Oleh : Fatharany Berkah
Abdul Barry
Sekretaris
Jenderal Pemuda Montolutusan
Terminologi
Incumbent sering terdengar dan familiar pada setiap momentum demokrasi yang
dihelat untuk kepentingan sebuah transisi kepemimpinan yang menunjukan tentang
figur orang atau tokoh penguasa yang ikut kembali menjadi kontestan politik, baik itu
dalam bentuk pemilihan presiden, gubernur dan bupati atau wali kota, seperti
SBY incument pada pilpres 2009, H.B. Paliudju/Achmad Yahya, Ma’mun Amir /
Musdar Amin yang merupakan incumbent pada Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) Propinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Banggai, 6 April silam,
meskipun keempatnya tidak bersanding lagi sebagai pasangan Cagub/Cawagub dan
Cabup/Cawabup dimasing-masing tingkatan wilayahnya. Hal inipun sama seperti
yang terlihat pada pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Banggai Kepulauan yang
menyuguhkan tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati termasuk Irianto
Malingong dan Ehud Salamat dengan merek sebagai incumbent.
Dalam
setiap tingkatan proses transisi demokrasi kepemimpinan incumbent selalu
menjadi obyek diskusi dan analisa banyak orang yang menarik untuk
diperbincangkan. Alasannya sederhana karena sebagai orang yang sedang berkuasa,
kiprahnya selama memimpin menjadi obyek evaluasi rakyat (konstituen) dalam
memberikan raport akhir, apakah nilainya baik atau buruk yang berimplikasi pada
sebuah konklusi dan sikap politik yaitu LANJUTKAN atau HENTIKAN. Disinilah
reputasi dan elektabilitas seorang incumbent diuji, apakah masih mendapat
apresiasi dari rakyat atau tidak, atau masih tuluskah rakyat mencintainya atau
tidak?. Itulah yang coba ditelisik oleh penulis dalam tulisan ini dengan
menyajikan praktek kepemimpinan dan fakta-fakta kehidupan di bumi Banggai
Kepulauan era kepemimpinan Ires selama lima tahun. Sebab dari ketiga pasangan
calon Bupati dan Wakil Bupati Banggai Kepulauan yakni Lania Laosa-Zakaria
Kamindang (LAZKAR), Abubakar Nophan Saleh-Haran Pea (ANSHAR) dan Irianto Malingong-Ehud
Salamat (IRES) bagi banyak kalangan kans kalah menang ketiganya menarik untuk
diamati dan dikaji, tetapi bagi penulis tidak ada yang paling menarik untuk
ditelaah soal peluang menang kalahnya selain pasangan Ires, dalihnya sama Ires
adalah incumbent. Karena bagi penulis kajian evaluatif yang berkonklusi akhir
pada respect or disrespect public berdasarkan pengalaman atas karakter dan
realitas kepemimpinan pemimpin yang selama ini dilihat dan dirasakan kiranya
lebih obyektif, jika dibandingkan dengan mengevaluasi karakter orang yang belum
dirasakan kepemimpinannya atau baru hendak memimpin. Dalam konteks ini,
tentunya kita akan bicara soal plus minusnya Ires yang komparatif dengan
fakta-fakta kehidupan di Bumi Montolutusan dengan orientasi analogi memberikan
kesimpulan yang logis dan faktual kepada publik Banggai Kepulauan sebagai rahim
demokrasi dalam melahirkan pemimpin yang jujur. Berikut rujukan evaluasi
progresif dan regresif yang akan dieksplorasi secara lugas dalam catatan ini.
A.
Rujukan Evalusi Progresif
Ada
dua hal yang selama ini sangat dibanggakan oleh rezim Ires maupun para
penghamba setianya, yaitu soal kesuksesan peralihan ibu kota Kabupaten Banggai
kepulauan dari kota Banggai ke Desa Salakan, serta banyaknya pembangunan fisik
berupa gedung perkantoran dan panjangnya ruas jalan raya yang telah diaspal
oleh rezim Ires sehingga diklaim sebagai prestasi akbar yang sangat spektakuler
dan menjadi ukuran keberhasilan selama kepemimpinannya, khususnya dari segi
pembangunan. Yang perlu digaris bawahi dari klaim keberhasilan itu adalah adanya
indikasi penyesatan mind sett berpikir masyarakat awam bahwa realiasai
pengalihan ibu kota itu karena semata-mata berkat rezim Ires, bukan karena
berangkat dari adanya amanat pasal 11 Undang-undang nomor 51 tahun 1999,
sehingga melahirkan asumsi bahwa “Irianto(Ires)lah yang pindahkan Ibu kota”
dengan menapikan keberadaan amanat konstusi. Padahal secara yuridis Ires tidak
memiliki legitimasi untuk memindahkan ibu kota tanpa adanya pijakan hukum, mungkin kalau dalam kapasitasnya sebagai
pimpinan daerah ia berperan dalam hal itu, benar. Namun tidak berarti Ireslah
yang memindahkan ibu kota ke Salakan, sehingga semua masyarakat di wilayah
pulau Peling yang merasa dimudahkan secara geografis harus memujanya secara berlebihan,
dengan menapikan empat nyawa saudaranya yang meregang bersimbah darah akibat
kebijakan tersebut. maksudnya realisasi pengalihan ibu kota itu hanya soal
“kepatuhan” terhadap amanat pasal 11 atau dengan kata lain siapapun yang
menjadi Bupati Banggai Kepulauan akan bisa melaksanakan kebijakan itu ketika ia
memiliki komitmen untuk mematuhi anjuran konstitusi.
Begitu
halnya dengan banyaknya bangunan fisik berupa gedung perkantoran, panjang
lebarnya jalan beraspal atau yang berjalur dua dan sebagainya, tidak dapat dijadikan
sebagai parameter kesuksesan kepemimpinan, apalagi sampai dijadikan sebagai
ukuran kesejahteraan masyarakat Banggai Kepulauan. Sebab kesuksesan
kepemimpinan seseorang khususnya dalam hal pembangunan tidak hanya diukur dari
berapa banyak fasilitas umum dan perkantoran yang berhasil ia dirikan atau
sebapa lebar dan panjangnya jalan raya yang berhasil diaspal, tetapi juga
meliputi seberapa besar pertumbuhan ekonomi suatu daerah sehingga memberikan
dampak positif terhadap incam perkapita masyarakat dari berbagai sektor, serta
seberapa nyamankah rakyat/masyarakat dengan karakter dan metode kepemimpinan
pemimpinya dalam makna yang sebenarnya, bukan nyaman dalam makna yang
dimanipulasi untuk kepentingan pencitraan atau pembentukan opini positif
dibalik realitas negatif yang mengelisahkan rakyat.
B.
Rujukan Evaluasi Regresif
Dibalik
dari dua aspek tadi yang menjadi rujukan utama dari sekian banyak klaim
prestasi Bupati Banggai Kepulauan Irianto Malingong yang selama ini dijadikan
jargon kesuksesan kepemimpinannya, sayangnya komitmen pelaksanaan pemerintahan
yang bersih bebas dari paktek KKN tidak menjadi komitmen kepemimpinannya, hal
ini terlihat dari adanya sejumlah skandal korupsi, kolusi dan nepotisme
dilingkungan Pemda Bangkep yang telah menjadi rahasia publik, bagaimana wajah
kepemimpin Bupati Banggai Kepulauan dibalik topeng pembangunan fisik dan
pencitraan di media massa yang tidak proporsional dan realistis.
Problem
hukum yang paling sensasional dalam perjalan kepemimpinan Ires adalah perkara
dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan peralatan medik berupa Oxygen Generator
dan instalasi Gas Medis Flowmeter With Humidifier pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banggai
tahun 2007/2008 silam senilai Rp.4 miliar dengan tersangka/terdakwa Kepala
Dinas Kesehatan dan Sosial Bangkep dr.Syahrullah K. Ngongo bersama Direktur Utama
CV.Tunas Bhakti Nusantara Iswandi Ilyas alias Dede rekanan pelaksana proyek
tersebut yang dilaksanakan dalam dua tahap yakni pertama pengadaan Oxygen
Generator dengan sumber dana dari DIPA APBN Satuan Kerja Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Banggai Kepulauan nomor : 1622.0/024-04.1/2007 tertanggal 31
Desember 2007 senilai Rp. 2 Miliar yang diusulkan Dinkesos Bangkep sesuai surat
usulan revisi nomor 440/01.A tanggal 3 Januari 2007. Sedangkan tahap kedua
adalah pengadaan Instalasi Gas Medis Flowmeter With Humidifier yang bersumber
dari Dana Otonomi Khusus Penyeimbang (dana Adhoc) dibidang kesehatan sebesar
Rp.2 miliar sesuai DIPA nomor 0165.0/071-03.2/2007 tertanggal 4 April 2007,
dengan total kerugian negara ditaksir sekitar Rp.2,3 miliar.
Dari
hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Propinsi Sulawesi Tengah maupun hasil penyidikan pihak
penyidik Kepolisian Resort (Polres) Banggai Kepulauan terungkap dugaan
penyimpangan terhadap Kepres No.80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa
yang dilakukan oleh Kadinkesos Bangkep Syahrullah K.Ngongo beserta Iswandi
Ilyas rekanan yang mendapat proyek pengadaan oksigen sentral tanpa proses
tender melainkan dengan penunjukan langsung berdasarkan surat perjanjian atau
kontrak nomor 900 tanggal 7 Maret 2007 antara Kadinkesos Bangkep dan direktur
utama CV.Tunas Bhakti Nusantara. Selain itu dalam proses penyidikan di Polres
Bangkep terkuak pula dugaan adanya “KETERLIBATAN” Sulaeman Husen dan Bupati
Bangkep Irianto Malingong yang notabene bersaudara.
Indikasi
Keterlibatan Sulaeman Husen ini sebagaimana kesaksian Yusak Siahaya,SH
Penasehat hukum tersangka saat mendampingi klienya dr.Syahrullah ketika
menjalani pemerikasaan di Polres Bangkep yang menyatakan bahwa Wakil Ketua DPRD
Bangkep kala itu Sulaeman Husen “keciprat” dana segar sebesar 10 persen atau
sekitar Rp.400.000 dari total anggaran Rp.4 Miliar atas proyek dimaksud yang
diterimanya dari kontraktor Dede, pengakuan klienya ini menurut Yusak pun
tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Sementara indikasi keterlibatan
Bupati Bangkep terungkap dalam penyelidikan dugaan penyimpangan lanjutan yang
dilakukan pihak penyidik, dimana keterlibatan Irianto Malingong selaku Bupati
terkait dengan pemberian persetujuan atas usulan revisi dari nama kegiatan
oxygen central yang dirubah menjadi lanjutan pekerjaan instalasi gas medis dan
pengadaan oxygen flowmeter with humidifier pada tanggal 30 Oktober 2007 yang
diusulan dinkesos Bangkep, sayangnya penyidik tidak memiliki konsistensi untuk
menindak lanjuti hal itu dalam bentuk pernohonanan izin kehadapan Presiden RI
untuk meminta keterangan terhadap pejabat daerah Bupati Bangkep yang ikut
menyetujui revisi nama kegiatan tersebut.
Meski
ditingkat penyelidikan dan penyidikan terdapat sejumlah indikasi keterlibatan
penguasa daerah yang cukup meyakinkan dalam perkara ini, namun gelar perkara
yang dipersidangkan di Pengadilan Negeri Luwuk, majelis hakim yang dipimpin
oleh kepala PN Luwuk sendiri Nursyam,SH,M.Hum justru memberikan vonis bebas
bagi kedua terdakwa dengan dalih tidak cukup bukti/meyakinkan kedua terdakwa
melakukan kesalahan sebagaimana yang jeratkan oleh JPU serta tidak ditemukan
adanya kerugian keuangan daerah /negara dalam kasus ini. Ironisnya lagi
walaupun sempat diperiksa
oleh pihak peyidik Polres Bangkep nama Sulaeman Husen yang disebut oleh
terdakwa dr. Syahrullah dalam BAPnya ikut menikmati 10 persen dari proyek itu,
sebagaimana kesaksian kuasa hukumnya Yusak Siahaya tiba-tiba “hilang” dalam
konsederan BAP setelah berkas perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri
Luwuk. Indikasi “ada udang dibalik batu” kian nampak ketika berlarut-larutnya
proses pelimpahan berkas perkara ke PN Luwuk, spekulasi adanya pengebirian
konsederan BAP yang mencantumkan keterlibatan Sulaeman semakin kuat, ketika selama
proses persidangan nama Sulaeman Husen tidak lagi disebut termasuk oleh kedua
terdakwa, apalagi dihadirkan untuk memberikan kesaksian didepan persidangan.
Hal ini tentunya sangat kontras dengan keterangan terdakwa Syahrullah
sebelumnya dalam BAP sebenarnya. Dan inilah kemenangan pertama dalam
mempertahankan image orang besar dalam kekuasaan Bangkep yang tidak dapat
dijamah oleh hukum, namun bagi penulis vonis bebas kedua terdakwa merupakan
garansi yang ideal bagi dr. Syahrullah dan Dede karena mereka “memegang kartu
joker”.
Mungkin
juga masih ada dalam ingatan kita bagaimana polemik dana Rapel ± Rp.8 miliar
yang menjadi hak sekitar 600 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terangkat
pada tahun 2006 dan 2007 yang diduga tidak dibayarkan, belakangan terendus
adanya indikasi penyelesaian masalah itu dengan cara pemberian opsi dilematis
kepada para PNS antara memilih SK 100% atau dibayarkan dana rapelnya dalam
bentuk surat pernyataan untuk tidak menuntut dana rapel tersebut apabila para
PNS ini mau menerima SK-nya. Akibatnya meskipun dalam keadaan terpaksa sejumlah
PNS diduga telah menandatangani surat penyataan itu dengan konsekwensi apa yang
menjadi haknya tidak lagi dibayarkan.
Buruknya
roman Pemerintahan Daerah Kabupaten Banggai Kepulauan dari sisi managemen
keuangan selama kepemimpinan Bupati Irianto Malingong bukan hanya dapat dilihat
secara spesifik pada sejumlah kasus dugaan korupsi pada tingkatan SKPD tetapi
juga secara keseluruhan pada lingkup pengelolaan keuangan daerah dapat dicerna
secara jelas dalam kurun beberapa tahun terakhir ini, dimana hasil audit Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Provinsi Sulawesi Tengah setiap tahunya Bangkep
selalu mendapat raport merah atau dengan opini tidak memberikan pendapat
(disclaimer opinion).
Hasil
pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten
Bangkep tahun 2009 misalnya, dari cakupan pemeriksaan atas laporan keuangan
Kabupaten Bangkep tahun anggaran 2009 sebesar Rp.1,05 triliun, yang meliputi
neraca sebesar Rp.249 miliar, LRA sebesar Rp.804,56 miliar dan belanja senilai
Rp.370,69 miliar, yang menjadi temuan BPK senilai Rp.37,83 miliar karena tidak sesuai ketentuan perundang-undangan.
Inilah yang oleh Ketua BPK RI Perwakilan Sulteng Dadang Gunawan, trend opini
atas LKPD Kab.Banggai Kepulauan adalah tetap stagnan atau tidak terdapat
peningkatan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Sebab hasil
pemeriksaan BPK atas LKPD Bangkep mulai tahun 2007 sampai dengan 2009 tetap
dengan opini disclaimer opinion. Menariknya dari hasil pemeriksaan BPK tahun
2009 tersebut, diantara temuan yang menjadikan pemerintahan Irianto Malingong
kembali mendapat raport merah adalah pertanggungjawaban perjalanan pejabat dan
pegawai senilai Rp.5.05 miliar yang tidak sesuai ketentuan serta pekerjaan
pembangunan rumah jabatan (Rujab), pendopo dan garasi bus yang sebesar Rp.3.08
miliar yang juga tidak sesuai ketentuan dan lain sebagainya.
Perkara
terkini yang juga tidak kalah hebohnya dan menjadi topik pembicaraan utama di
Banggai Kepulauan adalah terungkapnya modus penipuan dan pemerasan yang
dilakukan oleh sejumlah orang yang berada dilingkungan istana dalam kasus
rekayasa perekrutan data base tenaga honorer yang disebut Masuk Kategori (MK) I
dan MK II, dimana ada sekitar 300 orang yang menjadi korban pemerasan dengan
iming-iming jadi PNS melalui jalur MK I dan MK II dengan terlebih dahulu
menyerahkan uang jutaan bahkan puluhan juta rupiah mulai dari kisaran Rp. 3
juta sampai Rp. 20 juta kepada sindikat mafia MK I dan MK II, padahal
tidak/belum ada kuota pengangkatan atau formasi CPNS dari pemerintah
pusat.
Hebatnya
lagi sindikat mafia MK I, MK II ini kembali terindikasi melibatkan orang-orang
penting dalam pusara kekuasaan, beberapa nama seperti Sulaeman Husen, Rahman Hi
Makmur dan yang lainya diduga merupakan aktor utama perkara ini yang pernah
meminta dan menerima uang dari sejumlah korban dengan nominal yang
berfariasi. Pengakuan seorang korban
asal Desa Nulion Kecamatan Totikum Selatan yang dibeberkan Suyono Ketua LSM
Trikora Salakan beberpa waktu lalu bahwa Sulaeman Husen diduga menerima uang
senilai Rp.30 juta sontak membuat politisi partai PAN itu uring-uringan dan
melaporkan ketua LSM Trikora kepihak Polres Bangkep, belakangan oleh kelompok
koalisi LSM di salakan yang concern memberikan advokasi terhadap para
korban mensinyalir bahwa analogi MK bukan hanya sekedar Masuk Kategori tetapi
juga diduga sebagai Modal Kampaye (MK).
namun yang pasti ikut terseretnya nama orang-orang hebat itu secara
politik sangat merugikan Ires.
Begitu
halnya dengan kasus dugaan korupsi proyek Bantuan Selisih Benih Harga Ikan
(BSBHI)dari Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui Dirjen Perikanan Budidaya
yang diperuntukan kepada Kelompok Nelayan Pembudidaya Ikan (Pokdakan) di
kabupaten Banggai Kepulauan dalam dua tahapan yakni tahun 2008 dengan anggaran
sebesar ± Rp.1,4 miliar dan tahun 2009 senilai Rp.850.000.000 untuk 17 Pokdakan
dimana hanya Rp.149.700.000 atau 16 % yang diterima/didistribusikan kepada
pokdakan sementara sisinya Rp.700.000.000 atau 82,39% diduga dikebiri oleh
terdakwa Sekretaris / Pelaksana Harian Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan
Bangkep, Sangihe L. Lasiha serta rekanan penyediah benih Lukman M. Jafar
Abdullah Direktur CV. Cahaya Intan Perkasa, kasus inipun sekarang sedang
dipersidangkan di Pengadilan Negeri Luwuk. Serta kasus dugaan korupsi proyek
pembibitan kacang tanah yang menyeret nama Marlina SH, Chrisno Dahua, dan
rekanan Bimo Pujiono sebagai tersangka dengan indikasi kerugian negara sekitar
Rp.320 juta yang sekarang proses hukum juga sedang berjalan.
Catatan
kasus diatas cukup membuka mata publik Bangkep yang masih sehat, tidak rabun
dengan pembangunan fisik semata apalagi buta karena kepentingan jabatan dan
kekuasaan, bahwa inilah bagian dari parade atas fakta-fakta kehidupan Banggai
Kepulauan yang cukup mencoreng wajah kepemimpinan Ires sebab para
terduga/tersangka/terdakwa rentetan kasus itu adalah mereka yang memiliki
hubungan benang merah dengan kekuasaan Ires. Sehingga apapun argumentasinya,
agak sukar untuk membendung image itu.
Hal
ini diperparah lagi dengan adanya tambahan kesalah-kesalah sikap dan kebijakan
dipenghujung akhir masa jabatanya, baik yang dilakukan dirinya berkaitan dengan
kebijakannya dalam pemerintahan atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan
orang-orang terdekat dan kepercayaannya seperti arogansi kekuasaan dalam wujud
otoritarianisme berupa kekerasan politik dengan trend intimidasi, mutasi,
selingkuh proyek dan jabatan, keputusan non job pejabat, manipulasi data
honorer, politik anggaran APBD diskriminasi lalu dibumbuhi pencitraan
berlebihan dengan menghalalkan segala cara ditengah ketimpangan pembangunan dan
pengelolaan pemerintahan yang tidak akuntabel, jauh dari asas umum pemerintahan
yang baik, bahkan aroma skandal merupakan bagian dari warna kekuasaan itu,
tetapi dipoles dengan pemberitaan yang tidak jujur. Sebab kesibukan untuk
mengidentifikasi kekuatan kelompok, kroni, gerbong, pendukung lalu menggilas
orang lain agar tetap nyaman bermimpi indah dalam dekapan manis kekuasaan ini,
justru kian menyuburkan sejuta resistensi dari mereka yang terzolimi dengan
cara mutasi ke pelosok daerah, tidak diberikan proyek, dan dinon jobkan dari
jabatannya. Rangkaian ketidak jujuran
dan kekerasan politik inilah yang dalam perspektif Syarifudin Tayeb disebut
sebagai suntikan energi perlawanan yang sempurna.
Apalagi
kalau kemudian rakyat tahu bahwa ada indikasi masa depan pembangunan
infrastruktur Banggai Kepulauan telah dibarter kepada 8 (delapan) perusahan
berlabel Commanditer Venoscaat (CV) dengan jaminan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD) Banggai Kepulauan periode
2011-2016 yang sudah ditetapkan pertahunnya, dalam bentuk kontrak kerja
antara Bupati Banggai Kepulauan dan delapan perusahan sebagaimana Surat Kontrak
Kerja Bupati Banggai Kepulan Nomor : 521.03/305/BK/2010, tanggal 14 Nopember
2010, yang berisikan perihal kesepakatan antara Bupati Banggai Kepulauan
Irianto Malingong dengan para kontraktor dari
delapan CV dimaksud, dimana masing-masing pemilik CV mengelontorkan uang
sebesar Rp.1,5 miliar perkontarktor yang dalam surat kontrak itu disebut
sumbangan dalam upaya melanjutkan pembangunan daerah Kabupaten Banggai
Kepulauan, juga sebagai bentuk realisasi kesediaan bekerja sama para kontraktor
tersebut dengan Pemda Bangkep untuk membangun, memelihara dan memantau
infrastrukture kabupaten Banggai Kepulauan pada periode 2011-2016. Delapan
perusahan yang diduga mengikat kesepakatan dengan Bupati Bangkep dan ditetapkan
dalam surat kontrak kerja tersebut yaitu CV.Angkasa Banggai, CV.Rajawali
Bangkep, CV.Bintang Peling, CV.Mahkota Care, CV.Banggai Membangun, CV.Peling
Cemerlang, CV.Barata Center dan CV.Meubel Peling.
Tentunya
hal ini akan semakin menuai ketidak simpatian publik khususnya dikalangan para
kontraktor lainnya, sebab ancaman untuk tidak mendapat porsi pekerjaan karena
adanya sistem monopolistik seperti ini kian terbuka, lagi-lagi ini merupakan
kesalahan yang juga merusak simpati publik untuk kembali memilih Ires.
Rangkaian fakta-fakta regresif yang memiliki space cukup lebar dengan realitas
progresif ini seolah menganulir dengan jelas apa yang selama ini dicitrakan
melalui media massa, apalagi kondisi ini telah menjadi konsumsi publik Banggai
Kepulauan yang tidak munafik.
Sokongan
media untuk mendongkrak kembali elektabilitas Ires, tidak banyak menolong citra
Ires yang terlanjur rusak karena kesalahan demi kesalahan yang dilakukan Ires
maupun orang-orang kepercayaannya dipenghujung masa kepemimpinan. Sebab
mayoritas masyarakat Bangkep tahu bagaimana realitas sebenarnya yang sangat
bertolak belakang dengan berita koran model cerpen ala wartawan kejar setoran.
Seperti misalnya berita Irianto Bupati yang Sangat dicintai Masyarakat, masuk
Banggai (dapil I) disambut antusias padahal nyatanya disambut dengan reaksi
massa, jalan diseluruh wilayah pulau Peling telah beraspal padahal nyatanya
masih ada jalan raya disejumlah wilayah pedesaan yang memprihatinkan, bagimana
mungkin bisa pengaspalan jalan dibangga-banggakan sebagai prestasi Ires dan
telah merata diseluruh wilayah Bangkep, sementara masyarakat Desa Sampekonan
dan Desa Pinalong belum merasakan bahkan tidak mengenal yang namanya aspal itu.
Bagaimana
bisa budi daya rumput laut diekspos sebagai sektor unggulan yang telah
mengantarkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bagi para petani, bahkan
sampai membawa Kabupaten Banggai Kepulauan sebagai penghasil utama rumput laut
yang menjadi perhatian nasional dan dunia internasional, sementara ratusan juta
rupiah dana bantuan rumput laut bagi para Pokdakan dirampok oleh pejabat daerah
serta koleganya, bangaimana mungkin bisa logis pemerintah daerah telah berhasil
membuka lowongan pekerjaan dan menekan angka pengangguran sementara ratusan
orang anak negeri ini ditipu dan diperas dengan modus MK I dan MK II serta
masih banyak lagi cerpen kebohongan yang dipamerkan penguasa melalui media.
Jelasnya
mayoritas dari 111.344 orang masyarakat Bangkep yang memiliki hak suara di TPS
saat ini sudah paham dengan kondisi kekinian, karena mereka belajar dari
fakta-fakta yang ada, sehingga sepanjang dan sebaik apapun narasi cerpen
kebohongan yang disuguhkan disetiap episode, hanya akan menjadi bahan jenaka
yang mengundang tawa. Inilah realitas yang mengantarkan Ires pada sebuah
kesimpulan mayoritas untuk tidak melanjutkan Ires alias dihentikan saja, dengan
kata lain potensi kemenangan Ires sangat Kecil. Artinya bahwa peluang
kemenangan Ires itu hanya akan ada apabila konsep menghalalkan segala macam
cara dilakukan secara maksimal. ***
NB:
Catatan ini sebelumnya pernah dipublikasikan pada media massa local (Luwuk Post
& Pantau) edisi 27-28 Juli 2011