Selasa, 22 Oktober 2019

LEPAS SAJA PUPUA; GITU AJA KOK REPOT ! (Tinjauan atas Akar Masalah Papua dan Solusinya)


Oleh : F.B. ABDUL BARRY
(Aktivis dan Pemerhati Masalah Papua, dari Negeri Banggai-Sulawesi Tengah)


Judul ini diambil sebagai refleksi dari polemik Papua yang panjang dan hari-hari ini kian menghangat. Memilih ungkapan Gitu aja kok repot dari mendiang Gusdur sebagai imbuhan dari dari frasa Lepas saja Papua, karena dua alasan. Pertama, ungkapan Gitu aja kok repot bukanlah sekedar guyonan namun mempunyai makna yang cukup dalam, karena kata-kata itu berasal dari fikih Islam; "Yasir Wa La Tu Asir," yang artinya, permudah dan jangan dipersulit, begitulah dijelaskan oleh M. Hamid dalam bukunya Jejak sang Guru Bangsa (2014). Kedua, Gusdur adalah sosok yang menyejukan bagi bangsa Papua, dan mendapat tempat paling baik dihati masyarakat dan tokoh-tokoh Papua. Karena kebijakannya selama menjadi Presiden keempat RI dinilai begitu populis bagi rakyat Papua, ia mengembalikan nama Papua dengan mengganti nama Provinsi Irian Jaya menjadi Papua, serta membolehkan pengibaran bendera bintang kejora sebagai lambang budaya masyarakat Papua dengan syarat dikibarkan di bawah bendera merah putih.

Terlepas dari prolog diatas, penulis ingin mengajak kita mulai masuk pada substansi masalah Papua dari perspektif para pengamat maupun peneliti. Ottis Simopiaref, seorang pemerhati masalah Papua melihat empat masalah yang menjadi alasan mengapa orang Papua ingin merdeka, karena (a). Hak Penentuan Nasib Sendiri yang dijamin oleh Hukum Internasional; (b). Budaya yang membedakan Papua dari Indonesia, di mana Papua tergolong ras Negroid dan Indonesia tergolong ras Mongoloid; (c). Sejarah Papua yang berbeda dengan dengan Indonesia sebelum Majapahit dan Hindia Belanda; (d). Realitas di mana rakyat Papua menolak hasil Pepera 1969 dan masih tetap menuntut hak menentukan nasib sendiri. 

Sementara riset Tim LIPI tahun 2006 yang kemudian dituangkan dalam buku Road Map Papua (2008) juga menyimpulkan empat akar masalah Papua, yaitu (1). Masalah marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap Orang Asli Papua sejak 1970. (2). Kegagalan pembangunan terutama di bidang Pendidikan, Kesehatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. (3). Adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. (4). Pertanggungjawaban atas kekerasan Negara di masa lalu terhadap Warga Negara Indonesia di Papua. 

Kedua Pandangan di atas, struktur dan esensinya adalah sama, namun bagi penulis dari keempat indikator akar masalah yang serupa itu, bila di tinjau dari perspektif ekonomi-politik "Substansi utama dari akar masalah Papua adalah masalah Kekayaan Sumber Daya Alam". sebab kekayaan alam itulah yang telah menjadikan Papua sebagai daerah yang diperebutkan. dimana obsesi geopolitik strategis Indonesia dan konsesi kapitalisme asing (Amerika) melalui Freeport McMoRant (FCX) saling berkelahi berebut kuasa atas kekayaan tanah Papua.

Lihat bagaimana argumentasi dari Bung Karno dan Yamin ketika terjadi perdebatan alot dengan Bung Hatta di sidang BPUPKI pada 10-11 Juli 1945 tentang batas-batas wilayah Indonesia khususnya yang menyangkut Papua Barat, bahwa "...Papua menjadi sumber kekayaan alam yang tidak ternilai, sehingga bisa diwariskan kepada generasi Indonesia berikutnya". Serta bagaimana peran konspiratif Allen Dulles Direktur of Central Intelligence Agency (CIA) dengan pengusaha raksasa minyak Amerika Serikat, Rockefeller, yang bergitu bernafsu menguasai Alam Papua setelah mengendus laporan penemuan gunung emas (1936) di Ertsberg oleh tiga geolog asal Belanda, Dozy, Colijn, dan Wissel.

Fakta ini menjadi motif terselubung dari memihaknya Amerika Serikat kepada Indonesia dalam sengketa Irian Barat (kini Papua) dengan Belanda, karena beririsan dengan motif kecemasan politik Amerika Serikat ketika melihat Bung Karno begitu dekat dengan Rusia, dan memberikan peluang tumbuhnya komunisme di Indonesia secara terbuka. Sebagai negara Kapitalistik menurut pengamatan CIA hal ini tak akan menguntungkan Amerika Serikat ke depan (Yorrys Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka, 2002).

Indikasi itu tergambar jelas dari testimoni Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns dalam buku "Bayang-bayang Intervensi, Perang Siasat John F. Kennedy dan Allen Dulles atas Soekarno (2019) karya Greg Poulgrain, dimana Luns mengatakan, bahwa Amerika memaksa Belanda keluar dari Papua setelah menolak kerja sama penambangan sumber emas dan tembaga. Akan tetapi setelah berhasil mendepak Belanda dari Papua, Amerika juga tidak berhasil masuk lantaran kebijakan ekonomi Soekarno. Oleh karena itu, Direktur CIA Allan Dulles, berusaha menggulingkan Soekarno.

Momentumnya bersambut ketika Soekarno jatuh dan digantikan oleh Soeharto, gunung emas Papua pun lepas, bahkan diduga kuat menjadi salah satu alat bargaining rezim Soeharto ketika meminta dukungan dari CIA Amerika serikat. Lewat memoar pribadinya yang ditulis Rayani Sriwidodo berjudul Jenderal dari pesantren Legok: memoar 80 tahun Achmad Tirtosudiro (2002), Mayjen TNI Achmad Tirtosudiro  menerangkan bahwa dirinya yang waktu itu menjabat Ketua Ekonomi KOTI (Komando Operasi Tertinggi) dan Brigjen TNI Alamsyah Ratu Perwiranegara diperintahkan oleh Mayjen TNI Soeharto untuk menghubungi CIA, para Duta Besar asing, dan perusahaan-perusahaan besar. Perintah itu dikeluarkan Soeharto setelah menerima Supersemar (Surat perintah 11 Maret 1966) dari Presiden Soekarno.

Beberapa bulan setelah pengangkatannya yakni tanggal 7 April 1967 Soeharto langsung menandatangani Kontrak Karya I (1971-1988) dengan memberikan izin kepada Freeport Sulphure Company, melalui anak perusahaannya (subsidiary) Freeport Indonesia Incorporated (Freeport) sebagai kontraktor tunggal dalam eksplorasi, eksploitasi dan pemasaran tembaga Irian Jaya selama 30 tahun. Sejak mulai beroperasi 1971 dengan luas konsesi lahan 11 ribu hektare, dan Kontrak Karya dengan Freeport dilanjutkan dengan Kontrak Karya II yang berlaku sejak tahun 1991 (kelanjutannya sulit diakhiri) sampai sekarang (Ferdy Hasiman, Freeport Bisnis Orang Kuat vs Kedaulatan Negara, 2019). 

Dari uraian diatas, nampaklah motif-motif primer dari argumentasi para aktor yang terlibat dalam perjuangan integrasi Papua ke Indonesia hingga setelah integrasi, bahwa betapa kuatnya obsesi penguasaan ekonomi politik sebagai motif utama. Presiden Soekarno ngotot mencaplok Papua menjadi bagian dari Indonesia meskipun ditentang oleh Bung Hatta, karena alasan kekayaan Alam Papua sebagai modal besar yang bisa diwariskan kepada anak-cucu bangsa Indonesia secara turun temurun.

Begitupun Allen Dulles dan Soeharto, Dulles berupaya menggulingkan Soekarno karena sikap keras kepala Soekarno yang enggan memberikan konsesi eksploitasi emas dan tembaga di Papua. begitu pula Soeharto yang demi selangkah memenuhi ambisinya menggeser posisi Soekarno sebagai Presiden Indonesia kemudian meminta back-up Asing, CIA dan perusahaan-perusahaan besar (Freeport McMoRant) termasuk didalamnya, dengan barter investasi dan konsesi kekayaan Alam Papua juga karena motif ekonomi-politik.
      
Bedanya, sebagai seorang nasionalis sejati yang anti kolonialiasi barat Soekarno menginginkan kekayaan alam Papua dikelola dan dinikmati sebanyak-banyaknya oleh bangsa sendiri. Sementara Soeharto merelakan dikelola oleh bangsa Asing meskipun dengan keuntungan yang sekecil-kecilnya asal kekuasaan dapat diperoleh. Walaupun keduanya sama-sama memiliki sinkretisme kejawaan yang kuat. Dari sinilah motif perebutan kekayaan alam Papua menjadi pintu masuknya berbagai masalah pelik di tanah Papua, mulai dari masalah diskriminasi, ketidakadilan, dan pelanggaran HAM, bahkan Orang Asli Papua seperti Suku Amungme dan Suku Kamoro di alienasi dari rumahnya sendiri. 

Hal ini mulai dapat dilihat dari proses integrasi (New York Agreemeent,15 Agustus 1962 dan Pepera, 14 Juli-2 Agustus 1969), izin konsesi bagi Freeport (7 April 1967) hingga pada kebijakan pembangunan terutama masa orde baru (1965-1998) yang dapat kita sorot korelasinya secara kausalitas. Antara motif-motif utama penguasaan Sumber Daya Alam dan kebijakan Pembangunan yang cenderung mengalienasi orang Papua asli agar semakin tidak berdaya, dengan menyemati mereka berbagai stereotipe yang bersifat peyoratif seperti monyet, bodoh, separatis, dan belum mampu mandiri. Menunjukan seolah-olah mememang bangsa Papua tidak pantas berdaulat dan karenanya harus terus berada dibawah hegemoni negara Indonesia.

Singkatnya, bagi penulis bila kita coba berhusnuzon pada motif kekukuhan Bung Karno untuk membebaskan Papua dari kekuasaan Belanda dan membawanya ke "Pangkuan IBU PERTIWI Indonesia". Karena kekayaan Papua dibutuhkan untuk kemakmuran bangsa Indonesia yang besar ini, bukan hanya buminya yang dimiliki secara utuh tetapi seluruh kandungannya benar-benar dinikmati untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, khususnya bagi masyarakat Papua. Dalam hal ini, motif Bung Karno kita mahfum sebagai suatu keinginan luhur untuk merangkul Papua dan memeluknya sebagai satu kesatuan solidaritas saudara yang harus dibebaskan pula dari belenggu penjajahan Belanda (meskipun narasi ini begitu paradoks karena kuatnya motif politik dalam diskursus awal perjuangan integrasi Papua ke Indonesia). Itulah mengapa Bung Karno tidak mau memberikan izin eksploitasi gunung emas di Ertsberg Mimika Papua kepada Pihak asing terutama Amerika Serikat melalui Freeport. 

Jika merujuk "Indonesia sebagai Ibu Pertiwi", maka relasi Indonesia dan Papua dalam konteks Keluarga Besar Bangsa Indonesia sebagaimana yang keinginan imajiner Bung Karno, dapat kita analogikan hubungan antara Indonesia dan Papua, selayaknya "hubungan antara Ibu dan Anak, indonesia sebagai ibu dan Papua sebagai anak".  Dalam relasi ini, sebagai Ibu, Indonesia tentu memiliki tanggungjawab untuk mengayomi Papua dari segala gangguan orang asing, mendidiknya secara telaten, mengasihinya setulus hati, tidak memperlakukannya secara diskriminatif dan lain sebagainya, yang pada hakikatnya bagaimana Indonesia memuliakan Papua sebagaimana mestinya perlakukan seorang ibu kepada anak kandungnya sendiri. 

Bukan justru mencurigai, memberi stigma nakal, kotor, busuk, separatis, bodoh dan tidak memiliki kompetensi untuk mandiri, serta menggadaikannya kepada orang asing untuk di eksploitasi, atau bahkan secara bersama-sama berkonspirasi dengan pihak asing ikut memeras dan menindas anaknya sendiri. ini tentu perilaku seorang ibu yang tidak baik, yang gagal mendidik dan memberi pengayoman. seorang yang benar-benar merasa ibu kandung tidak akan bersikap semacam itu, kecuali mungkin ia adalah seorang ibu kandung yang durhaka pada anaknya sendiri. Kalaupun tidak, kemungkinan sikap itu hanya bisa dilakukan oleh seorang ibu tiri hehehe...

Rangkaian panjang sejarah pelanggaran HAM, stigmatisasi, diskriminasi bahkan upaya-upaya alienasi secara sistematis bagi bangsa Papua melalui berbagai kebijakan pemerintah Indonesia, terutama pada era orde baru Soeharto hingga reformasi menunjukan bahwa Indonesia telah gagal menjadi ibu yang baik bagi Papua. Insiden rasisme dengan stereotipe Monyet, busuk, bodoh dan lainya yang sampai sekarang terus terjadi dan dilakukan oleh sesama anak bangsa, terhadap saudara kita Papua, menunjukan bahwa memang sebagai Ibu Indonesia telah gagal. Gagal berlaku adil, gagal memberi rasa nyaman, gagal mendidik anak-anaknya untuk saling menyanyagi, untuk tidak saling mengolok-olok dan menghina bentuk fisik serta merendahkan martabat kemanusiaan sesama saudara.

Reaksi kenakalan dari seorang anak merupakan resonansi yang ditimbulkan dari kegagalan seorang ibu dalam memanusiakan anaknya. Karena itu anak tumbuh menjadi anak yang bandel dan suka membatah ibunya, lalu kemudian distigma sebagai anak durhaka. Padahal kedurhakaan itu awalnya timbul dari ajaran kedurhakaan sang ibu kepada anaknya. Analogi relasi antara Indonesia sebagai ibu dan Papua sebagai anak, serta sebab dan akibat dari dialektikanya selama ini, menurut penulis menuntun kita pada dua kesimpulan : Pertama, bahwa Indonesia sebagai Ibu telah gagal. Bukan hanya gagal mengindonesiakan orang Papua, tapi lebih substansi lagi yaitu gagal memanusiakan orang Papua. Kedua, Reaksi kenakalan (perlawanan) dari sang anak yang bernama Papua, merupakan efek dari kegagalan sang ibu dalam mendidik dan memberi rasa nyaman. 

Karena itu, menyelesaikan masalah Papua membutuhkan kebijaksanaan yang tinggi dari pemimpin bangsa, semacam Soekarno yang berjiwa nasionalis sejati. Berani mengatakan tidak, secara lantang dan tegas kepada Asing yang hendak menguasai kekayaan alam Indonesia, atau paling ideal mungkin seperti Gus Dur yang begitu humanis dan simple dalam memimpin. Jiwa itu sepertinya belum dimiliki pemimpin hari ini, yang lebih sibuk memoles citra diri ketimbang menyelesaikan polemik dan tragedi kemanusiaan. Jika terus seperti ini, kengototan Indonesia untuk mempertahankan Papua di tengah kegagalannya sebagai ibu yang  baik, dan reaksi Papua sebagai anak yang merasa dirugikan dan hendak membebaskan diri, maka masalah Papua akan terus menguras energi kita dalam bernegara.   

Oleh sebab itu, kita butuh pemimpin yang berani mengambil sikap gentle dan legowo, mengakui kegagalan dan daripada menjadi ibu yang durhaka kepada anaknya dan atau terus terbebani oleh perilaku nakal anaknya. Maka solusinya menurut penulis kita “Lepaskan saja Papua, gitu aja kok repot..!!”. Setidaknya dengan melepaskan Papua Indonesia menjadi berbas dari dosa sebagai ibu yang tidak baik dan hanya mengeksploitasi anaknya, dan Papua bebas dari dosa sebagai anak yang durhaka bagi ibunya. Sehingga nanti soal masa depan Papua menjadi tanggungjawab bangsa Papua, kelanjutan konsesi Freeport-pun menjadi tanggungjawab mereka jika kelak mereka berdaulat sebagai negara. Intinya, hidup atau matinya Papua, perang atau damainya Papua, semuanya menjadi tanggungjawab Bangsa Papua. Opsi ini tentu mustahil dilakukan bila di dalam hati kita yang merasa bangsa Indonesia, masih ada ketidakrelaan melepaskan Papua karena motif politis apalagi motif ekonomi, sebab kita (Indonesia) akan kehilangan wilayah koloni dengan kekayaan alam yang besar.(***)

Atikel  ini pernah di muat pada media massa online https://majalahwekonews.com edisi 18/09/2019

Minggu, 19 November 2017

TRENDING TOPIC SETNOV VS CAK IMIN (Antara fenomena Tiang Listrik dan Cawapres 2019)

Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry 
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta)


 “Setya Novanto (Setnov) dan tiang listrik” adalah trending topik ini pekan ini, berbagai linimasa media dipenuhi berita tentang pertemuan ‘mereka’ (baca:Setnov dan tiang listrik) yang berujuang rumah sakit, disisi yang lain ada KPK yang mencari. Begitu dramatik, sekaligus menggelitik, kisah segitiga antara KPK, setnov dan tiang listrik. Namun ini bukanlah kisah pertama Setnov yang menyita perhatian publik. Ada banyak, mulai dari papa minta saham sampai papa minta bantal, yang kedua itu sering terekam oleh camera wartawan, tetapi yang terkini dan menjadi viral ketika Setnov tengah khusyuk dalam mimpinya disaat resepsi pernikahan putri Presiden Jokowi, Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution pada Rabu 8 Noverber 2017 Silam. 

Menariknya, ada satu sosok yang menyita perhatian karena sikap solidernya yang terekam dalam video tersebut dinilai sebagai upaya menutupi fenomena sleeping Beauty Setnov yang tengah lelap. Dialah Muhaimin Iskandar (Cak Imin) ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sebuah asai dari Haris Firmansyah berjudul “Berkat Papa Setnov, Cak Imin melambung sebagai Cawapres 2019” (mojok.co/16/11/17) yang menyorot video itu, setidaknya telah memantik rasa penasaran penulis untuk kemudian membaca dan membuat komparasi atas fenomena kedua tokoh yang sama-sama menjadi trending topik pada beberapa minggu ini. Setnov menjadi trending topik karena fenomenanya yang begitu unik, dramatik, sekaligus menggelitik lucu. Ia seolah seperti Superman, yang kuat dan tak terkalahkan, meski sejumlah titik lemahnya dibidik ia tetap bisa luput, status tersangka, gugur dimeja prapradilan, sakit komplikasi akut tapi bisa berlari. Begitulah gambaran fenomenalnya seorang Setnov sehingga wajarlah ia menjadi trending topik. 

Sementara Cak Imin juga tak kalah fenomenal, ia memenangi tarung ‘melawan’ kelompok Gur Dur dalam berebut kuasa di PKB pada tahun 2008, lalu sukses menjaga surviver PKB di level aman angka parliamentary threshold pada pemilu 2009 dan 2014 hingga mengantarkan PKB sebagai Partai dilingkungan kekuasaan Jokowi-JK dengan posisi yang strategis. Bagi penulis itu semua tidak lepas dari kelihainnya dalam memilih momentum dan timing yang tepat untuk mengambil sikap berbeda atau bersama dalam koalisi. Tak heran jika kini, Cak Imin oleh banyak kalangan dinilai sebagai figur muda paling potensial dalam bursa calon Wakil Presiden pada Pemilu 2019 mendatang. Dalam kurun waktu Oktober-November PKB sudah menerima ± 71 dukungan dari berbagai kalangan masyarakat dari beberapa wilayah provinsi di Indonesia, baik dari kelompok partisan maupun non partisan yang mendeklarasikan dukungannya kepada Cak Imin untuk maju sebagai Cawapres (Kompas.com/9/11/17). Inilah yang menjadikan Cak Imin trending topik pemberitaan media, khusunya pada sejumlah media online mainstream. 

Mengamati fenomena trending topik Cak Imin ini, secara garis besar ada 2 (dua) hal yang menunjukan bahwa gelombang dukungan itu begitu objektif dan rasional. Pertama, Cak Imin adalah figur muda progresif, berpengalaman dan religius. Latar belakangnya sebagai seorang santri dan aktivis kampus era reformasi 98, serta rekam jejaknya sebagai pimpinan partai, anggota parlemen dan kabinet, dipandang cukup menjadi pertimbangan kelayakannya untuk menjadi Cawapres, untuk meretas sejumlah persoalan kebangsaan yang menjadi amanat reformasi yang belom terselesaikan. Kedua, mengakar dan memiliki basis massa yang riel. Kapasitasnya sebagai ketua umum PKB serta capaian 11.298.957 (9,04%) suara PKB pada Pemilu 2014, memberikan gambaran bahwa sosoknya populis dan memiliki kemampuan membangun dan menjaga jaringan sosio cultural partai khususnya dikalangan kaum Nahdliyin. Dengan modal ini, akan memungkinkan terbukanya dukungan ulama terhadap dirinya bila maju sebagai Cawapres. 

Dari kedua indikator tersebut, terlepas kemudian ada beragam asumsi orang tentang kisruh Cak Imin vs Gus Dur, apakah sekedar “dramaturgi politik Gus Dur” seperti kata Mas’ud Adnan Ketua IKAPETE (nu.or.id/06/04/14) atau benar sebuah pembangkangan seperti sanggahan Alissa Wahid pada satu artikel berjudul bapakku bukan perekayasa konflik (pribuminews.co.id/13/11/17). Tetapi yang pasti bagi penulis, karakter politik Cak Imin yang konsisten, toleran dan humble, bisa berkoalisi dengan siapa saja sepanjang sesuai dengan garis partai dan kemaslahatan umat membuat sosoknya bisa diterima oleh semua kalangan. Hal ini menunjukan bahwa Cak Imin adalah salah satu wujud suksesnya Gus Dur dalam melakukan proses kaderisasi. Tentu gaya politik semacam ini diperlukan untuk menjaga harmonisasi komunikasi antara pemerintah (kalangan nasionalis) dan agamawan (kalangan religius).

Apalagi ditengah menguatnya kembali sikap intoleransi atas berbagai keberagaman yang dapat memecah belah bangsa, maka figur dan karakter kepemimpinan ala Gus Dur tentu sangat relevan. Sehingga bila di bandingkan dengan sejumlah nama yang mencuat seperti Setya Novanto, Jenderal Gatot Nurmantyo, ataupun Agus Harimurti Yudhoyono, maka menurut hemat penulis Cak Imin adalah yang paling refresentatif, bila kita harus memadumadankan kalangan nasionalis dan religius, politisi dan teknokrat atau militer, Cak Imin dapat dipasangkan dengan siapa saja dari kalangan apapun Calon Presidennya, termasuk juga bila dipasangkan dengan petahana Joko Widodo.(**)

Selasa, 04 Oktober 2016

EKSPANSI POLITIK dan PERANG DINASTI (Catatan Jelang Pilkada BangKep)


Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Konsentrasi Politik Indonesia
Universitas Nasional Jakarta)


Politik kekerabatan atau politik dinasti, memang bukalah fenomena baru dalam alam demokrasi, tetapi belakangan pasca reformasi 98, politik dinasti menjadi salah satu topik perbincangan paling menarik diranah politik dalam proses demokratisasi di daerah-daerah di Indonesia. Ia menyita perhatian dalam kaitannnya dengan ketidaksetaraan distribusi kekuasaan politik sebagai refleksi dari ketaksempurnaan sistem demokrasi representasi, yang dibenarkan bila demokrasi dilihat semata-mata secara prosedural, tetapi salah bila dilihat secara substantif. Politik dinasti bertentangan dengan demokrasi, karena dalam politik dinasti, ada syahwat berlebihan untuk mengekalkan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan. Sifat alamiahnya adalah kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di atas garis trah dan kekerabatan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan, tujuan-tujuan bersama, keputusan dan kerja-kerja asosiatif. Pengekalan dan pelembagaan politik dinasti dimungkinkan dengan merajalelanya politik-uang, dan memperbesar celah korupsi, kolusi dan nepotisme. Demokrasi diubah teksturnya sedemikian rupa bukan lagi sebagai ruang kontestasi ide, gagasan, program dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan kelompok-kekerabatan. Inilah tendensi yang disebutkan filsuf Italia Gaetano Mosca, dalam karyanya The Rulling Class (1980).

Di Indonesia, politik dinasti yang menempatkan hubungan kekerabatan pejabat sebagai faktor utama dalam suksesi kepemimpinan begitu tumbuh subur, sebut saja contoh dinasti Yasin Limpo di Sulawesi Selatan, dimana adik-adik serta anak Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo menduduki posisi Bupati, Anggota DPR, dan DPRD, demikian pula di Banten, yang mana suami, anak, menantu, dan saudara mantan Gubernur Ratu Atut Chosiyah ikut berada dalam lingkar kekuasaan. Kaitannya dengan politik dinasti dalam catatan ini, penulis sekedar mengajak kita berlayar sejenak kepulau hati (Peling) untuk mengamati kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) 2017 mendatang, karena ditengah hiruk pikuk politik disana, diantara panasnya klaim perebutan kapal (Partai-red) tentang siapa yang menjadi nahkoda dan dikapal mana dia, telah usai. Ada 2 (dua) kontestan dari empat pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati berlabel Dinasti Politik yang tengah berebut hati masyarakat BangKep, yaitu Dinasti MUS yang direfrensentasikan pada diri Cabup Zainal Mus, dan Dinasti MALINGONG yang direfresentasikan pada sosok Cabup Irianto Malingong. Kedua klan itu penulis sebut dinasti karena memenuhi syarat sebagai suatu dinasti politik. Sebab baik MUS maupun MALINGONG merupakan dua klan (keluarga) yang sukses membangun kekuatan dan kekuasaan politik di daerah mereka masing-masing, dinasti MUS di Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara dan dinasti MALINGONG di Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah.

A.        Perbandingan Dinasti  

Sebelum kita mulai menganalisis soal alotnya perang dinasti dan peluang kemenangan dari masing-masing dinasti tersebut, mari kita lakukan kajian komparatif soal plus minus kedua dinasti politik ini. Pada Dinasti MUS ada Ahmad Hidayat Mus (AHM) kakak Zainal dan Aliong, mantan Bupati Kepulauan Sula (Kepsul) dua periode sekarang Koordinator Pemenangan Pilkada Kawasan Indonesia Timur DPP Partai Golkar, lalu Zainal Mus, mantan ketua DPRD Kepsul dua periode sekarang kontestan di Pilkada Bangkep, dan Aliong Mus, mantan Anggota DPRD Provinsi Maluku Utara sekarang Bupati Kabupaten Pulau Taliabo periode 2015-2020, serta Nurohmah Mus, istri AHM, anggota DPR RI komisi IV dari Fraksi Partai Golkar.
Sementara pada Dinasti MALINGONG ada Irianto Malingong, kakak dari Sulaeman dan Israfil, Ia mantan Bupati Bangkep, sekarang ikut kembali menjadi kontestan di Pilkada Bangkep, kemudian ada Sulaeman Husen Malingong, tiga periode sebagai wakil rakyat, mantan Ketua DPRD Bangkep, sekarang Wakil Ketua DPRD Bangkep, serta Israfil Malingong, yang juga tiga periode dikursi legislatif Bangkep, sekarang Wakil Ketua DPRD Bangkep.
Komparasi dari sisi karakteristik politik-kekuasaan, kedua dinasti ini berbeda, bila kita meminjam istilah dalam strategi permainan sepak bola, maka dinasti Mus cenderung memiliki karakter politik-kekuasaan yang ofensif (agresif). Sementara dinasti Malingong memiliki karakter politik-kekuasaan yang cenderung defensif (bertahan). Karakteristik ini dapat dilihat dari rekam jejak kekuasaan kedua dinasti politik itu. Dimana, dinasti Mus yang dikomandoi AHM setelah sukses membangun kekuasaan dinasti politik di Kabupaten Kepulauan Sula, mereka lalu melakukan perluasan wilayah kekuasaan keluar daerah Kepulauan Sula, menuju pentas politik regional Malut dan pentas politik nasional. AHM sang kakak setelah dua periode menjabat Bupati Kepsul, ia naik level dan ikut bertarung pada Pilkada Gubernur Maluku Utara (Malut) tahun 2013 menantang sang petahana Abdul Gani Kasuba (AGK) meskipun gagal. Setelah Kabupaten Pulau Taliabo dimekarkan dari Kepsul pada akhir 2012, giliran kedua adiknya Zainal Mus dan Aliong Mus yang bertarung secara head to head di gelaran Pilkada serentak 2015, memperebutkan posisi Bupati pertama Pulau Taliabo yang berhasil dimenangkan oleh Aliong Mus. Setelah Kalah dari sang adik Aliong Mus, kini Zainal Mus melintasi tapal provinsi untuk berkontestasi sebagai Calon Bupati Banggai Kepulauan periode 2017-2022 berpasangan dengan Rais Adam.
Dari rekam jejak dan komposisi kekuasaan yang diduduki, dapat kita lihat bahwa dinasti Mus memiliki karakter politik ofensif. Sementara pada dinasti Malingong, setelah Irianto Malingong sempat terpental dari kursi kekuasaan pada Pilkada Bangkep 2011 silam, kedua adiknya, Sulaeman Husen Malingong dan Israfil Malingong, meskipun sebelumnya telah dua periode dilegislatif Bangkep, namun keduanya tidak melakukan lompatan kekuasaan politik ke level provinsi dan nasional, entah itu maju berkompetisi sebagai Calon Anggota Legislatif Provinsi dan Pusat, maupun sebagai Cagub atau Cawagub Sulteng pada Pilkada serentak 2015, hanya Iriantolah yang sempat mencoba peruntungan maju sebagai Calon Anggota DPR RI pada pileg 2014 namun gagal, dari rekam jejak ini menunjukan, bahwa dinasti Malingong memiliki karakter politik defensif.
Simpelnya, dapat dikatakan dinasti Mus bukan hanya memiliki kualifikasi sebagai jagoan kandang tetapi juga jagoan tandang, sedangkan dinasti Malingong memiliki kualifikasi sebagai jagoan kandang. Dalam hidmat penulis, perbedaan karakteristik politik-kekuasaan antara dua dinasti ini, lebih disebabkan oleh 2 (dua) faktor yaitu Pertama, faktor bawaan budaya lokal yang secara natural membentuk mind sett politik, dalam hal ini tentu berbeda antara kearifan lokal orang kepulauan Sula-Taliabo  dengan orang Sea-sea Banggai, sehingga membentuk mind sett dan karakter budaya politik yang berbeda pula antara orang Sula-Taliabo dan orang Sea-sea Banggai. Faktor Kedua, adalah kaitannya dengan budget politik. Seperti dilansir dari berbagai sumber media online, Dinasti Mus yang dikomdoi AHM, selama berkuasa diwilayah Kepulauan Sula, bukan hanya sukses membangun kekuatan politik, tetapi juga sukses membangun imperium ekonomi dinasti hingga menjadi kaya raya dengan rincian kekayaan yang fantastis. Hasil verifikasi daftar kekayaan Cagub AHM yang dilakukan oleh KPUD Malut pada gelaran Pilgub 2013, menemukan total kekayaan AHM kurang lebih Rp.1 triliun, tentu ini berbeda dengan kekayaan dinasti Malingong apalagi kekayaan pribadi Irianto Malingong.

B.        Ekspansi dan Perang   

Membaca uraian atas karakteristik dua dinasti politik tersebut, telah dapat dipahami dalam rivalitas ini, dinasti Mus berposisi sebagai pihak yang melakukan ekspansi kekuasaan (penantang), sementara dinasti Malingong berposisi sebagai pihak tuan rumah (ditantang) sehingga terjadilah perang dinasti antara dinasti Mus dan dinasti Malingong. Perang dinasti ini, syarat gengsi dan emosi, karena bukan hanya pertarungan antara orang-orang kuat lokal, yang dalam perspektif Joel Migdal disebut local strongmen, tetapi juga ada fanatisme identitas kedaerahan disana. Tajamnya isu tentang tragedi sejarah masa lalu (Perang Tobelo), dan isu motif kesombongan politik dinasti Mus sebagai konglomerat dari negeri Sula Maluku Utara yang hendak menjadikan Pilkada Bangkep sebagai panggung judi untuk membeli kuasa, “karena tidak tau lagi mau dikemanakan duitnya”, membuat duel ini menjadi perang pertaruhan kehormatan. Antara kehormatan dinasti Mus, sebagai dinasti petarung dan penjudi kuasa yang berani kemana-mana mencari lawan tanding, serta kehormatan dinasti Malingong sebagai dinasti lokal yang mengakar, dengan atribusi pau lipu yang telah teruji abdinya pada negeri Sea-sea Banggai Kepulauan.
Inilah perang dinasti bertajuk Pilkada Bangkep yang menarik di ikuti alur pertempurannya. Sebab bukan hanya mempertemukan dua aktor refresentatif dari dinasti politik Mus dan Malingong, yakni Zainal Mus dan Irianto Malingong, tetapi juga mempertemukan dua tokoh politisi nasional yang saling memberi backing pada dua figur Calon Bupati tersebut yaitu, Ahmad Hidayat Mus, mantan ketua DPD I Partai Golkar Provinsi Maluku Utara, sekarang menjabat Koordinator Pemenangan Pilkada Kawasan Indonesia Timur DPP Partai Golkar, yang disebut-sebut sebagai salah satu dari orang kepercayaan Abu Rizal Bakrie, berada dibelakang Zainal Mus. Sedangkan Ahmad Ali, Ketua DPW Partai NasDem Provinsi Sulawesi Tengah, sekarang menjabat anggota DPR RI, merupakan tokoh NasDem yang diandalkan Surya Paloh diwilayah Sulawesi Tengah berada dibelakang Irianto Malingong.         

C.        Analisis Kemenangan   

Plus minus kedua figur Calon Bupati, Zainal Mus dan Irianto Malingong, yang paling mudah diidentifikasi adalah Zainal Mus mungkin lebih mumpuni dari segi budget politik daripada Irianto, tetapi ia kurang dari segi kekuatan grassroot (akar rumput), sementara Irianto Malingong lebih mengakar ditingkat akar rumput, meskipun mungkin kalah dari kekuatan finansial bila dibandingkan dengan Zainal. Rilis hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Indo Barometer masih menempatkan pasangan calon Irianto Malingong-Hesmon FVL Pandili (IRHES) sebagai pasangan yang paling diinginkan oleh masyarakat untuk memimpin Kabupaten Banggai Kepulauan lima tahun kedepan, jauh dari Pasangan Calon Zainal Mus-Rais Adam (ZAMRA). Hal ini wajar, karena Irianto Malingong adalah mantan Bupati Banggai Kepulauan yang dinilai telah terbukti dedikasinya dalam pembangunan infrastruktur daerah selama ia memimpin, sehingga secara popularitas dan elektabilitas beliau sangat baik. Sedangkan Zainal Mus adalah pendatang baru dalam kancah politik lokal Bangkep, yang baru mulai membangun citra agar dikenal dan kelak dipilih menjadi pemimpin Bangkep.
Melihat dari komposisi koalisi partai pengusung, Paslon ZAMRA yang diusung Partai Demokrat, PKS, Partai Hanura dan PBB dengan 6 kursi diparlemen, dan Paslon IRHES yang didukung empat partai koalisi yakni NasDem, PAN, PPP dan Golkar dengan 13 kursi dukungan di DPRD Bangkep. Secara matematis pasangan IRHES masih jauh lebih unggul, apalagi dua partai besar pemenang Pileg 2014 yakni PAN dan Golkar masuk dalam koalisi Montolutusan itu, ditambah lagi ada PDIP, yang meskipun mengusung Pasangan Calon HERI ADJA tetapi kekuatannya akan terbelah ke IRHES, karena bagaimanapun faktor Israfil Ketua DPC PDIP Bangkep adalah adik kandung Irianto, sehingga secara psikologi politik diluar dari upayanya untuk profesional, kecenderungan nuraninya tetap akan ke IRHES, atau dengan kata lain mesin politik PDIP tidak akan bekerja secara power full kepada Paslon Heri Adja. Meskipun demikian, bukan berarti Paslon ZAMRA tidak memiliki peluang untuk mengkudeta semua analisis keunggulan IRHES tersebut.
Dimata penulis tiga Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati yang menjadi penantang IRHES yakni  Zainal Mus-Rais Adam (ZAMRA), Heri Ludong-Adjumain Lumbon (HERI ADJA) yang diusung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra, serta Delmard Siako-Nadjib Bangunan (DESA MEMBANGUN) dari jalur perseorangan. Pertama, yang paling potensial merusak peluang kemenangan IRHES adalah ZAMRA,  karena secara finansial paslon ini dinilai sangat siap, bahkan informasi Rp.500 ribu perkepala untuk setiap konstituen yang bersedia menjatuhkan pilihan kepada Paslon ZAMRA sudah ramai diwacanakan oleh tim suksesnya. Posisi kedua dan ketiga yang berpeluang menggagalkan kemenagan IRHES dan juga ZAMRA adalah Paslon Desa Membangun dan Paslon Heri Adja.
Menempatkan ZAMRA sebagai paslon yang paling potensial merusak peluang kemenangan IRHES dengan pertimbangan “uang” cukup beralasan, meskipun uang memang tidak menjadi jaminan kemenangan. Tetapi karakteristik dinasti Mus seperti diuraikan diatas, cenderung hard (keras) berani melakukan perjudian politik secara terbuka dalam bentuk money politics, tidak seperti gaya tarung pasangan calon lain yang lebih soft (lembut). Lihat saja bagaimana kampanye “bagi-bagi duit” Ahmad Hidayat Mus (AHM) yang diunggah salah satu akun media sosial youtube pada Pilgub Maluku Utara 2013 yang berbuah ricuh, atau gaya teranyar Zainal Mus yang memborong semua jenis dagangan ikan dan sayuran di pasar Salakan (Bangkep) untuk dibagikan kepada warga. Sebuah bentuk parade kekuatan finansial yang siap dilakukan untuk menghadang setiap lawan politik di Pilkada kali ini, terutama IRHES. Yang pasti maestro dinasti Mus yakni AHM, pemilik Klub Kuda Pacu Taliabo di arena Pacuan Kuda Pulomas Jakarta Timur dengan ratusan kuda pacu bernilai miliaran rupiah, serta pemilik sejumlah mobil mewah bermerek Toyota Alphard Vellfire, Audi Q7, Land Cruiser Cygnus (Deliknews.com), akan habis-habisan memback-up sang adik Zainal Mus untuk menangkan pertarungan di Pilkada Bangkep.
Secara gengsi, tentu akan berbeda beck-up yang diperoleh IRHES dari Ahmad Ali, dengan back up politik yang diberikan AHM kepada Zainal Mus, karena relasi AHM dan Zainal Mus adalah relasi biologis antara adik dan kakak, sehingga kekuatan maksimum akan diberikan. Sedangkan relasi Ahmad Ali dan Irianto Malingong hanyalah relasi politik, Partai NasDem sebagai partai pertama yang menyatakan dukungannya kepada Paslon IRHES. Memang telah terlihat, bagaimana peran penting seorang Ahmad Ali dalam membantu Irianto melakukan negosisi kepada sejumlah DPP partai politik pengusung yang berbuah Surat Keputusan dukungan. Pada konteks dukungan maksimum, mungkin back up link dan lobi-lobi politik lebih dominan, dibandingkan dengan dukungan budget politik, tetapi bila Ahmad Ali melihat bahwa duel ini bukan sekedar duel Zainal Mus dan Irianto Malingong, melainkan duel yang mempertaruhkan reputasi dirinya (Ahmad Ali-red) sebagai salah satu orang kuat (local strongmen) di Sulawesi Tengah khususnya dikawasan Timur Sulawesi dengan AHM sebagai salah satu orang kuat di Maluku Utara, maka menurut penulis pertarungan ini akan berimbang dan habis-habisan.
Tentu bukanlah berlebihan, bila penulis menyebut, pertarungan ini adalah pertarungan pemanasan antara dua Ahmad jelang Pilgub Sultim, bila memang Provinsi Sulawesi Timur dapat lahir dalam waktu satu atau dua tahun kedepan. Sebab jika menilik dari karakteristik dinasti Mus yang ofensif dan gemar melakukan ekspansi politik, maka bila Zainal Mus memenangi Pilkada Bangkep dan Sultim terealisasi dalam kurun waktu dekat ini, kehadiran Ahmad Hidayat Mus digelanggang politik Sultim sebagai Calon Gubernur menantang Ahmad Ali dan nama lain seperti Anwar Hafidz dan Ma’mun Amir bukanlah isapan jempol.
Tetapi catatan terpenting dari ujung artikel ini adalah: kehadiran paslon ZAMRA di Pilkada Bangkep yang akan dihelat Februari 2017 mendatang, menjadi ujian apakah benar IRHES diinginkan kembali oleh masyarakat Bangkep untuk memimpin atau tidak,? apakah benar IRHES memiliki akar konstituen ideologis yang sangat kuat sehingga tidak akan tergoyahkan dengan serangan politik uang,? atau sejauh mana efektifitas pencerahan politik yang dilakukan pasangan ini dalam membentengi dan merasionalisasikan simpatisannya agar tidak tergoda dan mengalihkan dukungannya, seperti menolak pemberian uang, atau menerima pemberian uang tetapi tidak menjatuhkan pilihan pada paslon pemberi uang dan sebagainya. Hasil dari Pilkada Bangkep nantinya, sekaligus akan menjadi jawaban atas kultur dan karakteristik pemilih kita masyarakat Banggai Kepulauan, apakah pemilih ideologis-rasional atau pemilih pragmatis-irasional. (****)

Artikel ini pernah dimuat di media lokal, Koran Mingguan Suara Rakyat, Edisi VIII Minggu ke-1 Oktober 2016.

Selasa, 20 September 2016

PENJAJAHAN TERNATE & PERANG TOBELO (Suatu Refleksi Sejarah Banggai)



Oleh : AB. Fathan Luasusun


“Abraham Lincoln, berkata : “One cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan sejarah”, tetapi saya tambah: “Never leave history”. inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah historymu. Peganglah teguh sejarahmu itu, Never leave your own history!....Jika engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan berdiri diatas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit didalam gelap”.


Kutipan diatas, adalah penggalan pidato terakhir Bung Karno, yang disampaikan secara resmi di depan sidang MPRS, pada peringatan HUT RI, 17 Agustus 1966. Pidato Jasmerah, sebuah pidato yang dinilai media, sebagai pembelaan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), karena dalam pidato tersebut Bung Karno juga menyentil Supersemar, yang menurutnya telah dibelokan menjadi Surat Penyerahan Kekuasaan (transfer of power) jauh dari sejatinya, yang hanya merupakan perintah kepada Jenderal Soeharto untuk melakukan pengamanan atas situasi buruk, menyusul terjadinya peristiwa G 30 S/PKI yang oleh Bung Karno disebut Gestok.
Diluar dari penilaian politis itu, Roso Daras (2001) dalam bukunya yang berjudul : Aktualisasi Pidato Terakhir Bung Karno: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, memandang bahwa, pemikiran dan penuturan Bung Karno tersebut bersifat everlasting...evergreen..tak lekang dimakan waktu, selalu relevan dalam berbagai dimensi ruang dan waktu, bukan hanya pada konteks keindonesiaan yang jamak, tapi pada konteks kedaerahan kita yang khusus. Sehingga wejangan terakhir Bung Karno ini, adalah seruan yang harus terus digaungkan sepanjang zaman. Sebab, pesan dalam pidato itu, bukan hanya menjelaskan sikap politik Bung Karno, melainkan mengajari kita tentang filosofi sejarah. Itulah, mengapa, Bung Karno bahkan harus berulang-ulang memberi tekanan ihwal pentingnya sejarah. Sampai-sampai ia menyebut sejarah sebagai hal terpenting yang harus dipelajari segenap anak bangsa, bila tak ingin tercerabut dari akar sejarahnya.
Mian Banggai adalah bagian dari anak bangsa itu, mengerti dan menghormati sejarahnya adalah niscaya, agar dapat menterjemahkan sejarah peradabannya sendiri. Bila sejarah yang telah terdefinisikan oleh Bung Karno dalam pidato Jasmerah, baru sejarah perjuangan dan pergerakan saja, dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, dimana ada kebersamaan dan kontribusi tritunggal ideologi Nasakom, sementara bahaya laten komunisme belum terdefinisikan olehnya. Pada area kekinian, jika kita menggunakan logika terbalik yang berbeda dengan pandangan Bung Karno terhadap PKI, maka Jasmerah menjadi relevan untuk diingatkan kembali kepada setiap anak bangsa, tentang “kesadisan PKI dalam membunuh Tujuh Jenderal”, meskipun dalang dari aksi ini masih perlu diperdebatkan. Tetapi yang pasti, kalau kita menggunakan slogan Jasmerah itu, maka pesannya adalah, jangan sekali-kali melupakan sejarah kesadisan PKI. Begitupun, bila kita mengesernya pada area Sejarah Peradaban Banggai, maka pesannya yakni, jangan-sekali-kali melupakan kesadisan Tobelo, atau jangan sekali-kali merelakan Banggai terjajah kembali oleh Ternate. Ingat sejarah, dan rasa ketidakrelaan ini, juga pernah dialami dan dilakukan oleh tokoh politik era renaisance Nicollo Machiavelli, kala ia menulis surat-surat anjuran tentang bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan kepada sang penguasa Florence, Pangeran Lorenzo de’Medici (1512-1737), karena terdorong oleh patriotisme dan nasionalismenya, ia tidak menghendaki Italia kembali menjadi bangsa yang lemah dan terjajah berkepanjangan oleh Francis dan Spanyol secara bergantian seperti di masa lalu. Dan sikap ini, harus pula kita miliki sebagai anak negeri yang pernah terjajah.
Mengapa musti demikian, karena dalam derita panjang, sejarah Banggai, indentitas “Ternate” dan “Tobelo” merupakan satu kesatuan tubuh. Ternate merujuk pada Kerajaan di bagian Utara Kepulauan Maluku yang merupakan sekutu Vereeniging Oast Indische Compagnie (VOC) Belanda yang menjajah negeri Banggai selama 201 tahun, sejak raja Mbulang dipaksa oleh Sultan Ternate untuk menandatangani Kontrak I dengan Ternate dan VOC Belanda pada tahun 1689 hingga tahun 1900 pada masa raja Abdul Azis sebelum kemudian Korte Verklaring ditandatangani oleh raja Abdul Rahman di tahun 1908. Sementara Tobelo bukan hanya menunjuk pada salah satu wilayah Kesultanan Ternate seperti Galela, Jailolo, Sula, dan Bacan, tetapi Tobelo menitik pada gerombolan perompak (bajak laut) dan perampok dari Ternate dan Tidore yang sering menyerang dan menjarah harta benda orang-orang Banggai, baik saat tenang maupun saat perang, sehingga kerapkali terjadi perselisihan dan pertumpahan darah dengan Talenga-talenga (para kesatria) Banggai, baik itu di Pulau Banggai, Pulau Peling, Pulau Labobo, Pulau Bangkurung dan Pulau Bokan serta di wilayah Banggai darat. Sikap barbarian gerombolan ini, begitu lekat dan menyisakan traumatik dalam perjalanan hidup Mian Banggai, bahkan acap kali kita mendengar orang-orang tua di kampung kita, sering mempersonifikasikan anak-anak mereka yang bandel, urakan, dan suka bertengkar dengan ungkapan “Pokakanamo Kai Ko Tobelo Miano” suatu tutur yang menunjukan betapa “Tobelo” telah menjadi stigma negatif, sehingga para orang tua kita, menyiratkan agar kita tidak mengikuti karakter gerobolan Tobelo masa lalu. 

A.     Penjajahan Ternate dan Sekutunya

Kehadiran Portugis dan Spanyol yang semula di sambut baik oleh Sultan Ternate berubah menjadi kebencian, dikala kedua Bangsa Eropa itu kian bernafsu menguasai Ternate, upaya mengusir Portugis dan Spanyol dilakukan Sultan Khairun dan dilanjutkan oleh Sultan Baabullah (1570-1583) dengan meminta bantuan Kesultanan Demak dan VOC Belanda. Demak mengirim bantuan tanpa syarat sebagai bentuk solidaritas sesama Kerajaan Islam, dibawah pimpinan Raden Cokro yang kemudian sesampainya di Ternate didaulat sebagai Panglima Perang oleh Sultan Babullah (1 Moh.Yamin,1985). Sementara VOC Belanda bersedia memberikan bantuan dengan syarat mereka diberikan otoritas pula dibeberapa wilayah kekuasaan Ternate, termasuk Banggai sebagai jaminan karena posisi Ternate yang merupakan leenheffer (penerima pinjaman/bantuan perang) pada VOC  (2 Francois Valentijn,1880).
Meskipun proses integrasi Kerajaan Banggai kewilayah Kesultanan Ternate tidak melalui invasi militer,  karena kehadiran Raden Cokro di negeri Banggai sebagai sosok pembawa kedamaian atas gejolak internal Kerajaan Banggai, yang karena kebijaksanaannya, Raja Banggai kala itu, yakni Adi Lambal Polambal dan keempat penasehatnya (Basalo Sangkap) secara suka rela menawarkan pemerintahan kepadanya sebagai Adi (raja/tomundo) yang baru. Namun posisi Raden Cokro yang berlabel Panglima Perang Kesultanan Ternate, serta posisi Maulana Prince Mandapar yang dijemput dari Ternate oleh Basalo Sangkap untuk menjadi Raja Banggai selanjutnya setelah 10 tahun Kerajaan Banggai ditinggal pergi oleh sang Ayah Adi Cokro, menjadi legitimasi dari klaim Ternate atas Banggai sebagai wilayah taklukannya. Oleh karena, Ternate menganggap merekalah yang menghadiahi Banggai raja (pemimpin), walaupun secara genetik, baik Raden Cokro (Jawa) maupun Mandapar (Jawa+Portugis) tidak memiliki darah Ternate.
Memang pada masa Adi Cokro Mbumbu doi Jawa (1575-1590), Mandapar Mbumbu doi Godong (1600-1630), Molen Mbumbu doi Kintom (1630-1648), dan Paudagar Mbumbu doi Beteng (1648-1689). Banggai tidak memberi penghormatan kepada Ternate sebagai suatu negara taklukan. Karena di era Adi Cokro dan Mandapar, Banggai masih dianggap sebagai keluarga Kesultanan Ternate, sedangkan pada era raja Molen dan Paudagar, Banggai berada dalam kekuasaan Kerajaan Gowa sampai tahun 1667, saat Perjanjian Bongaya (Het Bongaisch Verdraag) yang diprakarsai Gubernur VOC, Cornelis Speelman ditandangani empat raja, diantaranya adalah raja Gowa Sultan Hasanuddin dan raja Ternate Sultan Mandarsyah, yang salah satu isi perjanjian tersebut adalah; kerajaan Gowa harus melepaskan seluruh haknya terhadap Pulau Banggai dan Pulau Gapi (Peling).
Efek samping dari Perjanjian Bongaya, yang telah melumpuhkan perlawanan Sultan Hasanuddin atas monopoli dagang Belanda, yang menginspirasi pemberontakan raja Mbulang terhadap VOC dan Sultan Ternate, turut pula dirasakan Banggai. Setelah tahun 1675 Banggai kembali dalam kekuasaan Ternate pada masa Sultan Mandarsyah (1648-1675) yang sangat berpihak kepada Pemerintahan Hindia Belanda, dan disertai penandatangan perjanjian antara Sultan Sibori (1675-1691) dengan VOC Belanda pada tanggal 7 Juli 1683 yang merupakan peresmian dari kesepakatan jahat Ternate dan Belanda atas wilayah-wilayah taklukan Ternate termasuk Banggai, sebagai kompensasi jasa baik VOC yang telah sukses membantu Ternate mengusir Portugis dan Spanyol di 1575 dan jasa sudah membantu mengembalikan Banggai ke tangan Ternate dari kekuasaan Gowa, memaksa Tomundo XII, Mbulang Mbumbu doi Balantak (1689-1705) harus tunduk dan menandatangani  Kontrak I dengan VOC Belanda pada tanggal 26 Januari 1689 (3 Dormier, Banggaishe Adatrecht ,1945).
Isi kontrak I ini, menjadi titik awal dilucutinya segala kemerdekaan Banggai dalam menentukan peradabannya, disinilah kisah penjajahan Ternate dan sekutunya compagnie Belanda kepada Banggai secara de jure dan de facto dimulai. Dr. J.J. Dormier (Abdul Barry,2016:36), terdapat 4 (empat) point dalam perjanjian (Kontrak I) tersebut yang semuanya merugikan Banggai, yaitu :   

1)      Banggai harus memberikan bantuan berupa makanan dan balatentara kepada compagnie dalam peperangan di Sulawesi dan Maluku; sebelumnya Banggai tidak ikut memberikan bantuan.
2)      Banggai dilarang melakukan pengangkatan petinggi kerajaan (Komisi Sangkap) yang terdiri dari (mayor ngopa, jogugu, kapitan laut, hukum tua), tanpa izin compagnie Belanda bersama Sultan Ternate; sebelumnya pengangkatan komisi sangkap merupakan hak prerogatif raja dengan pertimbangan Basalo Sangkap tanpa harus seizin Compagnie dan Sultan.
3)      Raja Banggai baru, harus dipilih oleh Gubernur VOC, Sultan Ternate dan Bobato Banggai), dengan mempertimbangkan tingkahlaku jahat Raja (harus setia kepada VOC dan Sultan); sebelumnya Raja Banggai baru dipilih dan dikukuhkan oleh Basalo Sangkap bukan oleh Gubernur VOC, Sultan Ternate dan Bobato Banggai.
4)      Raja Banggai harus memberikan penghormatan (upeti) kepada Sultan Ternate setiap tahun, termasuk pula pengiriman budak (ata) ke Ternate; sebelumnya tidak ada pemberian upeti dalam bentuk apapun.

Perjanjian ini kemudian diperbaharui dengan penandatanganan Kontrak II pada tanggal 9 November 1741 oleh Tomundo XIV, Abu Kasim Mbumbu doi Bacan (1728-1753) yang tak lain adalah putra dari raja Mbulang dengan penambahan point ditempatkannya seorang “utusan” berpangkat kopral dan empat orang prajurit, sebagai perpanjangan tangan Sultan Ternate yang bertugas membantu Raja Banggai melaksanakan pasal-pasal perjanjian dimaksud. Pada perkembangannya, peran “utusan” ini kian besar, karena utusan tersebut telah; (a). Memegang fungsi pemerintahan, (b). Semua kebijakan kerajaan harus sepengetahuan dan persetujuan utusan, dan (c). Mempunyai hak veto atas keputusan raja bersama para penasehatnya (Basalo Sangkap). Meski demikian, raja Abu Kasim secara sembunyi-sembunyi menjalin kerjasama dengan raja Bungku untuk melepaskan diri dari kekuasaan Ternate, namun belum sempat melakukan konfrontasi, rencana itu diketahui oleh Ternate dan VOC, Abu Kasim lantas ditangkap dan di buang ke Pulau Bacan. (4 ibid,Dormier).

B.     Perang Tobelo, Perang Melawan Penjajah

Menghadapi konfrontasi Banggai yang hendak melepaskan diri, Ternate mengerahkan orang-orang Tobelo yang selama ini dikenal oleh orang Banggai memiliki watak barbarian sebagai prajurit Kesultanan Ternate, mereka diperintahkan oleh Kesultanan Ternate untuk menyerang, mengintimidasi dan melakukan berbagai macam teror agar orang-orang Banggai menyerah dan takut memperjuangkan kemerdekaannya. Itulah sebabnya perjuangan kemerdekaan Banggai atas Ternate yang di back up VOC Belanda di kenal dengan nama “Perang Tobelo” karena mayoritas prajurit Ternate itu adalah orang-orang Tobelo, selain orang-orang dari Galela, Sula, Bacan dan wilayah lainya.
Kurang lebih 81 tahun diam karena terkungkung oleh berbagai aturan perjanjian (kontrak I & II), setelah raja Mbulang dipaksa menyerah, dan rencana perlawanan raja Abu Kasim terendus, timbulah perlawanan Tomundo XVIII, Atondeng Mbumbu doi Galela (1809-1821), namun konfrontasi Atondeng berhasil di gagalkan, ia ditangkap dan diasingkan ke Galela (Pulau Halmahera). Setelah Atondeng, pecahlah Perang Tobelo paling legendaris dalam sejarah Kerajaan Banggai dibawah kepemimpinan Tomundo XIX, Agama Mbumbu doi Bugis (1821-1827). Agama memimpin perlawanan rakyat Banggai dari “kota tua” benteng Banggai Lalongo, ratusan syuhada gugur dalam perang yang tanpa kemenangan itu, karena sang Mbumbu tak mampu membendung serangan pasukan Tobelo, ia terkepung dan nyaris terbunuh, sebelum akhirnya dapat diloloskan oleh orang-orang setianya ke tanah Bugis (Bone) hingga mangkat disana, ia digelari anumerta Mbumbu doi Bugis, “Tomundo Agama Mbumbu doi Bugis” yang berarti, Tuanku Raja Agama Meninggal di Tanah Bugis (5 ibid).
Sepeninggal Agama, upaya Banggai untuk memerdekakan diri, dari penjajahan Ternate dan sekutunya VOC Belanda masih terus dilakukan oleh 2 (dua) raja berikutnya, meskipun eskalasi perlawannya tidak lagi sebesar dan semasif perlawanan raja Agama. Tercatat usaha serupa juga dilakukan kakak beradik Tomundo XX, Laota Mbumbu doi Tenebak (1827-1847) dan Tomundo XXI, Tadja Mbumbu doi Sau (1847-1852) namun mudah saja dipatahkan, raja Laota takluk dari tentara Tobelo, ia di tanggap dan dibuang ke Tenebak, Pulau Halmahera, begitu pula perlawanan sang adik raja Tadja, ia bernasib sama ditangkap dan diasingkan ke Sau (Pulau Bacan) hingga wafat ditempat pengasingannya (6 ibid).
Setelah Laota dan Tadja, perlawanan raja-raja Banggai sempat meredup, baru kemudian berkobar kembali pada masa Tomundo XXV, Tuu-Tu Abdul Azis (1882-1900), Abdul Azis dengan gagah berani melakukan konfrontasi terhadap Ternate dan Belanda, semua “Utusan” Sultan Ternate dan VOC Belanda yang  sejak penandatangan Kontrak II tahun 1941, mulai berada dan berperan sangat dominan dalam pengambilan kebijakan dilingkungan kerajaan, karena merupakan perpanjangan tangan Sultan Ternate dan VOC Belanda, oleh Tuu-Tu Abdul Azis, di usir dari wilayah Kerajaan Banggai. Begitu tegasnya terhadap Ternate dan VOC, ia dikenal dengan prinsip perlawannya yaitu “Olumpaiyo Loluk Nanggu Bangke, Sodo Alanda Mola na Usok doi Tano nia (Langkahi dulu mayatku, baru Belanda bisa masuk di Negeri ini)”. Inilah masa dimana Kerajaan Banggai sempat menikmati manisnya kemerdekaan dari penjajahan, meskipun singkat, hanya 18 tahun, sampai ketika Abdul Azis mendapatkan konspirasi dari Belanda dan Ternate hingga akhirnya wafat di tanah suci Mekkah (7 Mondika,2008:64).
Selain perlawanan yang dipimpin oleh raja-raja Banggai, terdapat pula kisah kepahlawan para ksatria yang berasal dari masyarakat yang dengan gagah menghadapi serangan para perajurit/perampok orang-orang Tobelo  yang sering datang menyerang daerah-daerah perkampungan masyarakat Banggai, kita pernah mendengar legenda tentang seorang Pangkeari Tomundo Kadupang, bernama Mata Timbaling, yang karena keberaniannya sukar ditandingi, ia harus dibunuh secara licik saat meneguk minuman (8 Abdul Barry,2016:10), atau tutur tentang Talenga Sendeng dari wilayah Tonuson, Talenga Laginda yang melawan Tobelo di wilayah Balantak sampai Totikum, yang konon tertangkap dan terbunuh disekitar wilayah Tanjung Pemali. Di Banggai darat ada kisah Talenga Banggi Tandos yang berjuluk Loinang Matangkas dari Kamumu-Keleke, Talenga Bongon dari wilayah Kilongan-Boyou yang legenda keberaniannya melawan Tobelo menjadi asal-usul nama lokasi Lumuan di Desa Biak (9 Djalumang,2012), dan kisah Talenga Unjok dari Batui yang sempat diragukan keinginannya bergabung dalam armada tempur yang berangkat ke Banggai, namun menjadi orang paling perkasa dimedan perang dalam menghadapi Tobelo. Serta cerita kesatria Banggai dari suku sama (bajo) Kalumbatan, seperti Talenga Mbo Mangatti dan Talenga Mbo Totto yang dengan gagahnya memimpin perang laut di wilayah perairan Banggai hingga Salabangka, menghadapi serangan Pakata-pakata/armada laut Tobelo (10 Nasir,2015:66), serta masih banyak lagi kisah perlawanan Talenga-talenga Lipu Banggai terhadap Tobelo, yang jelas cerita tentang perlawanan Mian Banggai  dari berbagai etnik (Banggai, Saluan, Balantak dan Sama) kepada Ternate dengan para prajurit Tobelonya, adalah kisah tentang pembelaan tanah air, kisah tentang upaya mempertahankan hidup dan memperjuangkan kehormatan negara (Kerajaan Banggai) dari penjajahan Ternate dan VOC Belanda, yang masih akan terus hidup dan menjadi pengantar tidur bagi anak-anak negeri Banggai sehingga mereka tidak akan mudah melupakan tragedi dari kisah kepahlawanan itu.
Demikianlah perlawanan raja-raja Banggai serta para talenga-talenga Banggai dalam upayanya memerdekakan diri dari imperialisme Ternate yang panjang. Setelah sempat menikmati kemerdekaan pada masa Tuu-Tu Abdul Azis, Banggai kembali dalam kendali Ternate dan baru terbebas pada tahun 1908, ketika Tomundo XXVI, Abdul Rahman menandatangi Korte Verklaring (pelekat pendek) dengan Ternate dan Pemerintah Hindia Belanda Kapten A.R. Cherrissen, pada tanggal 1 April 1908, yang isinya: Banggai berstatus daerah otonom (Goverment) lepas dari Kesultanan Ternate namun mentaati aturan-aturan VOC Belanda,artinya Banggai hanya dipindahtangankan oleh Ternate ke sekutunya Belanda untuk selanjutnya di jajah sepenuhnya oleh VOC Belanda sampai pada tahun 1942.

C.     Sebuah Ironi dan Kesimpulan

Catatan refleksi ini, tentu bukan dimaksudkan untuk melanggengkan sentimen historis masa lalu antar suku bangsa, atau menyerang dan mendiskreditkan salah satu kelompok suku, agama dan ras, tetapi sekedar mengingatkan kembali kepada kita semua, sebagai anak negeri Banggai, bahwa ada serpihan sejarah kelam tempo dulu, yang tidak bisa kita biarkan terulang kembali diera kekinian dengan pola dan motivasi yang berbeda, apapun argumentasinya, bila kita tidak ingin terjajah dirumah sendiri.
Sehingga sikap dan tindakan-tindakan konyol yang dapat menciderai nilai heroisme para Mbumbu dan Talenga Lipu tersebut tidak terhianati, karena sebagai generasi penikmat buah sejarah para syuhada, kita bukan hanya memiliki tanggungjawab untuk mengenang perjuangan mereka, tetapi kita berkewajiban menjaga serta meneladani semangat dan nilai patriotisme mereka, dalam membela rakyat dan tanah air tercintanya bumi Babasal. Kenapa demikian?, karena dewasa ini, ada banyak perilaku anak-anak negeri yang ahistoris, padahal mereka mengaku mengerti sejarah dan mencintai negeri ini. Dalam catatan penulis, setidaknya ada 2 (dua) peristiwa ironis yang pernah terjadi dan dilakukan oleh tokoh-tokoh adat dan para aktivis Banggai, yaitu :

a)      Pada Februari 2007 silam, ketika Ibukota Banggai Kepulauan dipindahkan ke Salakan oleh Bupati Banggai Kepulauan yang baru, untuk melaksanakan amanat Pasal 11 UU Nomor 51 tahun 1999 dan risalah kesepakatan antara Pemkab dan Polres Bangkep, Pempropv.Sulteng serta Direktur Otda Depdagri pada tanggal 5 Oktober 2006 (11 Mondika,2008:91), munculah suatu wacana dan keinginan untuk menyerahkan diri (Banggai Laut) ke penjajah Ternate (bergabung dengan Provinsi Maluku Utara).

b)      Ditahun yang sama, sekitar Maret 2007, ketika kisruh pemindahan ibukota itu terus memanas, dalam satu kesempatan Sultan Mudafarsyah dari Ternate datang berkunjung ke Banggai (kota Luwuk), ia disambut dengan arak-arakan dan bahkan di gotong bak pahlawan Jenderal Soedirman.

Bagi penulis, kedua sikap dari peristiwa tersebut, adalah merupakan sebuah ironi yang sangat memilukan sekaligus memalukan, sebab bagaimana mungkin kita hendak menyerahkan diri dan meletakan kehormatan kita secara suka rela dibawah garis kaki para kaum imperialis, bagaimana bisa kita memuja-muja dan meletakan kaum imperialis diatas kepala kita dan biarkan mereka mengencingi sekujur tubuh kita, sementara ratusan tahun yang lalu, leluhur kita berjuang berdarah-darah untuk membebaskan diri dari rantai mereka. Terlepas kemudian, sikap dari peristiwa itu dilakukan dalam kondisi emosional, atau hanya sekedar manuver dan sugesti politik belaka, sebagai reaksi dari kekecewaan terhadap penguasa, terkait kebijakan pemindahan ibukota, atau pula hanyalah cermin dari budaya kesantunan kita dalam menerima tamu, tetapi sikap itu, dalam perspektif teori politik kekuasaan, sungguh tidak bermartabat, karena bertentangan dengan esensi kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para kesatria Banggai, apalagi sikap tersebut dilakukan kepada eks penjajah.
Mungkin, selain faktor kekecewaan dan kesantunan kita yang kebablasan, sikap dan perilaku dari peristiwa semacam itu, terjadi karena kita tidak mengerti dengan benar sejarah kita, atau kita tahu dan mengerti, tetapi pura-pura lupa dan tidak mengerti, hanya karena ego pragmatisme sesaat kita, atau karena “mungkin” secara genetik,  dalam tubuh kita, telah teraliri darah penjajah, darah pecundang dan penghianat, serta darah pelaku culas. Sehingga kita begitu bangganya dengan identitas ke“banggai”an kita yang palsu ditengah hiruk pikuk dinamika daerah, oleh sebab itu, wajar kiranya kalau kita membuat tindakan yang menjurus pada pengkultusan penjajah Ternate.
Karena memang, dalam album historial Banggai, bukan hanya kisah kepahlawanan para Mbumbu dan Talenga yang diurai, tetapi kisah tentang para pencundang dan penghianat, serta pelaku culas (licik) juga dihikayatkan. Seperti kisah pecundang dan penghianatan yang ditulis Dormier dalam Banggaishe Adatrecht (1945), bahwa pernah ketika perlawanan rakyat Banggai terhadap Tobelo (Ternate) digelorakan, ada 2 (dua) kepala wilayah (Basalo) yang bermental dan berperilaku sebagai pecundang, yaitu Basalo Liang (Saleati) dan Bosanyo Batui, karena alasan klasik yang serupa yakni mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan Ternate, Basalo Liang memutuskan tidak ikut dalam perang yang dipimpin oleh raja Banggai, sementara Bosanyo Batui menarik diri dari komitmen perang yang telah disepakati, dengan tidak mengirimkan armada perangnya ke Banggai disaat perang dimulai hingga selesai.
Atau kisah perilaku culas sang negosiator raja, bernama Tampuyak Budul yang merusak citra Mian Tuu, ia mengambil hak milik, hasil kebun rakyat dalam “jumlah yang banyak (besar) menggunakan kode“mian tuu” yang selama ini menjadi tanda khusus untuk dan digunakan oleh dewan kerajaan, Mian Tuu (Liang, Basaan, Palabatu, dan Lipu Adino) ketika mereka “mengambil seperlunya” milik rakyat dikala mereka kehabisan bekal dalam perjalanan melaksanakan tugas negara (kerajaan), tanpa harus memberi tahu terlebih dahulu kepada yang empunya kebun, karena rakyat sudah sangat percaya dengan moral Mian Tuu, sehingga mereka tidak keberatan, bahkan bersyukur karena merasa telah turut membantu memperlancar tugas-tugas negara. Akibat ulah Tampuyak Budul, integritas Mian Tuu tercoreng, bahkan tidak lagi dipercaya oleh masyarakat, padahal pelakunya bukan Mian Tuu (12 Mondika,2008:29).
Dari refleksi ini, kita akan menentukan posisi dan peran apa yang hendak kita lakoni, apakah kita akan memerankan diri sebagai dalang atau wayang ?, sebagai pecundang dan penghianat atau sebagai pelaku culas, yang surut dan lari dari garis depan perjuangan ?, atau saling memfitnah sesama saudara dan membiarkan orang lain tertawa dan mengambil peluang ?, atau kita akan memerankan diri sebagai kesatria, yang berada di garda depan, dalam derap langkah yang satu dan seirama untuk menghadang serangan lawan ?, semua alternatif dari pertanyaan-pertanyaan itu, jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Semoga kita benar-benar menemukan jawaban yang tepat, sehingga di bulan kemerdekaan ini (Agustus), bukan hanya sekedar menjadi bulan kemerdekaan bagi NKRI saja, atau bulan kemerdekaan untuk kita bebas mencari dan melakukan ekspansi wilayah koloni baru, atau sebaliknya, sebagai bulan kemerdekaan kita yang terakhir sebagai suatu suku bangsa yang pernah terjajah oleh suku bangsa lain, mungkin kita nanti memang secara fisik, masih merdeka sepanjang kita berada dalam rumah besar NKRI, tetapi secara sikis kita telah terjajah. Tabea, Soosa Mbumbu Kadupang doi tano telendangan-Lipu Belebentu (Sampekonan), mu-sau lelo moinsale lipu na monodokan.(****)

Penulis bukanlah siapa-siapa, penulis hanyalah“banggapi”yang selalu tergetar hatinya oleh cinta negeri, karena seluruh jiwa, nadi, tulang dan sum-sumnya bermerek Sea-Sea Banggai. 

Artikel ini pernah dimuat di Koran Mingguan Suara Rakyat, Edisi VI Minggu ke-4 Agustus 2016 dan Edisi VII Minggu ke-2 September 2016.