Oleh
: Fatharany Berkah Abdul Barry
(Pemerhati Sejarah Banggai)
Tema diatas sengaja penulis ambil menjadi judul dalam
tulisan ini sebagai simbolisasi pesan dan nilai yang terkandung dan coba akan
penulis uraikan secara lugas dalam catatan ini. Mengingat dalam perjalannya,
sejarah Banggai telah mengalami penyesatan akan kebenarannya, baik penyesatan
yang dilakukan oleh mereka yang mengaku sesepuh dan tokoh adat Banggai maupun
penyesatan yang dilakukan oleh sejumlah sejarawan lokal dalam penyusunan buku
sejarah Banggai yang kemudian dijadikan referensi antar generasi dalam
mempelajari sejarah Banggai. Penyampaian pesan sejarah yang kurang mendalam dan
cenderung tidak transparan akhirnya menjadikan pengetahuan generasi Babasal akan
sejarahnya sendiri hanya secara parsial. Bicara soal sejarah Banggai tentunya
kita tidak akan luput bicara sol kerajaan Banggai. Dalam tulisan ini penulis
coba mengklasifikasikan sejarah Banggai dalam dua periode, dimana periode pertama
adalah periode doeloe yaitu BATOMUNDOAN BANGGAI (Kerajaan Banggai) yang
meliputi fase kerajaan Banggai klasik dan fase kerajaan Banggai moderen.
Sedangkan periode kedua adalah periode kekinian yakni BATOMUNDOAN ADAT
BANGGAI (Kerajaan Adat Banggai).
Pemisahan periode dengan menggunakan terminologi
Batomundoan Banggai dan Batomundoan Adat Banggai peting kiranya guna
memperjelas status dan ruang Batomundoan Banggai yang merupakan masa kerajaan
Banggai sejati dan Batomundoan Adat Banggai yang merupakan masa Kerajaan Adat
Banggai atau kerajaan Banggai replika yang eksis saat ini. Perbedaannya bukan
hanya pada status. ruang dan waktunya yang berbeda, tetapi pada fungsi dan
peran sang pemegang kepemimpinan. Dimana pada era Batomundoan Banggai doeloe,
Tomundo merupakan pemimpin pemerintahan (kerajaan) yang menjalankan fungsi
penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif), sedangkan Basalo Sangkap sebagai
dewan pertimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan (legislatif). Sedangkan
era Batomundoan Adat Banggai saat ini,
Tomundo hanya merupakan pemimpin masyarakat adat yang menjalankan fungsi
pelestarian budaya peninggalan era Batomundoan Banggai tempo dulu.
1.
Periode Batomundoan Banggai (Kerajaan Banggai)
Bila kita mengurai sejarah peradaban Batomundoan
Banggai atau Kerajaan
Banggai, maka kita akan bicara tentang dua fase peradaban Kerajaan Banggai
yaitu fase Kerajaan Banggai klasik dan fase Kerajaan Banggai moderen. Dimana
fase peradaban Kerajaan Banggai klasik diawali dari sebuah legenda kuno tentang
suatu banjir besar yang rumit untuk diuraikan dengan kalimat dan dicerna dengan
logika ilmiah. Tetapi intinya bahwa kerajaan Banggai klasik telah ada dan
dikenal sekitar abad ke 13 masehi dengan nama Benggawi, diera kejayaan Kerajaan
Mojopahit dibawah pimpinan Prabu Hayam Wuruk (1351-1389) dimana kerajaan
Banggai saat itu telah menjadi bagian dari kerajaan Mojopahit, sebagaimana
disebut pada seuntai syair dalam buku Nagara kertama karya Mpu Prapanca. Dalam
struktur Kerajaan Banggai klasik menurut Dr.Alb.C.Kruyt dalam studinya De
Vorsten van Banggai, kerajaan Banggai kala itu dipimpin oleh seorang raja yang
bergelar ADI yang tinggal di Linggabutun yang terletak digunung Bolukan
(sekarang Padang Laya) dan empat orang yang merupakan suatu dewan penasehat
bagi ADI dan diberi gelar TOMUNDO SANGKAP yang masing-masing mempunyai
kekuasaan tertentu yaitu Olu/Babolau, Lombongan/Katapean, Singgolok dan Kokini,
sehingga orang bicara Tomundo dari Olu/Babolau, Lombongan/Katapean, Singgolok
dan Kokini. Mereka inilah sejatinya pendiri Kerajaan Banggai. Secara
berturut-turut disebut empat orang Adi yang memerintah sebelum seorang Adi
Lambal Polambal memerintah. Adi Lambal Polambal menjadi raja terakhir fase
Kerajaan Banggai klasik, selama ia memerintah sering terjadi perselisihan antar
saudara diantara empat raja kecil (tomundo Sangkap) yang merupakan dewan
penasehat bagi Adi, yang sukar untuk didamaikan oleh Adi Lambal Polambal.
Pada masa pemerintahan Adi Lambal Polambal
inilah muncul seorang bangsawan dari tanah Jawa yang merupakan panglima perang
Sultan Baabullah dari Kerajaan Ternate bernama Adi Cokro alias Adi Soko. Adi
Cokro kemudian hadir sebagai sosok pembawa kedamaian atas gejolak internal
Kerajaan Banggai, sehingga karena kebijaksanaannya, Adi Lambal dan keempat
tomundo tersebut menawarkan pemerintahan kepadanya. Karena identitasnya sebagai
sebagai seorang panglima perang Kesultanan Ternate inilah yang kemudian
melegitimasi kerajaan Banggai sebagai
bagian dari taklukan Kesultanan Ternate, meskipun Adi Cokro hadir tidak dengan
cara konfrontasi militer melainkan menjalankan misi penyebaran agama islam. Adi
Cokro kemudian naik tahta menjadi raja Banggai dengan gelar MBUMBU, sejak
itulah gelar adi menghilang digantikan dengan mbumbu yang kemudian
dikombinasikan dengan tempat mereka meninggal dan dikuburkan seperti Adi Cokro
mbumbu doi Jawa yaitu raja yang meninggal di Jawa dan Mbulang mbumbu doi
Balantak, yaitu raja yang meninggal di Balantak dll.
Masa Adi Cokro memimpin disinalah menjadi fase
awal peradaban Kerajaan Banggai moderen, ia kemudian dianggap sebagai pendiri
Kerajaan Banggai moderen setelah beliau
sukses memperluas wilayah Kerajaan Banggai (klasik) yang sebelumnya hanya
meliputi wilayah Pulau Banggai saja menjadi kerajaan utama (primus inter pares)
dari beberapa kerajaan yang ada dengan menundukan kerajaan – kerajaan di Pulau
Peling seperti Kerajaan Tokolong (Buko), Lipu Babasal (Bulagi), Sisipan,
Liputomundo, Kadupang dan Kerajaan Bongganan, hingga sampai ke jazirah timur
daratan Sulawesi dengan menaklukan Kerajaan Tompotika, Bola, Lowa, dan Kerajaan
Gori-gori yang kemudian disebut wilayah Banggai darat (sekarang Kab.Banggai).
Ia kemudian mengatur pemerintahan atas daerah-daerah kekuasaannya serta membawa
masuk agama islam diseluruh wilayah kekuasaan kerajaan Banggai. Pulau Banggai
tetap dijadikan pusat pemerintahannya, sementara itu Adi yang terakhir yaitu
Adi Lambal Polambal diangkat kembali sebagai pelaksana pemerintahannya dengan
memberi kepadanya jabatan JOGUGU, sedangkan dewan penasehat, yaitu keempat raja
(tomundo) kecil juga mendapat gelar kehormatan PAU BASAL / BASALO yang lebih
rendah dari tomundo dan memberi mereka nama-nama baru seperti Olu menjadi
Doduung, Kokini menjadi Tanobonunungan, Singgolok menjadi Monsongan, dan
Lombongan menjadi Gonggong. Sehingga bekas tomundo Olu menjadi Pau Basal
Doduung dst.
Sebutan Pau Basal yang dalam bahasa berarti
“anak besar” dianggap sebagai satu gelar kehormatan, karena membentuk suatu
hubungan antara bapak-anak antara Mbumbu dengan keempat Pau Basal itu, daerah
kekuasaan mereka ditentukan kembali dari gunung Bolukan dimana sang raja
membangun sebuah istana untuk salah seorang istrinya. Tetapi dalam pembagian
daerah itu diatur sedemikian rupa sama seperti para bapak leluhurnya, yakni
para Tomundo. Keempat Pau Basal sangat dihormati oleh Mbumbu dan para
penerusnya, mereka merupakan suatu dewan penasehat, yang pengaruhnya sama
luasnya dengan kekuasaan Mbumbu.
Selain itu Adi Cokro juga meletakan suatu struktur
tata pemerintahan yang demokratis, yang terdiri dari Eksekutif dan Legislatif.
Dimana raja sebagai pucuk pimpinanan kekuasaan kerajaan dalam melaksanakan
tugasnya dibantu oleh empat orang staff eksekutif atau dewan menteri yang
dikenal dengan sebutan KOMISI SANGKAP yang terdiri dari : (1). Mayor Ngopa atau
Raja Muda; (2). Kapitan Laut atau Kepala Angkatan Perang; (3), Jogugu atau
Menteri Dalam Negeri; (4). Hakim Tua atau Pengadilan. Komisi empat ini ditunjuk
dan diangkat oleh raja yang sedang bertahta. Sedangkan sebagai Badan Legislatif
atau Dewan Penasehat adalah empat Pau Basal yang sekarang disebut BASALO
SANGKAP yaitu (1).Basalo Babolau (Doduung); (2). Basalo Kokini
(Tanobonunungan); (3). Basalo Singgolok (Monsongan); (4). Basalo Katapean
(Gonggong). Dewan penasihat atau Badan Legislatif Dewan Basalo Sangkap di ketuai oleh Basalo Babolau yang bertugas
melakukan pemilihan setiap bangsawan untuk menjadi raja. Begitu pula untuk
melantik seorang raja, dilakukan di hadapan Basalo Sangkap. Basalo Sangkap yang
akan melantik raja, lalu meriwayatkan secara teratur sejarah raja-raja Banggai
secara berurut, kemudian disebutkan calon raja yang akan dilantik, yang
kepadanya dipakaikan mahkota kerajaan sebagai simbol bahwa yang bersangkutan
resmi menjadi raja pemimpin kerajaan Banggai. Keempat Basalo ini sangat
dihormati oleh mbumbu dan para penerusnya, mereka merupakan suatu dewan
penasehat yang pengaruhnya sama luasnya dengan kekuasaan Mbumbu.
Karena suatu hal, Adi Cokro kembali ke tanah
Jawa, akibatnya kerajaan Banggai mulai mengalami kekacauan dan kevakuman
pemerintahan yang cukup panjang. Dalam desertase Banggaische Adatrecht oleh
Dr.JJ.Dormeier disebutkan bahwa pasca
Adi Cokro, ada delapan orang Mbumbu berturut-turut yang memerintah
Kerajaan Banggai. Tiga diantaranya tercatat sebagai Mbumbu dinaadat atau raja
yang dibunuh. Krisis panjang ini baru berarkhir setelah putera Adi Cokro
Maulana Prins Mandapar memerintah. Setelah ayahnya, Mandapar kemudian dianggap
sebagai Raja Banggai pertama dan yang terbesar, ia kembali menegakkan
kekuasaannya diseluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai, mulai dari Pulau
Sonit sampai ke Balingara dan dari Rata sampai ke Teluk Tomini serta mendirikan
suatu pemerintahan pusat di Banggai.
Sejak dari Raja Mandapar silsilah raja-raja Banggai
telah teratur sebagai berikut : 1. Maulana Prins Mandapar Mbumbu doi Godong
(1600-1630);
2. Molen Mbumbu doi Kintom (1630-1648); 3. Paudagar Mbumbu doi Benteng (1648-1689), 4. Mbulang Mbumbu doi Balantak (1689-1705); 5. Abdul Gani Mbumbu
doi Kota (1705-1728);
6. Abu Kasim Mbumbu doi Bacan (1728-1753); 7.Kabudo
Mbumbu doi Mendono (1753-1768); 8. Ansyara Mbumbu doi Padongko (1768-1773); 9. Manduis
Mbumbu doi Dinaadat (1773-1809);
10. Agama Mbumbu doi Bugis (1809-1821); 11. Atondeng Mbumbu doi Galela (1821-1827); 12.
Lauta Mbumbu doi Tenebak (1827-1847); 13.
Taja Mbumbu doi Sau (1847-1852); 14.
Tatu Tanga Mbumbu doi Jere (1852-1858); 15.
Soak Mbumbu doi Banggai (1858-1870); 16.
Nurdin Mbumbu doi Labasuma (1870-1882);
17.
Tomundo Hi. Abdul azis (1882-1900); 18.
Tomundo Hi. Abdul Rahman (1901-1922); 19.
Tomundo Hi.Awaludin (1925-1940); 20). Tomundo Nurdin Daud (1940-1959). Inilah deretan raja Banggai yang sah dan legal secara
kontitusional dalam episode perjalanan sejarah Batomundoan Banggai.
Adapun mengenai status dan posisi Syukuran
Aminudin Amir dalam sejarah Kerajaan Banggai bukanlah Tomundo yang
terlegitimasi secara utuh dan sah oleh tata aturan hukum formil kerajaan
Banggai, melainkan hanya sekedar sebagai Pelaksana tugas harian Tomundo Banggai
tatkala Tomundo Banggai Nurdin Daud yang yang baru berusia 12 tahun dikukuhkan
oleh Basalo Sangkap pada tahun 1939 pasca mangkatnya Tomundo Awaludin sebagai
tomundo Banggai ke 19. Namun karena mengingat usia raja Nurdin Daud yang
terlalu belia untuk melaksanakan tugas kerajaan maka ditunjuklah S.A.Amir yang
saat itu menjabat sebagai Mayor Ngofa sebagai pelaksana tugas (Plt). Namun
kemudian amanat itu dibajak dengan mengukuhkan diri sebagai Tomundo yang legal
meskipun tanpa restu dan tidak melalui pengukuhan oleh Basalo Sangkap
sebagaimana ketentuan konstitusi kerajaan Banggai.
Belum cukup sampai disitu pada tahun 1941
rekayasa sejarah Kerajaan Banggai itupun
dimulai, setelah mengukuhkan dirinya sebagai Tomundo. Mengingat posisinya di
dalam keraton kerajaan Banggai di Banggai yang tanpa legitimasi konstitusional
sehingga tidak mendapat pengakuan dari Dewan Basalo Sangkap kala itu, maka atas
dukungan kerjasamanya dengan Belanda yang berada di Luwuk S.A. Amir kemudian dengan berani memindahkan ibu kota
kerajaan Banggai ke Luwuk meskipun tanpa izin dan restu dari raja muda Nurdin
Daud dan Dewan Penasehat Basalo Sangkap. Ia kemudian menyebut dan menamakan
suatu tempat yang
berlokasi didalam kota Luwuk dengan nama Keraton. Rekayasa ini seakan-akan
bahwa kerajaan Banggai benar-benar telah mempunyai bangunan keraton sendiri di
kota Luwuk sebagai pusat pemerintahan kerajaan Banggai yang baru.
Akhir periode Batomundoan Banggai atau Kerajaan
Banggai adalah ketika terjadi peralihan status wilayah Banggai dari sistem
swapraja Banggai menjadi daerah tingkat II (Dati II) Banggai.
2.
Periode Batomundoan Adat Banggai (Kerajaan Adat
Banggai)
Ada pihak yang kemudian memandang miris upaya
pelestarian budaya dan adat Banggai yang
menggunakan simbol dan icon seperti layaknya era Batomundoan Banggai, dengan
argumentasi Banggai saat ini bukan lagi merupakan bagian dari sistem
pemerintahan monarki yang otonom seperti
dulu, tetapi Banggai merupakan bagian dari sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sehingga penggunaan simbol-simbol kerajaan dipandang
hanyalah merupakan reaktualisasi image kelompok bangsawan untuk
kepentingan pencitraan pribadi dan keluarganya guna mendapatkan kembali
pengakuan dan penghargaan publik semata sebagai orang ningrat, dengan segala
kepentingan yang disisipkan dibalik citra sebagai kaum feodalis itu. terlepas
benar atau tidaknya argumentasi minor tersebut, namun yang pasti sejarah
memeliki posisi penting dalam perjalanan peradaban suatu bangsa. Itulah
sebabnya sehingga sang pendiri republik ini, Soekarno pernah mengatakan bahwa
bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, olehnya itu jangan
sekali-kali melupakan sejarah (Jasmerah).
Inilah pesan keramat yang kini dimanifestasikan oleh
masyarakat adat Banggai dalam wujud Batomundoan adat Banggai yang ditandai
dengan masuknya Batomundoan adat Banggai dalam Forum Silaturahmi Keraton se
Nusantara (FSKN sebagai anggota ke 118. Dimana keberadaan Batomundoan Banggai
hanyalah merupakan upaya konkrit untuk melestarikan budaya Banggai
pada khususnya dan nusantara pada umumnya. Sehingga kurang tepatlah kiranya jika sekarang
dalam menyebut langkah pelestarian budaya ini dengan menggunakan istilah
Batomundoan Banggai (kerajaan Banggai), tetapi yang tepat adalah Batomundoan
Adat Banggai (Kerajaan Adat Banggai) karena era sekarang bukanlah era masa
lampau, melainkan hanya era yang mereflesikan kearifan masa lampau demi tujuan
pelestarian adat dan budaya banggai itu sendiri. tetapi dengan cara penggunaan
mekanisme dan atribut-atribut budaya dan adat masa lampau. Inilah yang sekarang
sebagai simbol sejati adat Babasal. Dimana yang dinobatkan sebagai Tomundo
Banggai dan merupakan simbol dan pemimpin adat banggai adalah tomundo yang
dikukuhkan sesuai tatacara pengukuhan raja-raja banggai sebelumnya. Seperti
pengukuhan tomundo Iskandar Awaludin Zaman sebagai pengganti Raja Banggai
sejati (era kerajaan) Nurdin Daud. Kemudian ia diagantikan oleh puteranya
Moh.Fikran Zaman sebagai simbol dan pemimpin adat Babasal yang ke 22. Namun
karena masih muda dan sedang menuntut ilmu maka ditunjuklah Irwan Zaman sebagai
Tomundo Batomundoan adat Banggai yang legal. Olehnya itu dapat disimpulkan
bahwa Tomundo sebagai pemimpin dan simbol adat yang sah dan legal sesuai dengan
mekanisme keadatan adalah Moh.Fikran zaman/Plt Irwan Zaman bukan Moh.Chair Amir
atau Hideo Amir. Sama seperti Raja Banggai terakhir bukan Syukuran Aminudin
Amir melainkan Nurdin Daud.*
NB: Catatan ini pernah di publikasikasikan pada media
massa local (Majalah Pelita) medio Maret 2012.