Oleh : F. B. ABDUL BARRY
(Sekretaris Majelis Pemuda Indonesia Kabupaten Banggai Laut)
A.
PENDAHULUAN
Artikel ini ditulis sekedar untuk kebutuhan pemenuhan Tugas Ujian Akhir Semester (UAS) yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah Perbandingan Politik Indonesia pada kelas Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, medio Desember 2015 lalu, mengangkat topik utama mengenai "PILKADA SERENTAK 9 DESEMBER 2015; dengan study kasus yang telah ditentukan yaitu Analisis Perbandingan, Mengapa, (1). Petahana, (2). Calon Independen, (3). Calon Perempuan, dan (4). Dinasti Politik, bisa menang disatu tempat tapi bisa kalah di tempat lain"? .
Namun dengan tetap memperhatikan dimensi analisis perbandingan politiknya, maka penulis memutuskan untuk sedikit menyimpang dari 4 (empat) sub
topik yang telah ditentukan tersebut, mengangkat sub topic PERTARUNGAN
POLITIK KAKAK BERADIK di wilayah Propvinsi Sulawesi Tengah, dengan study kasus pada pelaksanaan Pilkada Kabupaten Tojo
Una-Una (Touna) yang melibatkan pertarungan Calon Bupati Muhammad Lahay (kakak) dengan salah satu Calon Bupati Touna yang merupakan
adik kandungnya yatu Mahmud Lahay (adik) serta pada Pilkada
Kabupaten Morowali Utara (Morut) yang melibatkan duel politik sedarah antara Calon Bupati Mahmud
Ibrahim (kakak) dengan Calon Bupati Morut lainya yaitu Idham
Ibrahim (adik).
Pilihan untuk mengangkat topik ini bukanlah
merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap topik yang telah ditentukan tetapi karena penulis melihat rivalitas politik kakak beradik dalam perebutan
kekuasaan dipentas demokrasi lokal merupakan suatu fenomena yang kian subur dan
menarik untuk diamati, sama seperti fenomena petahana, calon independen, calon
perempuan, dan dinasti politik, sebab duel politik kakak beradik dalam satu
wilayah, ada yang keduanya sama-sama gagal merebut kekuasaan akibat terbelahnya basis kekekuatan dukungan khususnya keluarga seperti banyak
disinyalir orang, tetapi ada juga yang salah satunya berhasil merebut kekuasaan
dengan sukses memenangkan Pilkada.
B.
ANALISIS KONSEP
1.
Studi Kasus
Demokrasi
sebagai sebuah sarana penyaluran aspirasi masyarakat memiliki ekses yang
beragam dalam perkembangannya. Negarawan seperti Soekarno, Mahatir Mohammad,
dan Lee Kuan Yew bahkan menafsirkan demokrasi adalah tatanan bernegara yang
harus disesuaikan secara adaptif-cultural, sehingga semangat kekhususan (uniqness) menjadikan Democracy is not portable, hal ini yang
membuat demokrasi membutuhkan prasyarat, tidak instan dan tidak bisa dibawa
kemana-mana secara seragam. Di Indonesia sendiri penerapan demokrasi dengan
segala variannya menjadi sebuah topik yang berkutat antara demokrasi langsung (direct democracy) dengan demokrasi
perwakilan (indirect democracy). Bila
meminjam istilah Kuhn, maka terjadi dinamika paradigma yang sangat signifikan
terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia, mulai dari demokrasi parlementer,
demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila dan demokasi reformasi (demokrasi
pasca orde baru).
Terlepas
dari perdebatan hal tersebut di atas, saat ini salah satu perwujudan dari
pelaksanaan demokrasi reformasi adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah
secara langsung oleh rakyat di daerah. Artinya, kedaulatan penuh berada ditangan rakyat, sebagaimana amanah
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menyatakan bahwa, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar“. Secara eksplisit, ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa
rakyat-lah yang harus diberikan mandat untuk menentukan masa depan Bangsa ini,
termasuk dalam memilih pemimpinnya sendiri. Hal ini sejalan dengan Pasal 25
huruf b International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR), yang menyebutkan bahwa, “Setiap warga
negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan dan tanpa pembatasan
yang tidak layak, untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang
murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui
pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan
dari para pemilih”.
Untuk itu, pilkada langsung merupakan jaminan
bagi setiap warga Negara untuk dapat menggunakan hak pilihannya dengan memilih
kepala daerah secara langsung melalui
pemilu seperti
yang diamantkan dalam Pasal 24 ayat (5) dan
Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 12
Tahun 2008 tentang Perubahan UU No. 32 Tahun 2004 jo Pasal 1 angka 4 UU No. 15
Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Pada bentuk ini pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi
persyaratan, dan pasangan calon perseorangan. Selanjutnya pasangan calon yang
memenuhi persyaratan mengikuti kompetisi melalui pemilu untuk dipilih secara
langsung oleh rakyat-pemilih.
Dalam
koridor demokrasi local ini mayoritas masih dijadikan medan pertarungan bagi
kaum aristokrasi untuk memperebutkan kekuasaan, mulai dari bangsawan, pejabat
tinggi, cendekiawan sampai dengan orang ternama. Fenomena ini muncul dan
menjadi sangat dominan karena hanya kaum aristoratlah yang memiliki
aksesibilitas yang paling mapan ditengah praktek politik biaya tinggi meskipun
ada ruang bagi kalangan kaum proletar untuk mengambil bagian melalui jalur
independen tetapi dominasi kaum aristokrat masih sangat dominan, salah satu eksesnya
dari fenomena ini adalah munculnya politik oligarki. Bahkan sejak Pilkada
langsung diperkenalkannya pada tahun 2005, banyak keluarga politik
telah mencoba membangun dinasti politik regional, seperti Choisiyah di banten,
Yasin Limpo di Sulawesi Selatan, dan Sjachroedin di Lampung, dimana dari beberapa
dari mereka memiliki garis keturunan politik yang meluas ke rezim Orde baru
(1966-1998), meskipun kebijakan sentralisasi Soeharto mencegah kepindahan
kekuasaan secara langsung diantara anggota keluarga, bahkan lebih dari itu
Pilkada langsung telah menjadi ajang paling bergengsi pertarungan politik
orang-orang kuat didaerah (local
strongman), dimana bukan hanya sekedar arena untuk membangun dinasti
politik yang saling mendukung dan melanggengkan kekuasaan politik dinasti tetapi
juga terbentuknya wajah baru pertarungan politik familisme yang menyajikan
pertarungan sesama kerabat dalam konteks rivalitas politik demi memperebutkan
posisi sebagai orang nomor satu didaerah.
Politik familisme ini, menjadi salah satu riasan wajah Pilkada langsung yang menurut penulis, menjadi
pola baru pembangunan politik dinasti bagi kalangan kaum aristokrat di daerah,
sebab sealot apapun rivalitas politik yang terjadi diantara mereka, tetapi
peluang untuk kompromi dan saling memberikan back up politik pasca Pilkada tetap ada karena “hubungan darah”
tertsebut, apalagi bila salah satunya ada yang menjadi Pemenang Pilkada. Potret
pertarungan politik diantara sesama kerabat ini dapat kita lihat dalam
pelaksanaan Pilkada serentak 9 desember 2015 silam. Sebut saja pertarungan
politik dua istri bupati Kediri Sutrisno yaitu Haryati dan Nurlaila pada
Pilkada Kabupaten Kediri, atau pertarungan antara bibi dan keponakan oleh
dinasti Yasin Limpo pada Pilkada Kabupaten Gowa yang melibatkan Tenri Olle Yasin Limpo berhadapan dengan keponakannya
Adnan Purictha IchsanYasin Limpo, bahkan tak ketinggalan pula parade
pertarungan saudara kandung kakak beradik seperti yang terjadi pada Pilkada dua
daerah di Provinsi Sulawesi Tengah yaitu Kabupaten Tojo Una-una (Touna) dan
Kabupaten Morowali Utara (Morut) yang menampilkan duel politik saudara kandung,
dimana di Kabupaten Touna pertarungan kakak beradik melibatkan duo Lahay yaitu Muhammad
Lahay (kakak) versus Mahmud Lahay (adik), dan di Pilkada
Kabupaten Morut melibatkan duo Ibrahim yaitu Mahmud Ibrahim (kakak)
versus Idham Ibrahim (adik). Dimana masing-masing dari kakak beradik
ini sama-sama dalam posisi sebagai Calon Bupati yang diusung oleh partai
politik. Artikel ini penulis mengambil studi kasus pertarungan politik Lahay
bersaudara di Kabupaten Touna dan Ibrahim bersaudara di Kabupaten Morut dengan empat
alasan utama, yaitu: Pertama, Keempatnya
maju bertarung dalam Pilkada di dua daerah tersebut dalam posisi yang sama
yaitu sebagai Calon Bupati, bukan salah satunya sebagai calon bupati dan
atau calon wakil bupati. Kedua, kedua
klan (baik Lahay maupun Ibrahim) merupakan kaum Aristokrat di daerah mereka,
sehingga mereka memiliki pengaruh yang cukup kuat. Ketiga, keempat
figure tersebut diusung oleh Partai politik yang memiliki kursi di parlemen
lokal, dan Keempat, meskipun keempat figure ini memiliki kesamaan
dari tiga komponen diatas, namun duo Ibrahim di Kabupaten Morut gagal dalam
memenangkan Pilkada, sementara salah satu Lahay (Muhammad Lahay) berhasil
memenangkan Pilkada di Touna dengan mengalahkan empat pasangan calon lainnya
termasuk sang adik Mahmud Lahay.
2.
Perbandingan
Adagium politik tiada kawan atau lawan yang abadi, yang ada
hanyalah kepentingan abadi,” atau “Politik merupakan siapa mendapat apa,
menegaskan bahwa dalam ranah politik tidak ada yang paling utama selain
kepentingan, entah itu kepentingan untuk berkuasa atau kepentingan untuk
memperoleh bagian dari hasil kompromi politik. sehingga dalam politik jangankan
hanya kawan, ayah, ibu, kakak dan adik kandung bisa saling menjadi lawan karena
memiliki kepentingan yang berbeda, yang memungkinkan untuk tidak dapat
dikompromikan melalui consensus keluarga. fenomena inilah yang terjadi dalam
pertarungan politik dua kakak beradik klan Lahay dan klan Ibrahim di Kabupaten
Touna dan Kabupaten Morut. Karena seperti yang dilansir oleh metrotvnews.com
meskipun telah melalui rapat keluarga dan memutuskan salah satu dari
masing-masing mereka saja yang maju menjadi calon bupati pada Pilkada 2015
silam, toh kenyataannya hasil rapat keluarga tersebut tidak mampu meredam
sahwat kedua pasang kakak beradik itu untuk bertarung memperebutkan kekuasaan,
terlepas kemudian benar tidaknya indikasi adanya by design elit lokal baik dari pimpinan birokrasi dan partai
politik local untuk memecah belah kekuatan basis kedua klan tersebut. Berikut analisis singkat penulis mengenai perbandingan politik kedua pasang kakak beradik yang saling adu kekuatan politik pada pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Touna dan Kabupaten Morut, Provinsi Sulawesi Tengah untuk menjawab mengapa salah satu Lahay menang di Tojo Una-una sementara duo Ibrahim gagal di Morowali Utara.
a)
Muhammad
Lahay vs Mahmud Lahay di Kabupaten Touna
Pelaksanaan
Pilkada Kabupaten Tojo Una-Una di ikuti oleh lima pasangan calon Bupati dan
Wakil Bupati, diantara kelima pasangan calon tersebut terdapat Pasangan Calon
Nomor Urut 2 yaitu sang kakak Mohammad
Lahay, SE yang berpasangan dengan Admin AS Lasimpala, S.IP, dan
Pasangan Calon Nomor Urut 4 yaitu sang adik
Mahmud Lahay, SE.,M.Si yang berpasangan dengan Lucky Lasahido, SH. dimana
pasangan nomor urut 2 Mohammad Lahay dan Admin Lasimpala diusung oleh koalisi Partai Demokrat, PDIP, NasDem, PKS, dan PPP, sementara pasangan nomor urut 4 Mahmud Lahay dan Lucky
Lasahido didukung oleh koalisi PAN, Hanura dan PBB. Pasangan kakak beradik ini
bertarung dengan tiga pasangan calon lainya yakni nomor urut 1 Syamsulfiqar
Tanjumbulu dan Ma'ruf Ansyar, nomor urut 3 Muhammad Syarif Aljufri dan Fatimah
Hi. Moh. Amin, serta nomor urut 5 Basrin Mohammad dan Bahrun S. Mardani.
Latar belakang profesi keduanya, sang kakak Mohammad
Lahay merupakan Ketua DPC Partai NasDem Kabupaten Touna dan menjabat Wakil
Ketua DPRD Kabupaten Touna periode 2014-2015, selain itu Muhammad Lahay pernah menjadi kontestan politik pada Pilkada Tojo Una-una 2010 namun gagal karena perolehan suaranya kalah dari Bupati terpilih Damsik Ladjalani-Jamal Juraejo kala itu. Sementara sang adik Mahmud Lahay adalah seorang birokrat yang terpaksa pensiun dari jabatannya sebagai Asisten II Pemerintah Kabupaten Touna karena
maju sebagai calon Bupati Kabupaten Touna Periode 2015-2020. Dari hasil Real Count KPU Touna berdasarkan
Hasil Hitung TPS (Form C1), pada Pilkada 9 Desember 2015 pasangan calon nomor
urut 2 Mohammad Lahay, SE dan Admin
AS Lasimpala, S.IP menjadi pemenang Pilkada langsung di Touna dengan peroleh
suara 32.460 (42,21%) menang telak dari
empat pasangan calon lainya termasuk dari sang adik Mahmud Lahay dan Lucky
Lasahido yang berada pada rangking kedua dalam perolehan suara dibawah sang
kakak dengan jumlah 22.274 (28,97%) suara.
b)
Mahmud
Ibrahim versus Idham Ibrahim di Kabupaten Morut
Sementara
Pelaksanaan Pilkada
di Kabupaten Morowali Utara yang juga di ikuti oleh lima pasangan Calon Bupati
dan Wakil Bupati termasuk kakak beradik, Mahmud
Ibrahim, S.Sos.,MM yang berpasangan dengan Sanda Rinding
Sarungallo dengan nomor urut 1diusung oleh PKB dan Partai Gerindra, sedangkan H. Idham Ibrahim, SE.,M.SE yang
berpasangan dengan Heymans Larope, SE dengan urut 4 diusung oleh koalisi PDIP,
NasDem dan PAN. Latar belakang kedua kakak beradik Mahmud dan Idham sama-sama birokrat. Mahmud mundur dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Pertambangan Pemkab Morowali Utara sementara Idham mundur dari jabatannya sebagai Kepala Pelabuhan Jeneponto, Sulawesi Selatan. Demi ambisinya merebut kursi Bupati, kedua kakak beradik itu bertarung bersama tiga pasang kandidat lainnya yaitu pasangan nomor urut 2 Aptripel Tumimomor dan
Moh. Asrar Abdul Samad, nomor urut 3 pasangan calon Mardiman Sane dan Anhar,
serta pasangan calon nomor 5 Sutrisno.N Sembiring, dan W.Kristina Parinsi. Pada
pemungutan suara yang dilaksanakan 9 Desember 2015, dari hasil Real Count KPU Morut
berdasarkan Hasil Hitung TPS (Form C1) kedua kakak beradik pasangan calon
Mahmud Ibrahim dan Sanda Rinding Sarungallo maupun pasangan calon H. Idham
Ibrahim dan Heymans Larope, sama-sama dikalahkan oleh Pasangan Calon nomor urut
2 Ir. Aptripel Tumimomor, MT dan
Moh. Asrar Abd.Samad dengan perolehan 18.600 Suara (32,20%), sementara Idham
Ibrahim berada pada perolehan suara terbanyak kedua yaitu 16.018 (27,73%)
sedangkan Mahmud Ibrahim berada pada urutan ketiga rekapitulasi suara yaitu
12,360 (21,40%).
c)
Telaah
Kritis
Menurut hemat penulis, majunya kakak beradik
sebagai rivalitas dalam perebutan kekuasaan pada Pilkada di dua daerah
kabupaten tersebut tidak lepas dari dua aspek penentu yaitu Pertama, budaya patronage masyarakat di wilayah itu masih mempercayai nama besar keturunan (klan) yang dibawah oleh kedua kakak beradik. seperti dikatakan akademisi dari Universitas Sintuwu Maroso Poso, Suwardi Pantih kepada mediaindonesia.com dengan menyebutkan semisal klan Lahay di Tojo Una-una merupakan marga keturunan tokoh besar didaerah itu, sehingga ada penilaian masyarakat yang berkembang bahwa keteurunan mereka (baca:Lahay) layak layak menjadi pemimpin di daerahnya. inilah yang dijadikan pertimbangan utama Partai Politik untuk mendorong keturunan Lahay maju pada Pilkada Touna 2015, meskipun terjadi duel politik sedarah, karena partai politik tidak lagi mempertimbangkan diskonsolidasi keluarga besar Lahay secara internal, yang penting bagi partai pengusung ada potensi kemenangan yang cukup besar bila mengusung keturunan Lahay sebagai calon Bupati dalam Pilkada. Begitu halnya dengan keluarga besar (klan) Ibrahim di Morowali Utara, dikenal sebagai keluarga konglomerat sukses yang berkecimpung didunia bisnis dan juga sebagian tercatat sebagai pejabat pemerintahan, apalagi klan Ibrahim juga berandil besar dalam memperjuangkan pemekaran Kabupaten Morowali Utara pada tahun 2013. sehingga nama dan peran besar itulah yang membuat popularitas mereka naik. Kedua, kuatnya ego berkuasa dan menjadi penguasa lokal di daerah mereka, dari masing-masing pribadi kedua kakak beradik tersebut, sehingga tidak ada titik kompromi yang bisa merubah ego itu, meskipun sebelumnya telah dilakukan rapat keluarga untuk memediasi agar salah satu diantara mereka saja yang maju sebagai calon kepala daerah. Hal ini terlihat dari keputusan Mahmud Lahay yang kemudian mendeklarasikan diri ikut Pilkada, walau harus mengorbankan sisa pengabdiannya yang masih 14 tahun sebagai Pegawai Negeri Sipil, padahal sebelumnya Mahmud Lahay telah menyetujui keputusan rapat keluarga yang menetapkan sang kakak Mohammad Lahay saja yang maju pada Pilkada Touna. Begitu pula pada kedua kakak beradik Mahmud Ibrahim dan Idham Ibrahim, meski telah coba di mediasi melalui rapat keluarga namun tidak ada kata sepakat karena keduanya sama-sama ingin menjadi Kepala Daerah pertama di kabupaten yang baru dimekarkan itu, sehingga keluarga tidak kuasa membendung rivalitas keduanya pada Pilkada Kabupaten Morowali Utara.
Adapun perbedaan hasil yang dicapai dari pertarungan kedua kakak beradik ini, dimana salah satu dari Lahay yakni Mohammad Lahay yang berpasangan dengan Admin AS Lasimpala MENANG pada Pilkada langsung di Kabupaten Touna sementara kedua Ibrahim bersaudara sama-sama KALAH dalam Pilkada Kabupaten Morut dengan hanya menempati peroleh suara kedua dan ketiga terbanyak dari sang pemenang yaitu Aptripel Tumimomor dan Moh. Asrar Abdul Samad. Secara umum polarisasi kesolidan dukungan massa idilogis dari kedua dinasti itu cukup kuat, hal ini nampak hasil perolehan suara baik antara Muhammad Lahay sebagai pemenang Pilkada dan Mahmud Lahay yang memperoleh suara terbanyak kedua menggungguli jauh tiga pasangan lainnya. Demikian halnya dengan Mahmud Ibrahim dan Idham Ibrahim yang meslipun kalah dari pemenang Aptripel Tumimomor tapi perolehan suara mereka cukup signifikan jauh dari dua pasangan lainnya yang berada dibawah keduanya. Sehingga menurut penulis secara khusus penyebab dari perbedaan hasil yang dicapai dari kedua pasang calon kakak beradik ini adalah dari segi kaderisasi, dimana Mohammad Lahay menang pada Pilkada Tojo Una-una unggul dari sang adik dan ketiga pasangan lainnya karena Mohammad Lahay sebagai seorang politisi murni dari segi kaderisasi politik lebih matang dengan kekuatan dukungan yang cukup mengakar dan telah teruji, dimana pada Pilkada Touna tahun 2010 ia menjadi kontestan politik dan berada pada runner up suara terbanyak kedua dari pemenang Damsik Ladjalani, serta pada Pemilu Legislatif 2014 ia terbukti lolos menjadi anggota DPRD Kabupaten Touna dengan mendulang suara terbanyak dari keseluruhan partai politik yang memiliki kursi di legislatif Touna. Sementara Mahmud Ibrahim dan Idham Ibrahim di Kabupaten Morowali Utara, meskipun secara popularitas mereka popular tetapi latar belakang mereka sebagai birokrat tidak cukup memiliki basis massa riil yang solid dan sangat mengakar, sehingga hal ini menjadi salah satu penyebab kekalahan mereka.
Adapun perbedaan hasil yang dicapai dari pertarungan kedua kakak beradik ini, dimana salah satu dari Lahay yakni Mohammad Lahay yang berpasangan dengan Admin AS Lasimpala MENANG pada Pilkada langsung di Kabupaten Touna sementara kedua Ibrahim bersaudara sama-sama KALAH dalam Pilkada Kabupaten Morut dengan hanya menempati peroleh suara kedua dan ketiga terbanyak dari sang pemenang yaitu Aptripel Tumimomor dan Moh. Asrar Abdul Samad. Secara umum polarisasi kesolidan dukungan massa idilogis dari kedua dinasti itu cukup kuat, hal ini nampak hasil perolehan suara baik antara Muhammad Lahay sebagai pemenang Pilkada dan Mahmud Lahay yang memperoleh suara terbanyak kedua menggungguli jauh tiga pasangan lainnya. Demikian halnya dengan Mahmud Ibrahim dan Idham Ibrahim yang meslipun kalah dari pemenang Aptripel Tumimomor tapi perolehan suara mereka cukup signifikan jauh dari dua pasangan lainnya yang berada dibawah keduanya. Sehingga menurut penulis secara khusus penyebab dari perbedaan hasil yang dicapai dari kedua pasang calon kakak beradik ini adalah dari segi kaderisasi, dimana Mohammad Lahay menang pada Pilkada Tojo Una-una unggul dari sang adik dan ketiga pasangan lainnya karena Mohammad Lahay sebagai seorang politisi murni dari segi kaderisasi politik lebih matang dengan kekuatan dukungan yang cukup mengakar dan telah teruji, dimana pada Pilkada Touna tahun 2010 ia menjadi kontestan politik dan berada pada runner up suara terbanyak kedua dari pemenang Damsik Ladjalani, serta pada Pemilu Legislatif 2014 ia terbukti lolos menjadi anggota DPRD Kabupaten Touna dengan mendulang suara terbanyak dari keseluruhan partai politik yang memiliki kursi di legislatif Touna. Sementara Mahmud Ibrahim dan Idham Ibrahim di Kabupaten Morowali Utara, meskipun secara popularitas mereka popular tetapi latar belakang mereka sebagai birokrat tidak cukup memiliki basis massa riil yang solid dan sangat mengakar, sehingga hal ini menjadi salah satu penyebab kekalahan mereka.
C.
KESIMPULAN
Sebagai
arena demokrasi, maka Pilkada menjadi medan liberalisme politik bagi siapa saja
untuk ikut berpartisipasi dalam perebutan kekuasaan, dalam rangka seleksi
kepemimpinan local. Oleh karenanya dari seluruh uraian atas fenomena diatas,
maka penulis dapat memberikan beberapa catatan penting sebagai kesimpulan yaitu
sebagai berikut:
1) Tidak adanya aturan yang melarang kerabat atau saudara sedarah ikut berpartisipasi dalam perebutan kekuasaan melalui Pilkada, membuat arus partisipasi politik sebagai kontestan begitu sangat membuka peluang monopoli politik familisme bagi kalan tertentu dalam upaya membangun dinasti politik baru ataupun melanggengkan dominasi dinasti politik yang tengah berkuasa. secara konstitusi, tentu menjadi sah dan wajar karena tidak ada aturan formil yang mengatur hal tersebut, tetapi secara etik dan moral politik, tentu ini menjadi masalah, karena soal kepatutan politik, dimana relasi etika yang menjadi pedoman proses pengaturan budaya politik familisme adalah menekankan munculnya dinasti politik dan menghindari lahirnya tirani melalui demokrasi yang menyimpang dari semangat reformasi. bukankah reformasi memperjuangkan penghapusan KKN, dan salah satunya adalah nepotisme.
2) Apapun hasilnya, menang atau kalah dari duel politik itu, tetapi rivalitas politik sedarah adalah bagian dari ornamen budaya politik familisme yang berorientasi untuk membangun sebuah dinasti baru, yang kalah tentu gagal mewujudkan pembangunan dinasti karena harus rela dilibas oleh pemenang kuasa, sementara yang menang akan memulai untuk mengokohkan dinastinya, sebab sekejam apapun politik, ruang konsiliasi sangat besar terbuka karena ikatan saudara sedarah. Sebagai budaya politik, familisme menurut Adela Garzon (2002) diartikan sebagai ketergantungan yang terlalu besar pada ikatan keluarga, yang melahirkan kebiasaan menempatkan keluarga dan ikatan kekerabatan pada kedudukan yang lebih tinggi daripada kewajiban sosial lainnya.
2) Apapun hasilnya, menang atau kalah dari duel politik itu, tetapi rivalitas politik sedarah adalah bagian dari ornamen budaya politik familisme yang berorientasi untuk membangun sebuah dinasti baru, yang kalah tentu gagal mewujudkan pembangunan dinasti karena harus rela dilibas oleh pemenang kuasa, sementara yang menang akan memulai untuk mengokohkan dinastinya, sebab sekejam apapun politik, ruang konsiliasi sangat besar terbuka karena ikatan saudara sedarah. Sebagai budaya politik, familisme menurut Adela Garzon (2002) diartikan sebagai ketergantungan yang terlalu besar pada ikatan keluarga, yang melahirkan kebiasaan menempatkan keluarga dan ikatan kekerabatan pada kedudukan yang lebih tinggi daripada kewajiban sosial lainnya.
3) Dalam pengertian lainnya, familisme juga dipahami sebagai new social order, yakni dorongan psikologis bagi seseorang untuk dapat berkarir dalam dua ranah yakni publik sebagai birokrat dan privat sebagai korporat-swasta. Hal ini persis dengan posisi dari klan Lahay di Touna dan Ibrahim di Morut, dimana mereka bukan hanya menguasai ranah swasta sebagai konglomerat dan politisi tetapi juga mereka menguasai ranah birokrasi sebagai para pejabat pemerintah. Tetapi betapapun itu munculnya dinasti politik diinisiasi dari politik familisme pada era kekinian yang merupakan hasil dari dinamika demokrasi prosedural yang terjadi dan diakui legitimasinya bila melalui proses politik yang disepakati bersama.
4) Budaya politik familisme yang berkontribusi
dalam melahirkan dinasti politik dapat terindikasi dalam tiga hal yaitu Pertama,
kegagalan fungsi partai politik local untuk melakukan kaderisasi dan regenerasi
politik. Kedua, biaya demokrasi yang masih tinggi menghalangi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam suksesi kekuasaan, kalupun ada melalui jalur independen
tetapi sedikit diantara mereka yang sukses dalam kontestasi ini. Ketiga, tidak
terciptanya perimbangan kekuasaan antar elit lokal sehingga menghasilkan
sentralisasi politik dikalangan elit tertentu yang kemudian tumbuh dan
berkembang menjadi dinasti.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar