daud yang terlalu belia untuk melaksanakan tugas kerajaan maka ditunjuklah S.A.Amir yang saat itu menjabat sebagai Mayor Ngofa sebagai pelaksana tugas (Plt). Namun kemudian amanat itu dibajak dengan mengukuhkan diri sebagai Tomundo yang legal meskipun tanpa restu dan tidak melalui pengukuhan oleh Basalo Sangkap sebagaimana ketentuan konstitusi kerajaan Banggai.

Belum cukup sampai disitu pada tahun 1941 rekayasa sejarah Kerajaan Banggai  itupun dimulai, setelah mengukuhkan dirinya sebagai Tomundo. Mengingat posisinya di dalam keraton kerajaan Banggai di Banggai yang tanpa legitimasi konstitusional sehingga tidak mendapat pengakuan dari Dewan Basalo Sangkap kala itu, maka atas dukungan kerjasamanya dengan Belanda yang berada di Luwuk S.A. Amir  kemudian dengan berani memindahkan ibu kota kerajaan Banggai ke Luwuk meskipun tanpa izin dan restu dari raja muda Nurdin Daud dan Dewan Penasehat Basalo Sangkap. Ia kemudian menyebut dan menamakan suatu tempat yang berlokasi didalam kota Luwuk dengan nama Keraton. Rekayasa ini seakan-akan bahwa kerajaan Banggai benar-benar telah mempunyai bangunan keraton sendiri di kota Luwuk sebagai pusat pemerintahan kerajaan Banggai yang baru.
Akhir periode Batomundoan Banggai atau Kerajaan Banggai adalah ketika terjadi peralihan status wilayah Banggai dari sistem swapraja Banggai menjadi daerah tingkat II (Dati II) Banggai. 

2.    Periode Batomundoan Adat Banggai (Kerajaan Adat Banggai)

Ada pihak yang kemudian memandang miris upaya pelestarian budaya dan adat  Banggai yang menggunakan simbol dan icon seperti layaknya era Batomundoan Banggai, dengan argumentasi Banggai saat ini bukan lagi merupakan bagian dari sistem pemerintahan monarki  yang otonom seperti dulu, tetapi Banggai merupakan bagian dari sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga penggunaan simbol-simbol kerajaan dipandang hanyalah merupakan reaktualisasi image kelompok bangsawan untuk kepentingan pencitraan pribadi dan keluarganya guna mendapatkan kembali pengakuan dan penghargaan publik semata sebagai orang ningrat, dengan segala kepentingan yang disisipkan dibalik citra sebagai kaum feodalis itu. terlepas benar atau tidaknya argumentasi minor tersebut, namun yang pasti sejarah memeliki posisi penting dalam perjalanan peradaban suatu bangsa. Itulah sebabnya sehingga sang pendiri republik ini, Soekarno pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, olehnya itu jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jasmerah).

Inilah pesan keramat yang kini dimanifestasikan oleh masyarakat adat Banggai dalam wujud Batomundoan adat Banggai yang ditandai dengan masuknya Batomundoan adat Banggai dalam Forum Silaturahmi Keraton se Nusantara (FSKN sebagai anggota ke 118. Dimana keberadaan Batomundoan Banggai hanyalah merupakan upaya konkrit untuk melestarikan budaya Banggai pada khususnya dan nusantara pada umumnya.  Sehingga kurang tepatlah kiranya jika sekarang dalam menyebut langkah pelestarian budaya ini dengan menggunakan istilah Batomundoan Banggai (kerajaan Banggai), tetapi yang tepat adalah Batomundoan Adat Banggai (Kerajaan Adat Banggai) karena era sekarang bukanlah era masa lampau, melainkan hanya era yang mereflesikan kearifan masa lampau demi tujuan pelestarian adat dan budaya banggai itu sendiri. tetapi dengan cara penggunaan mekanisme dan atribut-atribut budaya dan adat masa lampau. Inilah yang sekarang sebagai simbol sejati adat Babasal. Dimana yang dinobatkan sebagai Tomundo Banggai dan merupakan simbol dan pemimpin adat banggai adalah tomundo yang dikukuhkan sesuai tatacara pengukuhan raja-raja banggai sebelumnya. Seperti pengukuhan tomundo Iskandar Awaludin Zaman sebagai pengganti Raja Banggai sejati (era kerajaan) Nurdin Daud. Kemudian ia diagantikan oleh puteranya Moh.Fikran Zaman sebagai simbol dan pemimpin adat Babasal yang ke 22. Namun karena masih muda dan sedang menuntut ilmu maka ditunjuklah Irwan Zaman sebagai Tomundo Batomundoan adat Banggai yang legal. Olehnya itu dapat disimpulkan bahwa Tomundo sebagai pemimpin dan simbol adat yang sah dan legal sesuai dengan mekanisme keadatan adalah Moh.Fikran zaman/Plt Irwan Zaman bukan Moh.Chair Amir atau Hideo Amir. Sama seperti Raja Banggai terakhir bukan Syukuran Aminudin Amir melainkan Nurdin Daud.*

NB: Catatan ini pernah di publikasikasikan pada media massa local (Majalah Pelita) medio Maret 2012.

Sabtu, 19 Januari 2013

MEMBACA PELUANG INCUMBENT (Analisis Terhadap Potensi Kemenangan IRES)


Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry
Sekretaris Jenderal Pemuda Montolutusan

Terminologi Incumbent sering terdengar dan familiar pada setiap momentum demokrasi yang dihelat untuk kepentingan sebuah transisi kepemimpinan yang menunjukan tentang figur orang atau tokoh penguasa yang ikut kembali menjadi kontestan politik, baik itu dalam bentuk pemilihan presiden, gubernur dan bupati atau wali kota, seperti SBY incument pada pilpres 2009, H.B. Paliudju/Achmad Yahya, Ma’mun Amir / Musdar Amin yang merupakan incumbent pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Propinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Banggai, 6 April silam, meskipun keempatnya tidak bersanding lagi sebagai pasangan Cagub/Cawagub dan Cabup/Cawabup dimasing-masing tingkatan wilayahnya. Hal inipun sama seperti yang terlihat pada pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Banggai Kepulauan yang menyuguhkan tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati termasuk Irianto Malingong dan Ehud Salamat dengan merek sebagai incumbent.
Dalam setiap tingkatan proses transisi demokrasi kepemimpinan incumbent selalu menjadi obyek diskusi dan analisa banyak orang yang menarik untuk diperbincangkan. Alasannya sederhana karena sebagai orang yang sedang berkuasa, kiprahnya selama memimpin menjadi obyek evaluasi rakyat (konstituen) dalam memberikan raport akhir, apakah nilainya baik atau buruk yang berimplikasi pada sebuah konklusi dan sikap politik yaitu LANJUTKAN atau HENTIKAN. Disinilah reputasi dan elektabilitas seorang incumbent diuji, apakah masih mendapat apresiasi dari rakyat atau tidak, atau masih tuluskah rakyat mencintainya atau tidak?. Itulah yang coba ditelisik oleh penulis dalam tulisan ini dengan menyajikan praktek kepemimpinan dan fakta-fakta kehidupan di bumi Banggai Kepulauan era kepemimpinan Ires selama lima tahun. Sebab dari ketiga pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Banggai Kepulauan yakni Lania Laosa-Zakaria Kamindang (LAZKAR), Abubakar Nophan Saleh-Haran Pea (ANSHAR) dan Irianto Malingong-Ehud Salamat (IRES) bagi banyak kalangan kans kalah menang ketiganya menarik untuk diamati dan dikaji, tetapi bagi penulis tidak ada yang paling menarik untuk ditelaah soal peluang menang kalahnya selain pasangan Ires, dalihnya sama Ires adalah incumbent. Karena bagi penulis kajian evaluatif yang berkonklusi akhir pada respect or disrespect public berdasarkan pengalaman atas karakter dan realitas kepemimpinan pemimpin yang selama ini dilihat dan dirasakan kiranya lebih obyektif, jika dibandingkan dengan mengevaluasi karakter orang yang belum dirasakan kepemimpinannya atau baru hendak memimpin. Dalam konteks ini, tentunya kita akan bicara soal plus minusnya Ires yang komparatif dengan fakta-fakta kehidupan di Bumi Montolutusan dengan orientasi analogi memberikan kesimpulan yang logis dan faktual kepada publik Banggai Kepulauan sebagai rahim demokrasi dalam melahirkan pemimpin yang jujur. Berikut rujukan evaluasi progresif dan regresif yang akan dieksplorasi secara lugas dalam catatan ini.
A.   Rujukan Evalusi Progresif
Ada dua hal yang selama ini sangat dibanggakan oleh rezim Ires maupun para penghamba setianya, yaitu soal kesuksesan peralihan ibu kota Kabupaten Banggai kepulauan dari kota Banggai ke Desa Salakan, serta banyaknya pembangunan fisik berupa gedung perkantoran dan panjangnya ruas jalan raya yang telah diaspal oleh rezim Ires sehingga diklaim sebagai prestasi akbar yang sangat spektakuler dan menjadi ukuran keberhasilan selama kepemimpinannya, khususnya dari segi pembangunan. Yang perlu digaris bawahi dari klaim keberhasilan itu adalah adanya indikasi penyesatan mind sett berpikir masyarakat awam bahwa realiasai pengalihan ibu kota itu karena semata-mata berkat rezim Ires, bukan karena berangkat dari adanya amanat pasal 11 Undang-undang nomor 51 tahun 1999, sehingga melahirkan asumsi bahwa “Irianto(Ires)lah yang pindahkan Ibu kota” dengan menapikan keberadaan amanat konstusi. Padahal secara yuridis Ires tidak memiliki legitimasi untuk memindahkan ibu kota tanpa adanya pijakan hukum,  mungkin kalau dalam kapasitasnya sebagai pimpinan daerah ia berperan dalam hal itu, benar. Namun tidak berarti Ireslah yang memindahkan ibu kota ke Salakan, sehingga semua masyarakat di wilayah pulau Peling yang merasa dimudahkan secara geografis harus memujanya secara berlebihan, dengan menapikan empat nyawa saudaranya yang meregang bersimbah darah akibat kebijakan tersebut. maksudnya realisasi pengalihan ibu kota itu hanya soal “kepatuhan” terhadap amanat pasal 11 atau dengan kata lain siapapun yang menjadi Bupati Banggai Kepulauan akan bisa melaksanakan kebijakan itu ketika ia memiliki komitmen untuk mematuhi anjuran konstitusi. 
Begitu halnya dengan banyaknya bangunan fisik berupa gedung perkantoran, panjang lebarnya jalan beraspal atau yang berjalur dua dan sebagainya, tidak dapat dijadikan sebagai parameter kesuksesan kepemimpinan, apalagi sampai dijadikan sebagai ukuran kesejahteraan masyarakat Banggai Kepulauan. Sebab kesuksesan kepemimpinan seseorang khususnya dalam hal pembangunan tidak hanya diukur dari berapa banyak fasilitas umum dan perkantoran yang berhasil ia dirikan atau sebapa lebar dan panjangnya jalan raya yang berhasil diaspal, tetapi juga meliputi seberapa besar pertumbuhan ekonomi suatu daerah sehingga memberikan dampak positif terhadap incam perkapita masyarakat dari berbagai sektor, serta seberapa nyamankah rakyat/masyarakat dengan karakter dan metode kepemimpinan pemimpinya dalam makna yang sebenarnya, bukan nyaman dalam makna yang dimanipulasi untuk kepentingan pencitraan atau pembentukan opini positif dibalik realitas negatif yang mengelisahkan rakyat.
B.   Rujukan Evaluasi Regresif
Dibalik dari dua aspek tadi yang menjadi rujukan utama dari sekian banyak klaim prestasi Bupati Banggai Kepulauan Irianto Malingong yang selama ini dijadikan jargon kesuksesan kepemimpinannya, sayangnya komitmen pelaksanaan pemerintahan yang bersih bebas dari paktek KKN tidak menjadi komitmen kepemimpinannya, hal ini terlihat dari adanya sejumlah skandal korupsi, kolusi dan nepotisme dilingkungan Pemda Bangkep yang telah menjadi rahasia publik, bagaimana wajah kepemimpin Bupati Banggai Kepulauan dibalik topeng pembangunan fisik dan pencitraan di media massa yang tidak proporsional dan realistis.
Problem hukum yang paling sensasional dalam perjalan kepemimpinan Ires adalah perkara dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan peralatan medik berupa Oxygen Generator dan instalasi Gas Medis Flowmeter With Humidifier  pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banggai tahun 2007/2008 silam senilai Rp.4 miliar dengan tersangka/terdakwa Kepala Dinas Kesehatan dan Sosial Bangkep dr.Syahrullah K. Ngongo bersama Direktur Utama CV.Tunas Bhakti Nusantara Iswandi Ilyas alias Dede rekanan pelaksana proyek tersebut yang dilaksanakan dalam dua tahap yakni pertama pengadaan Oxygen Generator dengan sumber dana dari DIPA APBN Satuan Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Banggai Kepulauan nomor : 1622.0/024-04.1/2007 tertanggal 31 Desember 2007 senilai Rp. 2 Miliar yang diusulkan Dinkesos Bangkep sesuai surat usulan revisi nomor 440/01.A tanggal 3 Januari 2007. Sedangkan tahap kedua adalah pengadaan Instalasi Gas Medis Flowmeter With Humidifier yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Penyeimbang (dana Adhoc) dibidang kesehatan sebesar Rp.2 miliar sesuai DIPA nomor 0165.0/071-03.2/2007 tertanggal 4 April 2007, dengan total kerugian negara ditaksir sekitar Rp.2,3 miliar.
Dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Propinsi  Sulawesi Tengah maupun hasil penyidikan pihak penyidik Kepolisian Resort (Polres) Banggai Kepulauan terungkap dugaan penyimpangan terhadap Kepres No.80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Kadinkesos Bangkep Syahrullah K.Ngongo beserta Iswandi Ilyas rekanan yang mendapat proyek pengadaan oksigen sentral tanpa proses tender melainkan dengan penunjukan langsung berdasarkan surat perjanjian atau kontrak nomor 900 tanggal 7 Maret 2007 antara Kadinkesos Bangkep dan direktur utama CV.Tunas Bhakti Nusantara. Selain itu dalam proses penyidikan di Polres Bangkep terkuak pula dugaan adanya “KETERLIBATAN” Sulaeman Husen dan Bupati Bangkep Irianto Malingong yang notabene bersaudara.
Indikasi Keterlibatan Sulaeman Husen ini sebagaimana kesaksian Yusak Siahaya,SH Penasehat hukum tersangka saat mendampingi klienya dr.Syahrullah ketika menjalani pemerikasaan di Polres Bangkep yang menyatakan bahwa Wakil Ketua DPRD Bangkep kala itu Sulaeman Husen “keciprat” dana segar sebesar 10 persen atau sekitar Rp.400.000 dari total anggaran Rp.4 Miliar atas proyek dimaksud yang diterimanya dari kontraktor Dede, pengakuan klienya ini menurut Yusak pun tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Sementara indikasi keterlibatan Bupati Bangkep terungkap dalam penyelidikan dugaan penyimpangan lanjutan yang dilakukan pihak penyidik, dimana keterlibatan Irianto Malingong selaku Bupati terkait dengan pemberian persetujuan atas usulan revisi dari nama kegiatan oxygen central yang dirubah menjadi lanjutan pekerjaan instalasi gas medis dan pengadaan oxygen flowmeter with humidifier pada tanggal 30 Oktober 2007 yang diusulan dinkesos Bangkep, sayangnya penyidik tidak memiliki konsistensi untuk menindak lanjuti hal itu dalam bentuk pernohonanan izin kehadapan Presiden RI untuk meminta keterangan terhadap pejabat daerah Bupati Bangkep yang ikut menyetujui revisi nama kegiatan tersebut. 
Meski ditingkat penyelidikan dan penyidikan terdapat sejumlah indikasi keterlibatan penguasa daerah yang cukup meyakinkan dalam perkara ini, namun gelar perkara yang dipersidangkan di Pengadilan Negeri Luwuk, majelis hakim yang dipimpin oleh kepala PN Luwuk sendiri Nursyam,SH,M.Hum justru memberikan vonis bebas bagi kedua terdakwa dengan dalih tidak cukup bukti/meyakinkan kedua terdakwa melakukan kesalahan sebagaimana yang jeratkan oleh JPU serta tidak ditemukan adanya kerugian keuangan daerah /negara dalam kasus ini. Ironisnya lagi walaupun sempat diperiksa oleh pihak peyidik Polres Bangkep nama Sulaeman Husen yang disebut oleh terdakwa dr. Syahrullah dalam BAPnya ikut menikmati 10 persen dari proyek itu, sebagaimana kesaksian kuasa hukumnya Yusak Siahaya tiba-tiba “hilang” dalam konsederan BAP setelah berkas perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Luwuk. Indikasi “ada udang dibalik batu” kian nampak ketika berlarut-larutnya proses pelimpahan berkas perkara ke PN Luwuk, spekulasi adanya pengebirian konsederan BAP yang mencantumkan keterlibatan Sulaeman semakin kuat, ketika selama proses persidangan nama Sulaeman Husen tidak lagi disebut termasuk oleh kedua terdakwa, apalagi dihadirkan untuk memberikan kesaksian didepan persidangan. Hal ini tentunya sangat kontras dengan keterangan terdakwa Syahrullah sebelumnya dalam BAP sebenarnya. Dan inilah kemenangan pertama dalam mempertahankan image orang besar dalam kekuasaan Bangkep yang tidak dapat dijamah oleh hukum, namun bagi penulis vonis bebas kedua terdakwa merupakan garansi yang ideal bagi dr. Syahrullah dan Dede karena mereka “memegang kartu joker”.
Mungkin juga masih ada dalam ingatan kita bagaimana polemik dana Rapel ± Rp.8 miliar yang menjadi hak sekitar 600 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terangkat pada tahun 2006 dan 2007 yang diduga tidak dibayarkan, belakangan terendus adanya indikasi penyelesaian masalah itu dengan cara pemberian opsi dilematis kepada para PNS antara memilih SK 100% atau dibayarkan dana rapelnya dalam bentuk surat pernyataan untuk tidak menuntut dana rapel tersebut apabila para PNS ini mau menerima SK-nya. Akibatnya meskipun dalam keadaan terpaksa sejumlah PNS diduga telah menandatangani surat penyataan itu dengan konsekwensi apa yang menjadi haknya tidak lagi dibayarkan. 
Buruknya roman Pemerintahan Daerah Kabupaten Banggai Kepulauan dari sisi managemen keuangan selama kepemimpinan Bupati Irianto Malingong bukan hanya dapat dilihat secara spesifik pada sejumlah kasus dugaan korupsi pada tingkatan SKPD tetapi juga secara keseluruhan pada lingkup pengelolaan keuangan daerah dapat dicerna secara jelas dalam kurun beberapa tahun terakhir ini, dimana hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Provinsi Sulawesi Tengah setiap tahunya Bangkep selalu mendapat raport merah atau dengan opini tidak memberikan pendapat (disclaimer opinion).
Hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Bangkep tahun 2009 misalnya, dari cakupan pemeriksaan atas laporan keuangan Kabupaten Bangkep tahun anggaran 2009 sebesar Rp.1,05 triliun, yang meliputi neraca sebesar Rp.249 miliar, LRA sebesar Rp.804,56 miliar dan belanja senilai Rp.370,69 miliar, yang menjadi temuan BPK senilai Rp.37,83 miliar karena tidak sesuai ketentuan perundang-undangan. Inilah yang oleh Ketua BPK RI Perwakilan Sulteng Dadang Gunawan, trend opini atas LKPD Kab.Banggai Kepulauan adalah tetap stagnan atau tidak terdapat peningkatan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Sebab hasil pemeriksaan BPK atas LKPD Bangkep mulai tahun 2007 sampai dengan 2009 tetap dengan opini disclaimer opinion. Menariknya dari hasil pemeriksaan BPK tahun 2009 tersebut, diantara temuan yang menjadikan pemerintahan Irianto Malingong kembali mendapat raport merah adalah pertanggungjawaban perjalanan pejabat dan pegawai senilai Rp.5.05 miliar yang tidak sesuai ketentuan serta pekerjaan pembangunan rumah jabatan (Rujab), pendopo dan garasi bus yang sebesar Rp.3.08 miliar yang juga tidak sesuai ketentuan dan lain sebagainya.
Perkara terkini yang juga tidak kalah hebohnya dan menjadi topik pembicaraan utama di Banggai Kepulauan adalah terungkapnya modus penipuan dan pemerasan yang dilakukan oleh sejumlah orang yang berada dilingkungan istana dalam kasus rekayasa perekrutan data base tenaga honorer yang disebut Masuk Kategori (MK) I dan MK II, dimana ada sekitar 300 orang yang menjadi korban pemerasan dengan iming-iming jadi PNS melalui jalur MK I dan MK II dengan terlebih dahulu menyerahkan uang jutaan bahkan puluhan juta rupiah mulai dari kisaran Rp. 3 juta sampai Rp. 20 juta kepada sindikat mafia MK I dan MK II, padahal tidak/belum ada kuota pengangkatan atau formasi CPNS dari pemerintah pusat. 
Hebatnya lagi sindikat mafia MK I, MK II ini kembali terindikasi melibatkan orang-orang penting dalam pusara kekuasaan, beberapa nama seperti Sulaeman Husen, Rahman Hi Makmur dan yang lainya diduga merupakan aktor utama perkara ini yang pernah meminta dan menerima uang dari sejumlah korban dengan nominal yang berfariasi.  Pengakuan seorang korban asal Desa Nulion Kecamatan Totikum Selatan yang dibeberkan Suyono Ketua LSM Trikora Salakan beberpa waktu lalu bahwa Sulaeman Husen diduga menerima uang senilai Rp.30 juta sontak membuat politisi partai PAN itu uring-uringan dan melaporkan ketua LSM Trikora kepihak Polres Bangkep, belakangan oleh kelompok koalisi LSM di salakan yang concern memberikan advokasi terhadap para korban mensinyalir bahwa analogi MK bukan hanya sekedar Masuk Kategori tetapi juga diduga sebagai Modal Kampaye (MK).  namun yang pasti ikut terseretnya nama orang-orang hebat itu secara politik sangat merugikan Ires.
Begitu halnya dengan kasus dugaan korupsi proyek Bantuan Selisih Benih Harga Ikan (BSBHI)dari Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui Dirjen Perikanan Budidaya yang diperuntukan kepada Kelompok Nelayan Pembudidaya Ikan (Pokdakan) di kabupaten Banggai Kepulauan dalam dua tahapan yakni tahun 2008 dengan anggaran sebesar ± Rp.1,4 miliar dan tahun 2009 senilai Rp.850.000.000 untuk 17 Pokdakan dimana hanya Rp.149.700.000 atau 16 % yang diterima/didistribusikan kepada pokdakan sementara sisinya Rp.700.000.000 atau 82,39% diduga dikebiri oleh terdakwa Sekretaris / Pelaksana Harian Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Bangkep, Sangihe L. Lasiha serta rekanan penyediah benih Lukman M. Jafar Abdullah Direktur CV. Cahaya Intan Perkasa, kasus inipun sekarang sedang dipersidangkan di Pengadilan Negeri Luwuk. Serta kasus dugaan korupsi proyek pembibitan kacang tanah yang menyeret nama Marlina SH, Chrisno Dahua, dan rekanan Bimo Pujiono sebagai tersangka dengan indikasi kerugian negara sekitar Rp.320 juta yang sekarang proses hukum juga sedang berjalan.
Catatan kasus diatas cukup membuka mata publik Bangkep yang masih sehat, tidak rabun dengan pembangunan fisik semata apalagi buta karena kepentingan jabatan dan kekuasaan, bahwa inilah bagian dari parade atas fakta-fakta kehidupan Banggai Kepulauan yang cukup mencoreng wajah kepemimpinan Ires sebab para terduga/tersangka/terdakwa rentetan kasus itu adalah mereka yang memiliki hubungan benang merah dengan kekuasaan Ires. Sehingga apapun argumentasinya, agak sukar untuk membendung image itu. 
Hal ini diperparah lagi dengan adanya tambahan kesalah-kesalah sikap dan kebijakan dipenghujung akhir masa jabatanya, baik yang dilakukan dirinya berkaitan dengan kebijakannya dalam pemerintahan atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang-orang terdekat dan kepercayaannya seperti arogansi kekuasaan dalam wujud otoritarianisme berupa kekerasan politik dengan trend intimidasi, mutasi, selingkuh proyek dan jabatan, keputusan non job pejabat, manipulasi data honorer, politik anggaran APBD diskriminasi lalu dibumbuhi pencitraan berlebihan dengan menghalalkan segala cara ditengah ketimpangan pembangunan dan pengelolaan pemerintahan yang tidak akuntabel, jauh dari asas umum pemerintahan yang baik, bahkan aroma skandal merupakan bagian dari warna kekuasaan itu, tetapi dipoles dengan pemberitaan yang tidak jujur. Sebab kesibukan untuk mengidentifikasi kekuatan kelompok, kroni, gerbong, pendukung lalu menggilas orang lain agar tetap nyaman bermimpi indah dalam dekapan manis kekuasaan ini, justru kian menyuburkan sejuta resistensi dari mereka yang terzolimi dengan cara mutasi ke pelosok daerah, tidak diberikan proyek, dan dinon jobkan dari jabatannya.  Rangkaian ketidak jujuran dan kekerasan politik inilah yang dalam perspektif Syarifudin Tayeb disebut sebagai suntikan energi perlawanan yang sempurna.
Apalagi kalau kemudian rakyat tahu bahwa ada indikasi masa depan pembangunan infrastruktur Banggai Kepulauan telah dibarter kepada 8 (delapan) perusahan berlabel Commanditer Venoscaat (CV) dengan jaminan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Banggai Kepulauan periode  2011-2016 yang sudah ditetapkan pertahunnya, dalam bentuk kontrak kerja antara Bupati Banggai Kepulauan dan delapan perusahan sebagaimana Surat Kontrak Kerja Bupati Banggai Kepulan Nomor : 521.03/305/BK/2010, tanggal 14 Nopember 2010, yang berisikan perihal kesepakatan antara Bupati Banggai Kepulauan Irianto Malingong dengan para kontraktor dari  delapan CV dimaksud, dimana masing-masing pemilik CV mengelontorkan uang sebesar Rp.1,5 miliar perkontarktor yang dalam surat kontrak itu disebut sumbangan dalam upaya melanjutkan pembangunan daerah Kabupaten Banggai Kepulauan, juga sebagai bentuk realisasi kesediaan bekerja sama para kontraktor tersebut dengan Pemda Bangkep untuk membangun, memelihara dan memantau infrastrukture kabupaten Banggai Kepulauan pada periode 2011-2016. Delapan perusahan yang diduga mengikat kesepakatan dengan Bupati Bangkep dan ditetapkan dalam surat kontrak kerja tersebut yaitu CV.Angkasa Banggai, CV.Rajawali Bangkep, CV.Bintang Peling, CV.Mahkota Care, CV.Banggai Membangun, CV.Peling Cemerlang, CV.Barata Center dan CV.Meubel Peling.
Tentunya hal ini akan semakin menuai ketidak simpatian publik khususnya dikalangan para kontraktor lainnya, sebab ancaman untuk tidak mendapat porsi pekerjaan karena adanya sistem monopolistik seperti ini kian terbuka, lagi-lagi ini merupakan kesalahan yang juga merusak simpati publik untuk kembali memilih Ires. Rangkaian fakta-fakta regresif yang memiliki space cukup lebar dengan realitas progresif ini seolah menganulir dengan jelas apa yang selama ini dicitrakan melalui media massa, apalagi kondisi ini telah menjadi konsumsi publik Banggai Kepulauan yang tidak munafik.
Sokongan media untuk mendongkrak kembali elektabilitas Ires, tidak banyak menolong citra Ires yang terlanjur rusak karena kesalahan demi kesalahan yang dilakukan Ires maupun orang-orang kepercayaannya dipenghujung masa kepemimpinan. Sebab mayoritas masyarakat Bangkep tahu bagaimana realitas sebenarnya yang sangat bertolak belakang dengan berita koran model cerpen ala wartawan kejar setoran. Seperti misalnya berita Irianto Bupati yang Sangat dicintai Masyarakat, masuk Banggai (dapil I) disambut antusias padahal nyatanya disambut dengan reaksi massa, jalan diseluruh wilayah pulau Peling telah beraspal padahal nyatanya masih ada jalan raya disejumlah wilayah pedesaan yang memprihatinkan, bagimana mungkin bisa pengaspalan jalan dibangga-banggakan sebagai prestasi Ires dan telah merata diseluruh wilayah Bangkep, sementara masyarakat Desa Sampekonan dan Desa Pinalong belum merasakan bahkan tidak mengenal yang namanya aspal itu. Bagaimana bisa budi daya rumput laut diekspos sebagai sektor unggulan yang telah mengantarkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bagi para petani, bahkan sampai membawa Kabupaten Banggai Kepulauan sebagai penghasil utama rumput laut yang menjadi perhatian nasional dan dunia internasional, sementara ratusan juta rupiah dana bantuan rumput laut bagi para Pokdakan dirampok oleh pejabat daerah serta koleganya, bangaimana mungkin bisa logis pemerintah daerah telah berhasil membuka lowongan pekerjaan dan menekan angka pengangguran sementara ratusan orang anak negeri ini ditipu dan diperas dengan modus MK I dan MK II serta masih banyak lagi cerpen kebohongan yang dipamerkan penguasa melalui media.
Jelasnya mayoritas dari 111.344 orang masyarakat Bangkep yang memiliki hak suara di TPS saat ini sudah paham dengan kondisi kekinian, karena mereka belajar dari fakta-fakta yang ada, sehingga sepanjang dan sebaik apapun narasi cerpen kebohongan yang disuguhkan disetiap episode, hanya akan menjadi bahan jenaka yang mengundang tawa. Inilah realitas yang mengantarkan Ires pada sebuah kesimpulan mayoritas untuk tidak melanjutkan Ires alias dihentikan saja, dengan kata lain potensi kemenangan Ires sangat Kecil. Artinya bahwa peluang kemenangan Ires itu hanya akan ada apabila konsep menghalalkan segala macam cara dilakukan secara maksimal. ***
NB: Catatan ini sebelumnya pernah dipublikasikan pada media massa local (Luwuk Post & Pantau) edisi 27-28 Juli 2011  

Kamis, 17 Januari 2013

PANTASKAH KITA TERSINGGUNG ? (Telaah kritis Atas Ketersinggungan Masyarakat Adat)


Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry
(Sekretaris Jenderal Pemuda Montolutusan Banggai)

Rivalitas antara kontestan politik pada pemilukada Kabupaten Banggai yang dihelat 6 April lalu menyisakan polimik yang cukup menggelitik logika publik yang rasional. Mulai dari saling klaim kemenangan, ketidakpuasan dan gugatan atas hasil akhir Pemilukada hingga klaim ketersinggungan masyarakat adat Banggai terhadap pernyataan Murad Husain beberapa waktu lalu yang dinilai menghina dan melecehkan Hideo Amir, salah seorang tokoh adat Banggai yang selama ini mengklaim diri dan diklaim oleh mereka yang kurang memahami sistem, struktur  tata pemerintahan, serta mekanisme dalam adat Banggai sebagai Tomundo (Raja) Banggai yang merupakan simbol Batomundoan adat Banggai. 
Basic problemnya sesunggunya sederhana yaitu berangkat dari ketidak puasan sekelompok orang atas hasil Pemilukada Banggai yang sebelumnya di manag dengan isu politik terkait indikasi kecurangan politik lalu dibiaskan ke isue SARA dan  ketersinggungan adat Banggai yang dimanifestasikan dalam bentuk rekomendasi pengusiran kepada sesama Warga Negara Indonesia atas nama Lembaga Adat Banggai yang disertai pressure massa. Namun dibalik polemik ini, ada sisi yang menarik bagi penulis untuk dibedah berkaitan dengan KETERSINGGUNGAN MASYARAKAT ADAT atas pernyataan menyentil Murad Husain kepada tokoh adat Hideo Amir. Outputnya adalah merasionalisasikan publik tentang pantas atau tidaknya kita sebagai masyarakat adat babasal untuk tersinggung dan ikut marah terhadap sentilan tersebut berdasarkan referensi fakta sejarah dan telaah konseptual hukum formil Batomundoan adat Banggai yang meliputi pembedahan aspek  referensi historis dan rasio ketersinggungan berupa klarifikasi, siapa Tomundo Banggai yang sah dan siapa Lembaga Adat Banggai yang legal dan memiliki legitimasi konstitusional dalam Batomundoan Adat Banggai, termasuk legitimasi pemberian sanksi pengusiran pada seseorang yang dianggap menghina dan melecehkan adat Banggai.

ASPEK REFERENSI HISTORIS  
         
Babakan sejarah peradaban Batomundoan (kerajaan) Banggai dibagi dalam dua fase peradaban yaitu fase Kerajaan Banggai klasik dan fase Kerajaan Banggai moderen. Fase peradaban Kerajaan Banggai klasik diperkirakan sekitar abad ke 13-14 masehi. Menurut Dr.Alb.C.Kruyt dalam studinya De Vorsten van Banggai (terjemahan), kerajaan Banggai kala itu dipimpin oleh seorang raja yang bergelar ADI dengan didampingi empat orang dewan penasehat bagi ADI yang bergelar TOMUNDO SANGKAP yang masing-masing mempunyai wilayah kekuasaan tertentu yaitu Olu, Lombongan, Singgolok dan Kokini. Secara berturut-turut disebut empat orang Adi yang memerintah sebelum seorang Adi Lambal Polambal memerintah sebagai raja terakhir pada fase Kerajaan Banggai klasik.  Sedangkan fase kerajaan Banggai moderen dimulai dari Adi Cokro  yang bergelar Mumbu Doi Jawa, setelah melalui proses transisi kepemimpinan secara damai dari Adi Lambal Polambal ke Mbumbu Doi Jawa.
Dalam peradaban kerajaan Banggai telah dikenal struktur tata pemerintahan yang demokratis sejak lama secara turun temurun yang terdiri dari unsur eksekutif dan legislatif. Dimana Tomundo (Raja) sebagai pucuk pimpinanan kekuasaan kerajaan dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh empat orang staff eksekutif atau dewan menteri yang dikenal dengan sebutan KOMISI SANGKAP yang terdiri dari : (1). Mayor Ngopa atau Raja Muda; (2). Kapitan Laut atau Kepala Angkatan Perang; (3), Jogugu atau Menteri Dalam Negeri; (4). Hakim Tua atau Pengadilan. Komisi empat ini ditunjuk dan diangkat oleh raja yang sedang bertahta.
Sedangkan sebagai Badan Legislatif atau Dewan Penasehat adalah empat Pau Basal yang sekarang disebut BASALO SANGKAP yaitu (1).Basalo Babolau (Doduung); (2). Basalo Kokini (Tanobonunungan); (3). Basalo Singgolok (Monsongan); (4). Basalo Katapean (Gonggong). Basalo Sangkap ini di ketuai oleh Basalo Babolau yang bertugas melakukan pemilihan dan pelantikan setiap bangsawan untuk menjadi raja, yang pengukuhannya dilakukan di hadapan Basalo Sangkap, lalu selanjutnya meriwayatkan secara teratur sejarah raja-raja Banggai secara berurut, kemudian disebutkan calon raja yang akan dilantik dan kepadanya dipakaikan mahkota kerajaan. Dengan demikian raja tersebut akan resmi menjadi raja pemimpin kerajaan Banggai. Keempat Basalo ini sangat dihormati oleh Raja dan para penerusnya, memiliki pengaruh yang sama luasnya dengan kekuasaan Raja.
Dewan penasihat atau Basalo Sangkap  ini sesungguhnya merupakan pendiri sejati Kerajaan Banggai, dimana eksistensi dan kapasitas mereka sebagai dewan penasehat bagi raja telah ada secara turun temurun sejak kerajaan Banggai klasik, sebelum datangnya seorang Adi Cokro yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Banggai moderen. Dimana dahulu diera kerajaan Banggai klasik para leluhur mereka dikenal dengan gelar TOMUNDO SANGKAP atau empat raja yang masing-masing mempunyai wilayah kekuasaan tertentu yaitu Olu atau Babolau, Lombongan atau Katapean, Singgolok dan Kokini, sehingga orang bicara Tomundo dari Olu/Babolau, Lombongan/Katapean, Singgolok dan Kokini.  Namun dalam struktur kerajaan Banggai klasik kala itu kedudukan Tomundo sangkap lebih rendah dari ADI, dimana Tomundo Sangkap merupakan dewan penasehat bagi ADI . Gelar Tomundo sangkap bagi dewan penasihat raja ini berubah pada masa kerajaan Banggai moderen ketika Adi Cokro yang bergelar MBUMBU, mengganti julukan Tomundo Sangkap bagi para dewan penasehat dengan yang lebih rendah dari gelar Tomundo, namun merupakan gelar kehormatan kepada keempat penasehat dengan sebutan PAU BASAL, disebut gelar kehormatan karena membentuk hubungan seperti anak-bapak antara MBUMBU (raja) dan keempat dewan penasehat. Selanjutnya gelar PAU BASAL berkembang menjadi BASALO SANGKAP istilah yang kita kenal sekarang. Begitu halnya dengan gelar raja di era kerajaan Banggai moderen  mulai dari Adi Cokro,Mandapar sampai ke Nurdin Daud, gelar bagi raja yang digunakan adalah MBUMBU dan TOMUNDO, hanya saja gelar MBUMBU selalu di kombinasikan dengan tempat sang raja meninggal dunia dan dikubur seperti Raja Mbulang Mbumbu Doi Balantak berarti raja yang meninggal di Balantak, kemudian Adi Cokro Mbumbu Doi Jawa atau Raja yang meninggal di Jawa dll.
Tercatat sebagai Tomundo Banggai 20 terakhir yang legal pada fase kerajaan Banggai moderen adalah Tomundo Nurdin Daud  yang dikukuhkan oleh Basalo Sangkap pada usia 12 tahun kala raja Awaludin mangkat. Namun karena usianya yang teramat belia dan dianggap belum cakap dan mampu melaksanakan tugas pemerintahan maka ditunjuklah Mayor Ngofa kala itu yakni Syukuran Aminudin Amir untuk menjabat sebagai pelaksana harian Tomundo Banggai dengan ketentuan sampai Raja Nurdin Daud dewasa dan dapat melaksanakan tanggungjawabnya sebagai Tomundo Banggai. Namun sayangnya amanat sementara itu justru dibajak secara inkonstitusional karena tanpa restu dari raja muda Nurdin Daud dan Dewan Penasehat Basalo Sangkap.
Sedangkan pada fase kekinian pasca penghapusan sistem swapraja Banggai, keberadaan Batomundoan Banggai hanyalah merupakan upaya konkrit untuk melestarikan budaya Banggai. Sehingga kurang tepatlah kiranya jika sekarng kita menggunakan terminologi Batomundoan Banggai (kerajaan Banggai), tetapi yang tepat adalah Batomundoan Adat Banggai (Adat Kerajaan Banggai) karena era sekarang bukanlah era masa lampau melainkan hanya era yang mereflesikan kearifan masa lampau demi tujuan pelestarian adat dan budaya. tetapi dengan cara penggunaan mekanisme dan atribut-atribut budaya dan adat masa lampau. Inilah yang sekarang sebagai simbol sejati adat Babasal. Dimana yang dinobatkan sebagai Tomundo Banggai yang merupakan simbol dan pemimpin adat banggai adalah tomundo yang dikukuhkan sesuai tatacara pengukuhan raja-raja banggai sebelumnya. Seperti pengukuhan tomundo Iskandar Awaludin Zaman sebagai pengganti Raja Banggai sejati (era kerajaan) Nurdin Daud. Kemudian ia diagantikan oleh puteranya Moh.Fikran Zaman sebagai simbol dan pemimpin adat Babasal yang ke 22. Namun karena masih muda dan sedang menuntut ilmu maka ditunjuklah Irwan Zaman sebagai Tomundo Batomundoan adat Banggai yang legal. Olehnya itu maka dapat disimpulkan bahwa Tomundo sebagai pemimpin dan simbol adat yang sah dan legal sesuai dengan mekanisme keadatan adalah Moh.Fikran zaman/Plt Irwan Zaman bukan Moh.Chair Amir atau Hideo Amir. Sama seperti Raja Banggai terakhir bukan Syukuran Aminudin Amir melainkan Nurdin Daud.

ASPEK RASIO KETERSINGGUNGAN

Penggalan sejarah diatas jelas menguraikan bagaimana struktur,peran dan fungsi serta mekanisme rotasi kepemimpinan dalam Batomundoan Banggai. Dimana seorang Tomundo (Raja) Banggai yang sah dan legal secara konstitusional dalam Batomundoan Banggai ketika dikukuhkan oleh Basalo Sangkap selaku pihak yang memiliki kewenangan prerogatif untuk mengangkat dan melantik raja-raja Banggai.
Sehingga ketika kita bicara tentang Tomundo yang legal sebagai simbol masyarakat adat Babasal atau sebagai simbol Batomundoan Adat Banggai, maka akan memantik logika nakal kita untuk mengorek, soal keabsahan Tomundo dan kepantasan kita untuk turut tersinggung apabiala ada pelecehan terhadap simbol-simbol adat. filterisasi tentang esensi legalitas dan kepatutan eksitensi dari simbol-simbol tersebut perlu dilakukan untuk mengantar kita pada kebenaran sejarah, sehingga nantinya akan sangat logis untuk kita merasa perlu tersinggung atau tidak dalam kapasitas kita sebagai masyarakat adat. Sebab jika kita tidak melihat dari sisi yang paling ideal dan logis pada konteks mekanisme dan aturan formil adat, maka akan sangat prematur dan rancu bila kita langsung menjustification bahwa sikap dan pernyataan seseorang yang bersinggungan dengan obyek sentilan secara pribadi adalah penghinaan dan pelecehan adat, lantas kitapun marah dan berkesimpulan pula bahwa itu adalah penghinaan adat secara masif, apalagi sampai kita mengeluarkan sanksi pengusiran kepada seseorang. Sementara obyek sentilan yang kita figurkan sebagai simbol adat itu tidak memiliki kapasitas adat yang jelas apalagi legal, artinya:

Pertama; Kalau ada seseorang yang divonis telah menghina dan melecehkan adat Banggai lantas diberikan sanksi pengusiran dari wilayah hukum adat Banggai, maka tentunya harus dillakukan sesuai dengan mekanisme pengambilan kebijakan adat yang baik dan benar berdasarkan ketentuan adat yang baku. Sehingga sikap dan reaksi kita dalam menyikapi hal-hal tersibut tidak mencideari nilai-nilai keadatan itu sendiri, jangan sampai kita merasa marah kepada mereka yang meludahi adat tetapi kita juga sebagai putera daerah yang mengaku tau adat justru adalah orang yang senang dan  sering mengingkari adat.
Harusnya sanksi pengusiran dari wilayah hukum adat Banggai baru dapat dikenakan kepada sesorang dengan alasan-alasan yang sangat logis dan mendasar, dengan terlebih dahulu mempertimbangkan kadar kesalahan seseorang yang dalam hukum adat Banggai disebut “Molokis-Lokis Tano” dimana seseorang dipandang telah berkhianat dan melakukan kesalah besar yang tidak bisa diampuni, sehingga harus dibuang bimbang dan diusir paksa meninggalkan tanah Banggai, Akan tetapi ketika seseorang telah banyak melakukan pengabdian dan membangun tanah adat Banggai maka tidak ada alasan untuk melakukan pengusiran terhadapnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Lembaga Adat Banggai (LAB) Hamsen B.Kuat dalan nota penjelasan LAB beberapa wakttu lalu yang dilansir oleh media massa 25 April lalu.
Kalaupun toh sanksi pengusiran itu pantas dan harus diberikan kepada seseorang karena telah terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindakan molokis lokis tano, maka keputusan eksekusi itu merupakan domain Dewan Adat yang terdiri dari TOMUNDO (inklut staf eksekutifnya/komisi Sangkap) dan BASALO SANGKAP tentunya melalui proses pengkajian dalam SEBA (Musyawarah) Dewan Adat Batomundoan Adat Banggai. Sebab jika bicara tentang perangkat adat yang legitimate, maka kedua komponen inilah sumber kebijakan adat yang final pada setiap pengambilan keputusan adat yang strategis dan urgen.  Konkritnya sanksi pengusiran kepada Murad Husain dan Herwin Yatim dari wilayah hukum adat Banggai hanya dapat dilakukan dan dinyatakan syah serta memiliki kekuatan hukum adat apabila direkomendasikan oleh mereka yang berkompeten yaitu Tomundo dan Basalo Sangkap, dengan demikian maka rekomendasi sanksi pengsiran kepada Murad Husain dan Herwin Yatim yang dilakukan oleh Lembaga Adat Banggai yang ditandatangani oleh unsur lembaga adat tersebut sangat irasional dan tidak berdasar. 

Kedua; Kalau toh ada sindiran seseorang secara lisan terhadap figur tokoh adat Banggai  Hideo Amir dengan menggunakan kosakata Anak Selir, Ko dan lain sebagainya, maka juga sangat prematur untuk kemudian kita terjemahkan sebagai bentuk penghinaan dan pelecehan kepada sosok Tomundo Banggai, apalagi sampai kita mengeksplorasinya menjadi isu penghinaan adat dan masyarakat Babasal. Tanpa telaah obyektif tentang kapasitas dan legalitas pihak yang difigurkan sebagai Tomundo Banggai sesuai dengan ketentuan konstitusional Batomundoan adat Banggai yang baku. Sebab Tomundo atau Raja Banggai yang sah dan legal hanyalah mereka yang terlegitimasi sesuai dengan mekanisme yang benar. idealnya kita bisa mengatakan bahwa pernyataan itu merupakan bentuk penghinaan terhadap icon masyarakat adat Babasal, jika figur yang disindir atau dilecehkan  itu adalah benar-benar Tomundo Banggai. Tetapi bila yang dilecehkan hanyalah icon imitasi, maka sangat tidak tepat kalau kita masyarakat adat Banggai (Babasal) menilai bahwa itu adalah penghinaan terhadap simbol adat Banggai dan kita patut tersinggung dan marah.
Ketiga; ketika kita harus marah dan turun ke jalan meneriakan ketersinggungan itu, dengan mengatasnamakan koalisi masyarakat adat Babasal atau apapun nama frontnya, pertanyaannya apakah iya sikap itu telah merefrentasikan ketersinggungan publik adat Banggai yang meliputi Adat Banggai, Balantak dan Saluan secara kolektif, ataukah hanya merupakan refrensentasi dari salah satu komponen masyakat adat tersebut ?. Apakah benar komunitas masyarakat adat Banggai yang mayoritas berada di wilayah Banggai Banggai Kepulauan turut merasa tersinggung, apakah juga benar mayoritas masyarakat adat Balantak dan Saluan juga merasa tersinggung ?, kalau jawabannya iya maka sah-sah kita menyampaikan aspirasi didepan publik dengan cara seperti itu, karena hal tersebut merupakan hak konstitusional kita sebagai Warga Negara Indonesia dialam demokrasi seperti ini. Tetapi  kalau jawabannya tidak, maka sangat tidak elegan kiranya ketika kita harus mengatasnamakan ketersinggungan masyarakat adat Babasal secara kolektif demi melegalisasi ketidak puasan dan ketersinggungan pribadi atau kelompok orang tertentu yang bermotif pilitis.
Semestinya kalau memang pernyataan Murad Husain yang ditujukan kepada Hideo Amir atau pihak mereka yang merasa orang istana, berindikasi melanggar hukum, maka kasus yang dianggap melecehkan tersebut harusnya dibawah kerana hukum positif dengan dalil pengaduan berupa perbuatan tidak menyenangkan atau pencemaran nama baik. ***

NB: Catatan ini sebelumnya pernah dipublikasikan pada media massa local   (Luwuk Post) edisi  8 -13 Juni 2011 

Sabtu, 12 Januari 2013

REFLEKSI HISTORIS & GUGATAN INDEPENDENSI (Sebuah Kritik Terhadap Peran KNPI Bangkep)


Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry
Mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Luwuk

Berbicara mengenai Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), maka kita akan  bicara tentang PEMUDA. Pemuda bagi Bangsa Indonesia adalah kelompok usia yang memiliki nilai serta posisi yang strategis dalam masyarakat. Sejarah perjalanan Bangsa Indonesia selalu menyertai pemuda, karena baik diminta maupun secara sukarela pemuda aktif di dalamnya. Berbagai moment penting bagi Bangsa Indonesia lahir dari ide, semangat dan kepemimpinan para pemuda. Jika kita menengok peran hirtorisnya, sungguh tidak bisa dipungkiri bila Republik ini lahir juga berkat perjuangan tiada henti dari pemuda. Tokoh-tokoh pemuda yang lahir pada masa perjuangan revolusi fisik hingga kemerdekaan adalah bukti konkrit eksistensi para pemuda mulai dari peristiwa 1908,1928,1945,1965.1998 adalah saksi bisu peran kesejarahan yang telah dilakoni pemuda.
            Perjuangan para pemuda tentunya tidak akan pernah berakhir karena secara sosiologis pemuda merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki sifat progresif, kritis, idealis, dan selalu gelisah ketika melihat jalan kehidupannya tidak ideal, dan hal inilah yang menjadi tungku semangat perjuangan pemuda. Kegalauan akan eksistensi perjuangannya untuk rakyat, telah memunculkan banyak pemuda yang menghimpunkan diri dalam berbagai organisasi kepemudaan berbasis kemahasiswaan yang memposisikan dirinya sebagai sparing partner pemerintah, mengontrol dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang menyimpang dan tidak memihak kepada rakyat. Pada saat Negara mengalami kemandegan mereka menekan negara untuk mengurangi hegemoninya dan menuntut pemerintah agar memberikan kebebasan berkreasi dan berkembang pada rakyat, mereka melakukan gerakan-gerakan memperjuangkan kepentingan rakyat serta tetap mempertahankan independensinya tanpa terkooptasi oleh kekuasaan. Itulah sejatinya identitas pemuda yang kemudian melembagakan diri secara kolektif dalam wadah berhimpunnya kaum muda mahasiswa seperti KAMI  dan KNPI.
            Tulisan ini sesunggunya didedikasikan buat semua insan pemuda yang berafiliasi pada wadah KNPI secara umum serta para pengurus daerah KNPI Kabupaten Banggai Kepulauan secara khusus dengan motivasi : (1) Sebagai JAWABAN atas persepsi sejumlah Pengurus Daerah KNPI Kabupaten Banggai Kepulauan yang konon katanya sangat mahir mengenai seluk beluk dan latar belakang sejarah KNPI sehingga mengkalim tidak ada dalil sedikitpun yang melegitimasi bahwa organisasi tempat berhimpunnya OKP ini, dapat memberikan KOREKSI kepada pemerintah ketika ada kebijakan pemerintah yang timpang dengan dalih KNPI adalah lembaga pemuda yang dependen terhadap kekuasaan. (2). Sebagai GUGATAN terbuka terhadap eksistensi dan peran KNPI Banggai Kepulauan dalam dinamika social daerah, khususnya peran KNPI menjelang momentum pemilihan umum kepala daerah (PEMILUKADA) Kabupaten Banggai Kepulauan pada Juni 2011 mendatang yang sarat dengan tendensi politis, indentitasnya sebagai organisasi pemuda yang bersifat INDEPENDEN pun diabaikan, peran KNPI Banggai Kepulauan layaknya seperti partai politik pengusung calon pasangan Bupati dan wakil bupati yang rutin mensosialisasikan kandididatnya  secara vulgar dalam berbagai macam format. Oleh sebab itu, dalam artikel ini, penulis sengaja menyajikan secara singkat awal kelahiran histories KNPI, Paradigma KNPI, era orde baru (doeloe) dan era orde reformasi (sekarang) yang sesungguhnya telah memiliki perbedaan, sebagai wujud adaptasi tuntutan reformasi, baik itu dari segi SIFAT maupun PERAN organisasi KNPI.

AWAL SEJARAH KNPI; Ketika bangsa ini mengalami goncangan social dan politik pada era orde lama akibat ancaman komunisasi idiologi Negara yang begitu kuat melalui gerakan revolusioner Partai Komunis Indonesia (PKI), serta problem bangsa lainya yang kian membebani rakyat, memantik semangat kelompok organisasi pemuda yang berbasis mahasiswa untuk ikut mengambil peran atas kondisi kritis tersebut dengan membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tanggal 25 Oktober 1965, KAMI kemudian mengelola massa dan melancarkan demontrasi yang berujung pada pembubaran PKI dan lengsernya Orde Lama,  meskipun peran tersebut harus dibayar dengan gugurnya Arif Rahman Hakim sebagai pahlawan AMPERA.
KAMI ini kemudian menjadi pelopor bangkitnya orde baru bersama ABRI, namun dalam perjalanannya, KAMI justru gagal melanjutkan perannya dalam masa Orde Baru. Akibatnya, kaum muda sulit untuk melakukan gerakan mencapai sasaran bersama ditengah situasi konflik nasional. Keretakan di tubuh KAMI mulai tumbuh, ketika masing-masing organisasi yang tergabung dalam KAMI seperti HMI, PMKRI, GMKI, GMNI, PMII, serta Organisasi Mahasiswa Lokal (Somal), Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos), Ikatan Mahasiswa Bandung (Imaba), dan Ikatan Mahasiswa Djakarta (Imada), mulai kembali ke akar primordialnya baik secara ideologi maupun politik hingga akhirnya dibubarkan pada bulan Agustus 1966. Kegagalan KAMI sebagai wadah persatuan dan kesatuan mahasiswa untuk melanjutkan perannya dalam masa orde baru, inilah yang menjadi awal sejarah KNPI. 
Meskipun mereka melakukan kiprah sendiri-sendiri, mereka tetap menyadari bahwa peran yang lebih berarti yang dapat dilakoni oleh kaum muda dalam kehidupan bangsa dan negara hanya bisa dilakukan apabila persatuan dan kesatuan sebagai semangat tetap dijiwai kaum muda dan pengejawantahan dalam wujud fisik seperti yang pernah dilakukan KAMI. Sejak itu, dari dialog yang dikembangkan oleh para eks tokoh KAMI lahirlah gagasan untuk menyelenggarakan suatu musyawarah nasional (Munas) mahasiswa Indonesia di Bogor 14 -21 Desember 1970 yang mengarah pada pembentukan wadah persatuan nasional atau populer dengan istilah Nation Union of Students (NUS). Namun, kesepakatan pembentukan NUS gagal tercapai karena tidak adanya kesamaan persepsi mengenai bentuk dan format yang jelas tentang organisasi yang akan dibentuk serta adanya rasa saling curiga antar organisasi ekstra universitas.
Wacana tersebut ternyata langsung ditangkap kekuatan politik utama Orde Baru yaitu Golongan Karya (Golkar), mengngingat meleburnya kembali organisasi-oraganisasi mahasiswa eks KAMI tersebut merupakan kebangkitan kembali kekuatan presur yang militan karena latar belakang idiologi oraganisasi mereka adalah organisasi pergerakan yang jika  dilepas akan mengintai dan mengancam kelanggengan kekuasaan yang sedang dibangun. Menyadari hal itu Golkar segera melakukan pendekatan kepada organisasi kemahasiswaan untuk mensosialisasikan gagasan pembentukan wadah kepemudaan tingkat nasional melalui Median Sirait Sekretaris Bidang Papelmacenta, Abdul Gafur dan  David Napitupulu. Hal ini dilakukan Golkar seiring dengan politik korporatisme Negara yang merupakan suatu sistem perwakilan kepentingan yang melibatkan pemerintah secara aktif dalam pengorganisasian kelompok kepentingan sehingga kelompok-kelompok kepentingan itu terlibat dalam perumusan kebijakan umum.
Penjajakan yang lebih konkret dimulai dengan pertemuan-pertemuan informal secara bilateral antara Sekretaris Papelmacenta Golkar Median Sirait, dengan Ketua Umum PB HMI Akbar Tandjung, Ketua GMNI Suryadi dan pimpinan organisasi mahasiswa lainnya seperti PMII, PMKRI, GMKI yang saat itu tergabung dalam kelompok Cipayung, serta organisasi kepemudaan seperti Gerakan Pemuda Marhaen(GPM), GP Anshor, dan lain-lain dilakukan secara kontinyu sejak bulan Mei, Juni dan Juli guna menyeragamkan visi tentang urgensi wadah nasional yang akan dibentuk. Finalisasinya pada 23 Juli 1973, KNPI dideklarasikan dengan David Napitupulu sebagai ketua umum pertama.

PARADIGMA KNPI
1.      Era Orde Baru (Doeloe); Mencermati sejarahnya tersebut, sesungguhnya motivasi orientasi pembentukan KNPI dari para tokoh muda mahasiswa sebagai wadah persatuan dan kesatuan kaum muda pasca kegagalan KAMI, bukanlah untuk menjadi bagian dari perpanjangan tangan penguasa yang turut melestarikan kekuasaan rezim orde baru. Tetapi murni dilatari sebuah kesadaran kritis kaum muda akan potensi dan tanggungjawab mereka sebagai social control dan agent of change yang masih konsisten dalam khittah perjuangannya untuk terus melakukan peran – peran progresif. Ketergabungan pemuda pada KNPI ini, telah memikat penguasa saat itu untuk merebut dan meminangnya guna mengebiri kekritisan kaum muda. Akibatnya visi ideal pembentukan KNPI, kemudian terbajak oleh kekuasaan orde baru. Alhasil setelah dibentuk KNPI menjadi organisasi pengawal kebijakan pemerintah Orde Baru di bidang kepemudaan dan kemahasiswaan yang pada akhirnya membuat KNPI kehilangan Independensinya karena mendukung rezim otoritarian. KNPI kemudian memposisikan dirinya menjadi piranti politik pemerintah dalam menegakan UU No.8/1985 atau yang dikenal dengan nama Undang-undang Keormasan. Akibat sikap pengurus yang memposisikan KNPI sebagai piranti politik pemerintah pada waktu itu, maka cap sebagai organisasi kepanjangan tangan pemerintah tidak bisa dielakkan. KNPI menjadi anak emas dan stempel pemerintah untuk segala kebijakannya. Sementara politik korporasi pemerintah orde baru dengan memanfaatkan seluruh organisasi kemasyarakatan dan profesi untuk mendukung kebijakan pemerintah. Untuk melegalkan hal itu, KNPI masuk ke dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) agar mendapat pengakuan konstitusi. Ketua Umum dan pengurus inti menjadi elit-elit pemuda yang memiliki akses pada kekuasaan tanpa batas. Jabatan-jabatan strategis seperti anggota DPR bahkan menteri bisa didapatkan oleh pengurus inti DPP KNPI. Sesuatu yang sangat menggiurkan bagi siapa saja yang haus kekuasaan dan jabatan.
         KNPI inilah yang akhirnya kurang dipercaya masyarakat dan pemuda untuk menjadi kekuatan agregasi kepentingan pemuda Indonesia. Tak heran bila tuntutan pembubaran KNPI nyaring terdengar dan semakin kencang ketika gerakan reformasi berhasil menurunkan Presiden Soeharto. Karena dalam banyak hal, KNPI bukanlah representasi organisasi kepemudaan yang kritis yang hadir untuk memberikan tanggapan atas disparitas ekonomi, budaya, sosial dan politik pada saat itu, melainkan malah menjadi garda depan yang ikut serta melanggengkan rezim.
Masad Masrur  dalam sebuah tulisannya menguraikan bahwa ada tiga hal yang menjadi argumentasi atas tuntutan pembubaran KNPI, yaitu : Pertama, kelahiran KNPI merupakan by design yang diinisiasi kekuasaan dan bukan genuin yang digagas dan dipelopori oleh para pemuda. Dalam konteks seperti ini, otentisitas/kemurnian KNPI yang akan memperjuangkan peran pemuda menjadi nihil. Karena sifatnya yang by design, yang terjadi adalah KNPI menjadi pelayan dan kepanjangan tangan si pembuat desain, dalam hal ini rezim Orde Baru. Kedua, dalam perjalanannya KNPI tidak lebih dari sekedar alat dan distribusi kekuasaan. Tidak dipungkiri bahwa KNPI telah menjadi elan vital dan resources politik yang strategis bagi pemerintahan Soeharto dengan manjadikan Golkar dalam proses pengkaderan sekaligus bamper politiknya. Realitas ini dapat diamati dari para tokoh KNPI yang kemudian menjadi anggota legislatif dan menteri pada pemerintahan Soeharto. Ketiga, KNPI menjadi medan magnet bagi ”perkelahian” untuk memperebutkan struktur organisasinya sebagai jalan untuk meretas karir di bidang politik bagi elemen-elemen Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang terlibat didalamnya. Karena itu KNPI lebih memperlihatkan watak sebagai organisasi kepemudaan yang pragmatis, miskin gagasan, dan kering nilai. Kondisi ini dimungkinkan karena memang struktur kekuasaan mengakui KNPI sebagai satu-satunya organisasi kepemudaan yang sah dan diakui.

2. Era Orde Reformasi (Sekarang) ; Reformasi 1998 telah mengkoreksi hampir seluruh peran KNPI selama ini. Melalui Kongres IX di Caringin, Bogor tahun 1999 KNPI yang menghadapi desakan pembubaran berhasil merumuskan dirinya sebagai pendukung gerakan reformasi.  Idrus Marham yang terpilih sebagai Ketua Umum pada Kongres itu, mewacanakan rejuvenasi KNPI atau penyegaran kembali peran KNPI di tengah realitas politik nasional. Rejuvenasi dilakukan tak lain karena situasi dan kondisi atau realitas obyektif internal dan eksternal yang dihadapi oleh KNPI telah mengalami perubahan signifikan dan mendasar dibanding yang dialami pada Orde Baru. Rejuvenasi ini akhirnya memaksa KNPI untuk independen dan kembali memposisikan pemuda sebagai mitra kritis pemerintah.
Lewat keberanian untuk merubah paradigma KNPI itu, dari pendukung pemerintah menjadi kelompok penekan pemerintah (pressure group) citra KNPI semakin mengalami perubahan. Ujian berat ini ternyata mampu diatasi oleh KNPI dengan kecerdasan mengubah jati dirinya menjadi gerakan yang lebih progresif. Walaupun akhirnya keistimewaan yang sempat dinikmati sebelumnya harus dilepaskan. Jangankan untuk mendapat akses kursi kekuasan, untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah pun sulit. Perubahan paradigma inilah yang menjadi garansi sehingga eksistensi KNPI di era reformasi sekarang tetap dipertahankan.
Sayangnya, harapan agar KNPI dapat memainkan peran sebagai kelompok penyeimbang pemerintah ditengah dinamika kepemudaan saat ini masih belum terwujud secara real, karena paradigma berpikir sebagian pengurus yang belum berubah dari paradigma lama (Orde Baru) meyakini wadah KNPI dapat memberinya keistimewaan menyebabkan rebutan kursi kekuasaan di KNPI masih terjadi. Jauh dari pikiran  progresif revolusioner, yang muncul malahan bagaimana mendapat uang dan kekuasaan yang terpikirkan. Akibatnya KNPI terjebak pada konflik internal, konflik ini meletus pada penyelenggaraan pertemuan yang bertema “New Deal Pemuda Indonesia” pada tanggal 28-30 Oktober 2007 di Hotel Sahid, Jakarta. Pertemuan yang dihadiri oleh OKP dan BEM tersebut salah satunya menyatakan mosi tidak percaya terhadap Ketua Umum DPP KNPI, Hasanuddin Yusuf dan mendesak agar Hasanuddin Yusuf mundur dari jabatan ketua umum. Alasan desakan ini salah satunya adalah aktivitas pendirian Partai Pemuda Indonesia (PPI). Dimana sebagai pendiri dan Ketua Umum PPI Hasanuddin Yusuf telah menunggangi KNPI untuk membangun infrastruktur PPI hingga ke daerah dimana Pengurus DPP KNPI dan pengurus DPD KNPI Provinsi dan Kabupaten/Kota banyak yang diajak dan terlibat dalam PPI. Langkah Hasanudin Yusuf ini dinilai bisa membawa KNPI dan pemuda yang tergabung di dalamnya tidak independen dan rentan dengan kepentingan partai politik sama seperti yang terjadi di era orde baru. Apalagi posisi ketua umum yang langsung menjadi ketua umum partai politik dinilai makin mempersulit pemuda di tengah perannya sebagai salah satu entitas yang netral di masyarakat.
Menjelang Musyawarah Pimpinan Paripurna (MPP) KNPI di Pekanbaru, Riau pada tanggal 22-25 Juli 2008 gerakan Kontra Hasanuddin semakin kencang melakukan konsolidasi. Hal yang sama pun dilakukan oleh kelompok Pro Hasanuddin yang ingin melindungi kepemimpinan Hasanuddin Yusuf. MPP Riau ini, menghasilkan dua keputusan yang berbeda. Kelompok Pro Hasanuddin masih mengakui kepemimpinan Ketua Umum Hasanuddin Yusuf. Sedangkan kelompok Kontra Hasanuddin menonaktifkan Hasanuddin Yusuf dan mengangkat Hans Havlino Silalahi sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum DPP KNPI yang bertugas untuk mempersiapkan Kongres XII di Bali pada tanggal 28 Oktober 2008. akibatnya Kongres KNPI ke XII akhirnya berlangsung di dua kubu yang berbeda , dimana kubu pro Hasanudin Yusuf  melaksanakan Kongres di Hotel Mercure Conventional Center Ancol – Jakarta  Pada Tanggal 25 – 28 Oktober 2008 yang menghasilkan Ketua Umum Ahmad Doli Kurnia dan Sekretaris Jenderal Pahlevi Pangerang. Sedangkan kubu kontra Hasanudin Yusuf  melaksanakan Kongres di Hotel Convention Center Aston Denpasar-Bali, pada tanggal 28 Oktober- 2 Nopember 2008  memutuskan  Azis Syamsudin sebagai Ketua Umum dan Sayed Muhammad Mualiady sebagai Sekretaris Jenderal.

GUGATAN INDEPENDENSI;  Bila kita menilik sejarah KNPI era orde baru (doeloe) dan KNPI era reformasi (kekinian) sebagaimana yang telah diuraikan diatas, nampak jelas bahwa ada perbedaan paradigma. Sebagai imbas dari hegemoni gerakan reformasi 1998 yang memaksa Soeharto lengser dari jabatannya, image KNPI sebagai bagian dari rezim orde barupun dinilai patut untuk ikut direformasi. Karena sepanjang kiprahnya KNPI banyak dijadikan sebagai alat mobilitas vertical untuk jabatan politik atau menjadi lahan penghidupan yang mengatasnamakan kaum muda. Tidak Independen dan menjadi mitra pengawal kebijkan pemerintah khususnya dibidang kepemudaan dan kemahasiswaan menjadi symbol paradigma KNPI era orde baru. Sementara diera reformasi saat ini, sebagai garansi adaptasi terhadap suhu reformasi yang begitu panas terhadap desakan untuk mereformasi semua komponen orde baru, maka KNPI melakukan reposisi sifat dan perannya menjadi organisasi pemuda yang bersifat  independent dan berperan sebagai mitra kritis pemerintah. Tuntutan INDEPENDENSI KNPI ini tentunya tidak hanya sekedar tekstual dalam konstitusi KNPI, tetapi pada aplikasi teknisnya dalam managemen kepemimpinan organisasi termasuk dalam hal pengambilan kebijakan organisasi harus mencerminkan profesionalitasnya sebagai suatu organisasi yang benar-benar independen.
Sehingganya sangat naïf jika ada yang mengharamkan KNPI mengoreksi pemerintah dengan apologi bahwa tidak ada dalam sejarah KNPI berseberangan pendapat dengan pemerintah, seolah menjastifikasi bahwa KNPI bersifat dependen kepada pemerintah sehingga tidak ada ruang untuk tidak bersepakat dengan berbagai macam kebijakan pemerintah sekalipun itu timpang. Paradigma pemuda khususnya yang menjadi ketua atau pengurus KNPI dengan menyeragamkan antara KNPI era orde baru dengan KNPI era orde reformasi patut dipertanyakan landasan berpikirnya, baik dari segi referensi historis pemuda/KNPI maupun dari segi referensi konstitusi KNPI. Termasuk jika, paradigma kolot seperti itu menjadi bagian dari corak berfikir ketua dan sebagian pengurus DPD KNPI Kabupaten Banggai Kepulauan. Kesesatan berfikir ketua dan sebagian pengurus DPD KNPI Banggai Kepulauan dalam memaknai sifat dan peran KNPI dapat dilihat secara nyata pada kiprahnya selama beberapa bulan belakangan ini.
            Sejumlah kebijakan organisasi yang inkonstitusional dapat kita jadikan sebagai indicator variablenya. Mulai dari pelaksanaan rapat-rapat pleno KNPI yang jauh dari quorum karena sengaja tidak menghadirkan para unsure pimpinan DPD KNPI Banggai Kepulauan, serta pembentukan Pengurus Kecamatan (PK) yang tidak procedural karena tanpa melalui proses Musyawarah Kecamatan (Muscam) melainkan para camat se Kabupaten Banggai Kepulauan yang di mandatir untuk melakukan rekruitmen Pengurus Kecamatan dimasing – masing kecamatan sesuai dengan wilayah kerja masing-camat yang bersangkutan. Padahal jelas bahwa amanat konstitusi KNPI pada Anggaran Dasar pasal 21 ayat (2) point C menyebutkan bahwa Muscam memiliki wewenang untuk memilih dan menetapkan pengurus kecamatan, dan Pasal 30 ayat (1) bahwa Pengurus Kecamatan dipilih oleh Musyawarah Kecamatan untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
            Kesan bahwa pembentukan PK yang dilegitimasikan kepada masing-masing camat sarat dengan unsur politis atau dengan kata lain bahwa pembentukan PK ini sengaja dipolitisasi bukan hanya sekedar sebagai realisasi dari amanat Musyawarah Daerah Kabupaten (MUSDAKAB) III KNPI Banggai Kepulauan tetapi lebih dari itu sebagai ajang rekruitmen tim sukses untuk pemenangan incumbent pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati  Banggai Kepulauan yakni Irianto Malingong dan Ehud Salamat (IRES).  Sebab bagimana mungkin seorang Bupati hanya dengan label ketua dewan pembina KNPI turut menandatangani surat DPD KNPI Bangkep yang ditujukan kepada para camat se Kabupaten Banggai Kepulauan perihal perintah pembentukan PK. Sementara dalam konstruksi struktur organisasi KNPI, posisi dewan pembina yang meliputi unsur Muspida bersifat  informal struktural, sehingga tidak memiliki legitimasi konstitusi untuk dilibatkan dalam pengambilan kebijakan organisasi, berbeda halnya dengan Dewan Pengurus dan Majelis Pemuda Indonesia (MPI) yang bersifat formal struktural. Ini tentunya sangat lucu, sebagai organisasi independen KNPI Banggai Kepulauan seolah seperti layaknya organisasi birokrasi semacam Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang dalam pelaksanaan kebijkannya menggunakan garis komando birokrasi.
            Yang luar biasa lagi, penyebutan struktur pengurus ditingkat kecamatanpun berubah nama dengan menggunakan termilogi DPC (Dewan Pimpinan Cabang) KNPI, bukan Pengurus Kecamatan (PK) sebagimana disebutkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KNPI, kemudian adalagi ditingkat desa yang disebut PAC (Pengurus Anak Cabang) hal ini seperti diberitakan dalam media massa yang menyebutkan bahwa Ketua KNPI Bangkep melantik 19 DPC KNPI Kecamatan. Penggunaan terminologi ini mengigatkan saya pada struktur partai politik kita yang akrab menggunakan  penyebutan itu untuk pengurus ditingkat Kabupaten dan Kecamatan. Mungkin penyebutan ini bagian dari isyarat bahwa memang KNPI Bankep adalah organisasi politik, sama seperti PDIP dan PAN yang siap untuk mengusung calon Bupati dan Wakil Bupati Banggai Kepulauan periode 2011-2016.  sehingga pelantikan 19 PAC KNPI Bangkep merupakan salah satu strategi konsolidasi untuk memenangkan kandidit yang diusung DPD Partai KNPI kabupaten Banggai Kepulauan. Konsolidasi ke kecamatan-kecamatan dengan menggunakan atribut KNPI, mobil berlogo KNPI dengan gambar pasangan calon Bupati dan wakil bupati Bangkep merupakan salah satu  instrumen untuk mensosialisasikan bahwa DPD Partai KNPI Bangkep mendukung kandidat tersebut.
            Inilah gambaran KNPI Bangkep yang kehilangan independensi, karena bukan hanya sekedar dibarter dengan alokasi APBD 2011 senilai Rp.250 juta, tetapi juga dibarter untuk menaikan rating dimata penguasa guna mengenjot karier. Independensi KNPI pun tersandera oleh kepentingan pribadi dan kelompok tertentu dengan dalih membesarkan KNPI untuk kepentingan pemuda. kalau toh sahwat kita besar untuk ikut memainkan peran pada rana politik praktis menjelang PEMILUKADA dengan orientasi tertentu untuk mencapai ambisi pribadi maupun kelompok, maka seharusnya KNPI secara kelembagaan jangan digunakan sebagai wadah untuk menggalang dukungan yang kemudian diarahkan untuk mendukung salah satu pasangan calon karena itu merupakan infraksi konstitusi KNPI. Kalaupun KNPI ikut mengambil peran pada momentum politik seperti PEMILUKADA, maka yang paling tepat dilakukan oleh KNPI adalah bagaimana memberikan edukasi politik kepada masyarakat dengan cara turut serta mensosialisasikan penyelenggaraan PEMILUKADA dengan format yang lebih cerdas seperti acara seminar, debat kandidat dan lain sebagainya, sehingga masyarakat bisa menentukan pilihannya sesuai hati nurani masing-masing.
Profesionalisme pengurus dalam memposisikan diri sesuai dengan kapasitas mereka secara personal maupun inpersonal adalah sikap yang proporsional. Entah itu dalam kapasitas sebagai pimpinan / pengurus KNPI (ketua pemuda), sebagai pejabat daerah (bawahan) atau dalam kapasitas sebagai pribadi yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pihak penguasa tentunya merupakan salah satu aitem agar independensi organisasi tidak tericiderai. Karena sebagai lembaga berhimpunnya OKP, KNPI merupakan wadah yang mengedepankan intelektualitas.
Tetapi sepertinya susah untuk mengubah kondisi ini, peran yang tengah dilakoni KNPI Banggai kepulauan telah menjadi ciri dari karakter berfikir mereka yang Orde Baru-isme (ORBAISME). Apalagi ditambah dengan managemen pemerintahan Banggai kepulauan yang dikelola dengan mengadopsi konsep Orbaisme. Sehingga lengkaplah sudah bahwa Bangkep adalah miniature Indonesia era Orde Baru. Bagaimana tidak, Paradigma DPD KNPI Banggai Kepulauan masih terjebak pada paradigma lama (Orde Baru) karena masih beranggapan bahwa KNPI sebagai lembaga kepanjangan tangan pemerintah. Aktivitas organisasi selalu mengandalkan pada anggaran pemerintah APBD. Padahal dalam AD/ART KNPI tidak tercantum bahwa sumber anggaran utama KNPI adalah dari APBD, melainkan dari iuran anggota dewan pengurus yang ditetapkan oleh masing-masing tingkatan dewan pengurus, Sumbangan anggota, bantuan pihak lain yang tidak mengikat, dan usaha-usaha lain yang sah, dengan melalui badan-badan khusus yang dibentuk untuk mengacu pasal 32 anggaran dasar ini, sesuai dengan pasal 33 Anggaran Dasar KNPI. Kalaupun APBD masuk dalam kategori bantuan pihak lain yang tidak mengikat, berati tidak ada sebuah keharusan bagi KNPI untuk melakukan segala macam cara untuk kepentingan pemerintah / penguasa, hanya karena telah mendapatkan alokasi APBD senilai Rp.250 juta.
Tetapi kadang karena kekakuan berpikir kita dalam memaknai hal-hal yang sesungguhnya praktis seperti itu, membuat ketergantungan eksistensi sebuah ogranisasi seperti KNPI mutlak berada dalam uluran tangan pemerintah. Akibatnya independensi KNPI menjadi lentur yang menyebabkan KNPI sulit bersikap kritis terhadap pemerintah.  Padahal KNPI kekinian (orde reformasi) bukanlah KNPI dulu (orde baru) KNPI sebagai institusi bagian dari pemerintah yang harus mendapat fasilitas berupa anggaran, sarana, atau lainnya. Tetapi KNPI adalah lembaga independen yang menyuarakan kebebasan berekspresi kaum muda di ruang publik. Kebebasan berpendapat dan bersikap dilakukan untuk mengontrol kebijakan pemerintah, menjaga harmonisasi kehidupan sosial, serta mewujudkan keadilan sosial. Dan Pengurus KNPI bukan calon elit penguasa. Sebagai wadah bersama KNPI bukan tangga kekuasaan. Tetapi KNPI adalah aggregator sekaligus artikulator kepentingan masyarakat/pemuda. Aktivis pemuda yang menjadi pengurus KNPI adalah aktivis pro demokrasi yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Bukan kepentingan untuk menjadi penguasa yang dilakukan tetapi memperjuangkan amanat penderitaan rakyat yang diutamakan. Dengan perubahan kondisi sosial politik saat ini maka untuk menjadi penguasa baik di legislatif maupun eksekutif para pemuda harus lewat jalur partai politik. KNPI dijadikan sebagai laboratorium kader untuk mengasah kemampuan berpikir, bersikap, dan bertindak para pemuda Indonesia.***

NB: Catatan ini sebelumnya pernah dipublikasikan pada media massa local (Luwuk Post) edisi 25 - 29 Januari 2011