Oleh : FATHARANY BERKAH ABDUL BARRY
Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Cabang Luwuk Banggai
Aksi unjuk rasa atau demonstrasi bukanlah
hal baru dalam negara demokrasi yang demokratis, bahkan unjuk rasa merupakan
salah satu instrument yang cukup efektif dalam menyampaikan aspirasi, dalam
konteks demokrasi penyampaian aspirasi merupakan upaya demokratisasi. Dimana
secara harfiah demokratisasi dapat diartikan sebagai proses untuk mencapai demokrasi. Sedangkan demokrasi secara familiar diamaknai sebagai pemerintahan
dari, oleh, dan untuk rakyat, artinya bahwa demokrasi merupakan sistem yang
bertumpu pada daulat rakyat, bukan daulat pemimpin, daulat pemerintah (negara),
atau dengan kata lain rakyat merupakan subyek dari segenap kegiatan yang
dikelola dan dijalankan oleh pemerintah. Dengan demikian maka motif substansial
dari pada aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh elemen rakyat merupakan bentuk
kesadaran kritis yang demokratis terhadap eksistensi rakyat sebagai pemegang
kedaulatan.Manifestasi dari kesadaran
kritis ini adalah lahirnya kekuatan-kekuatan oposisi yang dalam perspektif Jeff
Haynes disebut dengan“kelompok aksi”yang merefleksikan upaya masyarakat bawah untuk menyuarakan dan mengejar apa yang mereka pandang sebagai kepentingan mereka melalui usaha kolektif.
Sementara eksistensi mahasiswa adalah merupakan bagian integral dari rakyat yang dicitrakan sebagai komunitas intelektual yang memiliki kesadaran penuh akan makna demokrasi, dimana rakyat diposisikan sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai provider yang menjalankan fungsi civil service. Sehingga sebagai komunitas rakyat intelektual, mahasiswa mempunyai kesadaran kritis serta tanggung jawab besar terhadap kelangsungan peradaban rakyat pada khususnya dan Negara pada umumnya. Atas dasar kesadaran dan tanggung jawab itulah mahasiswa kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai oposan sejati dalam menentang setiap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, dengan filosofi suara mahasiswa adalah refresentasi dari suara rakyat kecil yang tertindas, dan itu merupakan suara kebenaran yang mutlak untuk diperjuangkan.
Sementara eksistensi mahasiswa adalah merupakan bagian integral dari rakyat yang dicitrakan sebagai komunitas intelektual yang memiliki kesadaran penuh akan makna demokrasi, dimana rakyat diposisikan sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai provider yang menjalankan fungsi civil service. Sehingga sebagai komunitas rakyat intelektual, mahasiswa mempunyai kesadaran kritis serta tanggung jawab besar terhadap kelangsungan peradaban rakyat pada khususnya dan Negara pada umumnya. Atas dasar kesadaran dan tanggung jawab itulah mahasiswa kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai oposan sejati dalam menentang setiap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, dengan filosofi suara mahasiswa adalah refresentasi dari suara rakyat kecil yang tertindas, dan itu merupakan suara kebenaran yang mutlak untuk diperjuangkan.
Sejarahpun mencatat, bahwa hampir
seluruh perubahan yang terjadi secara signifikan selama peradaban bangsa ini
sejak dari era orde lama Soekarno hingga era orde reformasi SBY-JK tidak
terlepas dari peran aktif mahasiswa sebagai agen
of change . Secara historis empiris,
aksi unjuk rasa di Indonesia yang dipelopori oleh mahasiswa disebabkan oleh
(1). Kemerosotan ekonomi, sehingga melahirkan kebijakan pemerintah sebagai
solusi alternative yang sering dipandang berada diluar jangkauan perasaan dan
aspirasi rakyat dan bahkan terkesan sangat tidak berpihak pada rakyat jelata,
(2). Hegemoni pemerintah (Negara) yang teramat besar kepada rakyat sehingga
menjurus pada otoritarianisme rezim. Ironisnya perjalanan sejarah pergerakan
mahasiswa di republik ini tak luput dari stigmatisasi politis aparat keamanan
yang didesain secara apik melalui manajemen konflik mereka. Kebiasaan untuk
menyederhanakan persoalan memang dapat dipahami, tapi tentunya bukan dijadikan
dalih untuk menghalalkan cara-cara animalis yang menciderai demokrasi dan
nilai-nilai kemanusiaan.
Perlawanan yang berbuah anarkisme secara kausalitas sesungguhnya memiliki motif dan indikator-indikator tertentu yang menjadi dasar argumentasi tindakan anarkis suatu kelompok perlawanan. Pada konteks ini, anarkisme mahasiswa dalam melakukan aksi unjuk rasa tentu memiliki motivasi yang melatari sehingga mahasiswa memandang bahwa tindakan anarkis itu perlu dilakukan. Semisal ada pertanyaan mengapa kami (mahasiswa) anarkis ?, maka secara simple jawabannya adalah “Kami Anarkis Karena “Bapak” ada dua kategori sosok bapak yang dimaksud penulis dalam catatan ini yaitu; pertama adalah “mereka para pemimpin pemerintahan” yang melakoni peran sebagai pengambil kebijakan (policy maker), dan kedua adalah “aparat keamanan” sebagai alat pengaman kebijakan (policy security). Sikap kedua kelompok “bapak” tersebut telah memicu semangat perlawan mahasiswa, sebagai akibat dari; (a). ketidakpekaan dan kurang responsifnya para pemimpin (pemerintah) dalam menanggapi dan merealisasikan aspirasi mereka berimplikasi pada kekecewaan mahasiswa yang justru makin menyuburkan militansi dan sikap anti pemerintah yang membias pada kian meningkatnya frekuensi aksi demonstrasi mahasiswa, (b). sikap eksesif aparat keamanan yang disertai dengan tindakan refresif berupa penyerangan dan pengrusakan kampus, pengeroyokan, penganiayaan, dan penangkapan para aktivis mahasiswa semakin meningkatkan solidaritas mahasiswa dan kian menyuburnya sikap antipati kepada aparat keamanan yang dianggap alat rezim yanhg sok moralis dan menggunakan jargon supremasi hukum sebagai identitas etisnya dalam penegakan hukum.
Perlawanan yang berbuah anarkisme secara kausalitas sesungguhnya memiliki motif dan indikator-indikator tertentu yang menjadi dasar argumentasi tindakan anarkis suatu kelompok perlawanan. Pada konteks ini, anarkisme mahasiswa dalam melakukan aksi unjuk rasa tentu memiliki motivasi yang melatari sehingga mahasiswa memandang bahwa tindakan anarkis itu perlu dilakukan. Semisal ada pertanyaan mengapa kami (mahasiswa) anarkis ?, maka secara simple jawabannya adalah “Kami Anarkis Karena “Bapak” ada dua kategori sosok bapak yang dimaksud penulis dalam catatan ini yaitu; pertama adalah “mereka para pemimpin pemerintahan” yang melakoni peran sebagai pengambil kebijakan (policy maker), dan kedua adalah “aparat keamanan” sebagai alat pengaman kebijakan (policy security). Sikap kedua kelompok “bapak” tersebut telah memicu semangat perlawan mahasiswa, sebagai akibat dari; (a). ketidakpekaan dan kurang responsifnya para pemimpin (pemerintah) dalam menanggapi dan merealisasikan aspirasi mereka berimplikasi pada kekecewaan mahasiswa yang justru makin menyuburkan militansi dan sikap anti pemerintah yang membias pada kian meningkatnya frekuensi aksi demonstrasi mahasiswa, (b). sikap eksesif aparat keamanan yang disertai dengan tindakan refresif berupa penyerangan dan pengrusakan kampus, pengeroyokan, penganiayaan, dan penangkapan para aktivis mahasiswa semakin meningkatkan solidaritas mahasiswa dan kian menyuburnya sikap antipati kepada aparat keamanan yang dianggap alat rezim yanhg sok moralis dan menggunakan jargon supremasi hukum sebagai identitas etisnya dalam penegakan hukum.
Doktrinasi terhadap subyektifitas kebenaran aparat keamanan sebagai
penegak hukum ini seolah-olah mutlak milik aparat kepolisian. Meskipun pada
aplikasinya seringkali mereka lakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum itu
sendiri, yang konon katanya sangat di junjung tinggi oleh mereka. Dalam konstelasi
seperti ini, ketidakpekaan dan apatisme pemerintah dalam merespon dan merealisasikan
tuntutan mahasiswa serta tindakan refresif aparat kepolisian pada mahasiswa
yang tidak manusiawi ini, kadonya adalah resistensi sebagai efek dari rentetan
kekecewaan mahasiswa kepada para pemimpin (pemerintah) dan aparat keamanan
(kepolisian) yang kemudian
dikompensasikan dalam bentuk tindakan anarkis.
Pemandangan
terhadap aksi demonstrasi mahasiswa dalam memperjuangan aspirasi masyarakat
kelas bawah yang sering berujung pada anarkisme dan tindakan refresif aparat
keamanan pada mahasiswa merupakan suatu kelaziman, anarkisme mahasiswa sering
dijadikan sebagai pemicu dan alasan pembenaran tindakan beringas aparat
keamanan. Sejumlah peristiwa tragis penangan aksi protes mahasiswa maupun
masyarakat kepada penguasa yang dilakukan oleh aparat keamanan baik itu
kepolisian maupun TNI cukup menjadi catatan hitam kebiadaban rezim Soeharto
serta aparat keamanan kita dalam mengatasi gejolak masyakat sipil yang hendak
menuntut keadilan, sebut saja beberapa peristiwa pergerakan mahasiswa dan
rakyat di negeri ini meninggalkan stigma dan elegi seperti tragedi Malari 1974,
Tanjung Priuk 1984, Semanggi I dan II 1998 serta Trisakti Mei 1998 yang
merupakan awal gerakan fenomenal reformasi yang berbutntut pada lengsernya
rezim otoritarian orde baru dan tewasnya Elang Mulya Lesmana cs sebagai
pahlawan reformasi. Memasuki era
reformasi yang merupakan simbol kebangkitan demokrasi di Indonesia setelah 32
tahun disandera, intensitas partisipasi rakyat dalam mengawal reformasi dan
demokratisasi semakin besar, terutama pada komunitas masyarakat intelektual
seperti mahasiswa.
Refleksi terhadap pengawalan reformasi dan demokratisasi dalam
memperjuangkan aspirasi rakyat terus dimanifestasikan dalam bentuk aksi-aksi
demonstrasi mahasiswa. Namun di era reformasi ini aksi-aksi mahasiswa masih
tidak luput dari kekerasan aparat keamanan. Lagi-lagi anarkisme mahasiswa
dijadikan apologi aparat dalam melegalkan tindakan refresif mereka, pemukulan,
penganiayaan, dan penyerbuan terhadap mahasiswa ke kampus-kampus dengan
menggunakan senjata api yang disertai pengrusakan fasilitas kampus, bagi aparat
keamanan merupakan bagian dari tindakan penegakan hukum, dalam kasus seperti
ini, banyak aktivis mahasiswa yang menjadi korban penculikan, penganiayaan dan
bahkan ada yang dipenjarakan dengan berbagai motif. Penyerangan kampus
Universitas Nasional oleh aparat keamanan pada hari Sabtu 24 Mei 2008
kemarin, dimana 75 orang mahasiswa ditahan, 7 diantaranya menurut Kepala Divisi
Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Abu Bakiar nataprawira dikenakan sanksi pidana
sesuai dengan pasal 170, 212, dan 214 KUHP tentang Pengrusakan, Pengeroyokan,
dan penggunaan narkoba. Anehnya pengeroyokan dimaksud adalah pengeroyokan
mahasiswa terhadap aparat keamanan atau pengrusakan yang dilakukan oleh
mahasiswa ketika terjadi chaos, sementara pengeroyokan terhadap mahasiswa dan
penyerangan kampus yang dilakukan oleh
aparat keamanan justru tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran hokum yang
juga layak untuk dipidanakan.
Potret kelabu
tersebut diatas menunjukan terjadinya polarisasi dan distorsi dalam penegakan
hukum oleh aparat keamanan, sebab jika segala tindakan yang dilakukan aparat
merupakan upaya dari penegakan supremasi
hukum atau palah namanya, sejatinya sebagai institusi penegak hukum yang
memiliki kedalaman pemahaman hukum, aparat keamanan semestinya melakukannya
dengan tetap menggunakan koridor hukum bukan malah melanggar hukum , karena
apapun alasannya reaksi mereka yang cenderung emosional dan brutal dalam
mengatasi maraknya aksi unjurasa mahasiswa di tanah air yang berakhir pada
pemukulan sewenang-wenang sebagaimana disaksikan pada tayangan media audio
visual tidak dibenarkan. Peristiwa
penyerangan kampus Universitas Haluoleo (UNHALU) Kendari akhir Maret lalu
dan sekarang terjadi di Universitas
Nasional (UNAS) Jakarta adalah rangkaian peristiwa kotemporer penanganan aksi unjuk
rasa (demonstrsi) mahasiswa adalah salah satu dari sekian bentuk pelanggaran
hukum yang dapat dijadikan sampel kegagalan aparat keamanan dalam melakukan
reformasi ditubuhnya. Seharusnya institusi penegak hukum, aparat keamanan harus
lebih bijak dan professional dalam menangani para pengunjuk rasa dengan
cara-cara yang proporsional, sebab aparat keamanan itu adalah community justice
bukan hanya sekedar refresif security. ***
NB; Catatan
ini sebelumnya pernah di publikasikan pada media massa LUWUK POST edisi 26 – 28
Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar