Selasa, 04 Oktober 2016

EKSPANSI POLITIK dan PERANG DINASTI (Catatan Jelang Pilkada BangKep)


Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Konsentrasi Politik Indonesia
Universitas Nasional Jakarta)


Politik kekerabatan atau politik dinasti, memang bukalah fenomena baru dalam alam demokrasi, tetapi belakangan pasca reformasi 98, politik dinasti menjadi salah satu topik perbincangan paling menarik diranah politik dalam proses demokratisasi di daerah-daerah di Indonesia. Ia menyita perhatian dalam kaitannnya dengan ketidaksetaraan distribusi kekuasaan politik sebagai refleksi dari ketaksempurnaan sistem demokrasi representasi, yang dibenarkan bila demokrasi dilihat semata-mata secara prosedural, tetapi salah bila dilihat secara substantif. Politik dinasti bertentangan dengan demokrasi, karena dalam politik dinasti, ada syahwat berlebihan untuk mengekalkan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan. Sifat alamiahnya adalah kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di atas garis trah dan kekerabatan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan, tujuan-tujuan bersama, keputusan dan kerja-kerja asosiatif. Pengekalan dan pelembagaan politik dinasti dimungkinkan dengan merajalelanya politik-uang, dan memperbesar celah korupsi, kolusi dan nepotisme. Demokrasi diubah teksturnya sedemikian rupa bukan lagi sebagai ruang kontestasi ide, gagasan, program dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan kelompok-kekerabatan. Inilah tendensi yang disebutkan filsuf Italia Gaetano Mosca, dalam karyanya The Rulling Class (1980).

Di Indonesia, politik dinasti yang menempatkan hubungan kekerabatan pejabat sebagai faktor utama dalam suksesi kepemimpinan begitu tumbuh subur, sebut saja contoh dinasti Yasin Limpo di Sulawesi Selatan, dimana adik-adik serta anak Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo menduduki posisi Bupati, Anggota DPR, dan DPRD, demikian pula di Banten, yang mana suami, anak, menantu, dan saudara mantan Gubernur Ratu Atut Chosiyah ikut berada dalam lingkar kekuasaan. Kaitannya dengan politik dinasti dalam catatan ini, penulis sekedar mengajak kita berlayar sejenak kepulau hati (Peling) untuk mengamati kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) 2017 mendatang, karena ditengah hiruk pikuk politik disana, diantara panasnya klaim perebutan kapal (Partai-red) tentang siapa yang menjadi nahkoda dan dikapal mana dia, telah usai. Ada 2 (dua) kontestan dari empat pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati berlabel Dinasti Politik yang tengah berebut hati masyarakat BangKep, yaitu Dinasti MUS yang direfrensentasikan pada diri Cabup Zainal Mus, dan Dinasti MALINGONG yang direfresentasikan pada sosok Cabup Irianto Malingong. Kedua klan itu penulis sebut dinasti karena memenuhi syarat sebagai suatu dinasti politik. Sebab baik MUS maupun MALINGONG merupakan dua klan (keluarga) yang sukses membangun kekuatan dan kekuasaan politik di daerah mereka masing-masing, dinasti MUS di Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara dan dinasti MALINGONG di Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah.

A.        Perbandingan Dinasti  

Sebelum kita mulai menganalisis soal alotnya perang dinasti dan peluang kemenangan dari masing-masing dinasti tersebut, mari kita lakukan kajian komparatif soal plus minus kedua dinasti politik ini. Pada Dinasti MUS ada Ahmad Hidayat Mus (AHM) kakak Zainal dan Aliong, mantan Bupati Kepulauan Sula (Kepsul) dua periode sekarang Koordinator Pemenangan Pilkada Kawasan Indonesia Timur DPP Partai Golkar, lalu Zainal Mus, mantan ketua DPRD Kepsul dua periode sekarang kontestan di Pilkada Bangkep, dan Aliong Mus, mantan Anggota DPRD Provinsi Maluku Utara sekarang Bupati Kabupaten Pulau Taliabo periode 2015-2020, serta Nurohmah Mus, istri AHM, anggota DPR RI komisi IV dari Fraksi Partai Golkar.
Sementara pada Dinasti MALINGONG ada Irianto Malingong, kakak dari Sulaeman dan Israfil, Ia mantan Bupati Bangkep, sekarang ikut kembali menjadi kontestan di Pilkada Bangkep, kemudian ada Sulaeman Husen Malingong, tiga periode sebagai wakil rakyat, mantan Ketua DPRD Bangkep, sekarang Wakil Ketua DPRD Bangkep, serta Israfil Malingong, yang juga tiga periode dikursi legislatif Bangkep, sekarang Wakil Ketua DPRD Bangkep.
Komparasi dari sisi karakteristik politik-kekuasaan, kedua dinasti ini berbeda, bila kita meminjam istilah dalam strategi permainan sepak bola, maka dinasti Mus cenderung memiliki karakter politik-kekuasaan yang ofensif (agresif). Sementara dinasti Malingong memiliki karakter politik-kekuasaan yang cenderung defensif (bertahan). Karakteristik ini dapat dilihat dari rekam jejak kekuasaan kedua dinasti politik itu. Dimana, dinasti Mus yang dikomandoi AHM setelah sukses membangun kekuasaan dinasti politik di Kabupaten Kepulauan Sula, mereka lalu melakukan perluasan wilayah kekuasaan keluar daerah Kepulauan Sula, menuju pentas politik regional Malut dan pentas politik nasional. AHM sang kakak setelah dua periode menjabat Bupati Kepsul, ia naik level dan ikut bertarung pada Pilkada Gubernur Maluku Utara (Malut) tahun 2013 menantang sang petahana Abdul Gani Kasuba (AGK) meskipun gagal. Setelah Kabupaten Pulau Taliabo dimekarkan dari Kepsul pada akhir 2012, giliran kedua adiknya Zainal Mus dan Aliong Mus yang bertarung secara head to head di gelaran Pilkada serentak 2015, memperebutkan posisi Bupati pertama Pulau Taliabo yang berhasil dimenangkan oleh Aliong Mus. Setelah Kalah dari sang adik Aliong Mus, kini Zainal Mus melintasi tapal provinsi untuk berkontestasi sebagai Calon Bupati Banggai Kepulauan periode 2017-2022 berpasangan dengan Rais Adam.
Dari rekam jejak dan komposisi kekuasaan yang diduduki, dapat kita lihat bahwa dinasti Mus memiliki karakter politik ofensif. Sementara pada dinasti Malingong, setelah Irianto Malingong sempat terpental dari kursi kekuasaan pada Pilkada Bangkep 2011 silam, kedua adiknya, Sulaeman Husen Malingong dan Israfil Malingong, meskipun sebelumnya telah dua periode dilegislatif Bangkep, namun keduanya tidak melakukan lompatan kekuasaan politik ke level provinsi dan nasional, entah itu maju berkompetisi sebagai Calon Anggota Legislatif Provinsi dan Pusat, maupun sebagai Cagub atau Cawagub Sulteng pada Pilkada serentak 2015, hanya Iriantolah yang sempat mencoba peruntungan maju sebagai Calon Anggota DPR RI pada pileg 2014 namun gagal, dari rekam jejak ini menunjukan, bahwa dinasti Malingong memiliki karakter politik defensif.
Simpelnya, dapat dikatakan dinasti Mus bukan hanya memiliki kualifikasi sebagai jagoan kandang tetapi juga jagoan tandang, sedangkan dinasti Malingong memiliki kualifikasi sebagai jagoan kandang. Dalam hidmat penulis, perbedaan karakteristik politik-kekuasaan antara dua dinasti ini, lebih disebabkan oleh 2 (dua) faktor yaitu Pertama, faktor bawaan budaya lokal yang secara natural membentuk mind sett politik, dalam hal ini tentu berbeda antara kearifan lokal orang kepulauan Sula-Taliabo  dengan orang Sea-sea Banggai, sehingga membentuk mind sett dan karakter budaya politik yang berbeda pula antara orang Sula-Taliabo dan orang Sea-sea Banggai. Faktor Kedua, adalah kaitannya dengan budget politik. Seperti dilansir dari berbagai sumber media online, Dinasti Mus yang dikomdoi AHM, selama berkuasa diwilayah Kepulauan Sula, bukan hanya sukses membangun kekuatan politik, tetapi juga sukses membangun imperium ekonomi dinasti hingga menjadi kaya raya dengan rincian kekayaan yang fantastis. Hasil verifikasi daftar kekayaan Cagub AHM yang dilakukan oleh KPUD Malut pada gelaran Pilgub 2013, menemukan total kekayaan AHM kurang lebih Rp.1 triliun, tentu ini berbeda dengan kekayaan dinasti Malingong apalagi kekayaan pribadi Irianto Malingong.

B.        Ekspansi dan Perang   

Membaca uraian atas karakteristik dua dinasti politik tersebut, telah dapat dipahami dalam rivalitas ini, dinasti Mus berposisi sebagai pihak yang melakukan ekspansi kekuasaan (penantang), sementara dinasti Malingong berposisi sebagai pihak tuan rumah (ditantang) sehingga terjadilah perang dinasti antara dinasti Mus dan dinasti Malingong. Perang dinasti ini, syarat gengsi dan emosi, karena bukan hanya pertarungan antara orang-orang kuat lokal, yang dalam perspektif Joel Migdal disebut local strongmen, tetapi juga ada fanatisme identitas kedaerahan disana. Tajamnya isu tentang tragedi sejarah masa lalu (Perang Tobelo), dan isu motif kesombongan politik dinasti Mus sebagai konglomerat dari negeri Sula Maluku Utara yang hendak menjadikan Pilkada Bangkep sebagai panggung judi untuk membeli kuasa, “karena tidak tau lagi mau dikemanakan duitnya”, membuat duel ini menjadi perang pertaruhan kehormatan. Antara kehormatan dinasti Mus, sebagai dinasti petarung dan penjudi kuasa yang berani kemana-mana mencari lawan tanding, serta kehormatan dinasti Malingong sebagai dinasti lokal yang mengakar, dengan atribusi pau lipu yang telah teruji abdinya pada negeri Sea-sea Banggai Kepulauan.
Inilah perang dinasti bertajuk Pilkada Bangkep yang menarik di ikuti alur pertempurannya. Sebab bukan hanya mempertemukan dua aktor refresentatif dari dinasti politik Mus dan Malingong, yakni Zainal Mus dan Irianto Malingong, tetapi juga mempertemukan dua tokoh politisi nasional yang saling memberi backing pada dua figur Calon Bupati tersebut yaitu, Ahmad Hidayat Mus, mantan ketua DPD I Partai Golkar Provinsi Maluku Utara, sekarang menjabat Koordinator Pemenangan Pilkada Kawasan Indonesia Timur DPP Partai Golkar, yang disebut-sebut sebagai salah satu dari orang kepercayaan Abu Rizal Bakrie, berada dibelakang Zainal Mus. Sedangkan Ahmad Ali, Ketua DPW Partai NasDem Provinsi Sulawesi Tengah, sekarang menjabat anggota DPR RI, merupakan tokoh NasDem yang diandalkan Surya Paloh diwilayah Sulawesi Tengah berada dibelakang Irianto Malingong.         

C.        Analisis Kemenangan   

Plus minus kedua figur Calon Bupati, Zainal Mus dan Irianto Malingong, yang paling mudah diidentifikasi adalah Zainal Mus mungkin lebih mumpuni dari segi budget politik daripada Irianto, tetapi ia kurang dari segi kekuatan grassroot (akar rumput), sementara Irianto Malingong lebih mengakar ditingkat akar rumput, meskipun mungkin kalah dari kekuatan finansial bila dibandingkan dengan Zainal. Rilis hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Indo Barometer masih menempatkan pasangan calon Irianto Malingong-Hesmon FVL Pandili (IRHES) sebagai pasangan yang paling diinginkan oleh masyarakat untuk memimpin Kabupaten Banggai Kepulauan lima tahun kedepan, jauh dari Pasangan Calon Zainal Mus-Rais Adam (ZAMRA). Hal ini wajar, karena Irianto Malingong adalah mantan Bupati Banggai Kepulauan yang dinilai telah terbukti dedikasinya dalam pembangunan infrastruktur daerah selama ia memimpin, sehingga secara popularitas dan elektabilitas beliau sangat baik. Sedangkan Zainal Mus adalah pendatang baru dalam kancah politik lokal Bangkep, yang baru mulai membangun citra agar dikenal dan kelak dipilih menjadi pemimpin Bangkep.
Melihat dari komposisi koalisi partai pengusung, Paslon ZAMRA yang diusung Partai Demokrat, PKS, Partai Hanura dan PBB dengan 6 kursi diparlemen, dan Paslon IRHES yang didukung empat partai koalisi yakni NasDem, PAN, PPP dan Golkar dengan 13 kursi dukungan di DPRD Bangkep. Secara matematis pasangan IRHES masih jauh lebih unggul, apalagi dua partai besar pemenang Pileg 2014 yakni PAN dan Golkar masuk dalam koalisi Montolutusan itu, ditambah lagi ada PDIP, yang meskipun mengusung Pasangan Calon HERI ADJA tetapi kekuatannya akan terbelah ke IRHES, karena bagaimanapun faktor Israfil Ketua DPC PDIP Bangkep adalah adik kandung Irianto, sehingga secara psikologi politik diluar dari upayanya untuk profesional, kecenderungan nuraninya tetap akan ke IRHES, atau dengan kata lain mesin politik PDIP tidak akan bekerja secara power full kepada Paslon Heri Adja. Meskipun demikian, bukan berarti Paslon ZAMRA tidak memiliki peluang untuk mengkudeta semua analisis keunggulan IRHES tersebut.
Dimata penulis tiga Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati yang menjadi penantang IRHES yakni  Zainal Mus-Rais Adam (ZAMRA), Heri Ludong-Adjumain Lumbon (HERI ADJA) yang diusung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra, serta Delmard Siako-Nadjib Bangunan (DESA MEMBANGUN) dari jalur perseorangan. Pertama, yang paling potensial merusak peluang kemenangan IRHES adalah ZAMRA,  karena secara finansial paslon ini dinilai sangat siap, bahkan informasi Rp.500 ribu perkepala untuk setiap konstituen yang bersedia menjatuhkan pilihan kepada Paslon ZAMRA sudah ramai diwacanakan oleh tim suksesnya. Posisi kedua dan ketiga yang berpeluang menggagalkan kemenagan IRHES dan juga ZAMRA adalah Paslon Desa Membangun dan Paslon Heri Adja.
Menempatkan ZAMRA sebagai paslon yang paling potensial merusak peluang kemenangan IRHES dengan pertimbangan “uang” cukup beralasan, meskipun uang memang tidak menjadi jaminan kemenangan. Tetapi karakteristik dinasti Mus seperti diuraikan diatas, cenderung hard (keras) berani melakukan perjudian politik secara terbuka dalam bentuk money politics, tidak seperti gaya tarung pasangan calon lain yang lebih soft (lembut). Lihat saja bagaimana kampanye “bagi-bagi duit” Ahmad Hidayat Mus (AHM) yang diunggah salah satu akun media sosial youtube pada Pilgub Maluku Utara 2013 yang berbuah ricuh, atau gaya teranyar Zainal Mus yang memborong semua jenis dagangan ikan dan sayuran di pasar Salakan (Bangkep) untuk dibagikan kepada warga. Sebuah bentuk parade kekuatan finansial yang siap dilakukan untuk menghadang setiap lawan politik di Pilkada kali ini, terutama IRHES. Yang pasti maestro dinasti Mus yakni AHM, pemilik Klub Kuda Pacu Taliabo di arena Pacuan Kuda Pulomas Jakarta Timur dengan ratusan kuda pacu bernilai miliaran rupiah, serta pemilik sejumlah mobil mewah bermerek Toyota Alphard Vellfire, Audi Q7, Land Cruiser Cygnus (Deliknews.com), akan habis-habisan memback-up sang adik Zainal Mus untuk menangkan pertarungan di Pilkada Bangkep.
Secara gengsi, tentu akan berbeda beck-up yang diperoleh IRHES dari Ahmad Ali, dengan back up politik yang diberikan AHM kepada Zainal Mus, karena relasi AHM dan Zainal Mus adalah relasi biologis antara adik dan kakak, sehingga kekuatan maksimum akan diberikan. Sedangkan relasi Ahmad Ali dan Irianto Malingong hanyalah relasi politik, Partai NasDem sebagai partai pertama yang menyatakan dukungannya kepada Paslon IRHES. Memang telah terlihat, bagaimana peran penting seorang Ahmad Ali dalam membantu Irianto melakukan negosisi kepada sejumlah DPP partai politik pengusung yang berbuah Surat Keputusan dukungan. Pada konteks dukungan maksimum, mungkin back up link dan lobi-lobi politik lebih dominan, dibandingkan dengan dukungan budget politik, tetapi bila Ahmad Ali melihat bahwa duel ini bukan sekedar duel Zainal Mus dan Irianto Malingong, melainkan duel yang mempertaruhkan reputasi dirinya (Ahmad Ali-red) sebagai salah satu orang kuat (local strongmen) di Sulawesi Tengah khususnya dikawasan Timur Sulawesi dengan AHM sebagai salah satu orang kuat di Maluku Utara, maka menurut penulis pertarungan ini akan berimbang dan habis-habisan.
Tentu bukanlah berlebihan, bila penulis menyebut, pertarungan ini adalah pertarungan pemanasan antara dua Ahmad jelang Pilgub Sultim, bila memang Provinsi Sulawesi Timur dapat lahir dalam waktu satu atau dua tahun kedepan. Sebab jika menilik dari karakteristik dinasti Mus yang ofensif dan gemar melakukan ekspansi politik, maka bila Zainal Mus memenangi Pilkada Bangkep dan Sultim terealisasi dalam kurun waktu dekat ini, kehadiran Ahmad Hidayat Mus digelanggang politik Sultim sebagai Calon Gubernur menantang Ahmad Ali dan nama lain seperti Anwar Hafidz dan Ma’mun Amir bukanlah isapan jempol.
Tetapi catatan terpenting dari ujung artikel ini adalah: kehadiran paslon ZAMRA di Pilkada Bangkep yang akan dihelat Februari 2017 mendatang, menjadi ujian apakah benar IRHES diinginkan kembali oleh masyarakat Bangkep untuk memimpin atau tidak,? apakah benar IRHES memiliki akar konstituen ideologis yang sangat kuat sehingga tidak akan tergoyahkan dengan serangan politik uang,? atau sejauh mana efektifitas pencerahan politik yang dilakukan pasangan ini dalam membentengi dan merasionalisasikan simpatisannya agar tidak tergoda dan mengalihkan dukungannya, seperti menolak pemberian uang, atau menerima pemberian uang tetapi tidak menjatuhkan pilihan pada paslon pemberi uang dan sebagainya. Hasil dari Pilkada Bangkep nantinya, sekaligus akan menjadi jawaban atas kultur dan karakteristik pemilih kita masyarakat Banggai Kepulauan, apakah pemilih ideologis-rasional atau pemilih pragmatis-irasional. (****)

Artikel ini pernah dimuat di media lokal, Koran Mingguan Suara Rakyat, Edisi VIII Minggu ke-1 Oktober 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar