Selasa, 20 November 2012

KAMI ANARKIS KARENA “BAPAK”


Oleh : FATHARANY BERKAH ABDUL BARRY
Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Luwuk Banggai

    Aksi unjuk rasa atau demonstrasi bukanlah hal baru dalam negara demokrasi yang demokratis, bahkan unjuk rasa merupakan salah satu instrument yang cukup efektif dalam menyampaikan aspirasi, dalam konteks demokrasi penyampaian aspirasi merupakan upaya demokratisasi. Dimana secara harfiah demokratisasi dapat diartikan sebagai proses untuk mencapai demokrasi. Sedangkan demokrasi secara familiar diamaknai sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, artinya bahwa demokrasi merupakan sistem yang bertumpu pada daulat rakyat, bukan daulat pemimpin, daulat pemerintah (negara), atau dengan kata lain rakyat merupakan subyek dari segenap kegiatan yang dikelola dan dijalankan oleh pemerintah. Dengan demikian maka motif substansial dari pada aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh elemen rakyat merupakan bentuk kesadaran kritis yang demokratis terhadap eksistensi rakyat sebagai pemegang kedaulatan.Manifestasi dari kesadaran kritis ini adalah lahirnya kekuatan-kekuatan oposisi yang dalam perspektif Jeff Haynes disebut dengan“kelompok aksi”yang merefleksikan upaya masyarakat bawah untuk menyuarakan dan mengejar apa yang mereka pandang sebagai kepentingan mereka melalui usaha kolektif.               
    Sementara eksistensi mahasiswa adalah merupakan bagian integral dari rakyat yang dicitrakan sebagai komunitas intelektual yang memiliki kesadaran penuh akan makna demokrasi, dimana rakyat diposisikan sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai provider yang menjalankan fungsi civil service. Sehingga sebagai komunitas rakyat intelektual, mahasiswa mempunyai kesadaran kritis serta tanggung jawab besar terhadap kelangsungan peradaban rakyat pada khususnya dan Negara pada umumnya. Atas dasar kesadaran dan tanggung jawab itulah mahasiswa kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai oposan sejati dalam menentang setiap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, dengan filosofi suara mahasiswa adalah refresentasi dari suara rakyat kecil yang tertindas, dan itu merupakan suara kebenaran yang mutlak untuk diperjuangkan.
    Sejarahpun mencatat, bahwa hampir seluruh perubahan yang terjadi secara signifikan selama peradaban bangsa ini sejak dari era orde lama Soekarno hingga era orde reformasi SBY-JK tidak terlepas dari peran aktif mahasiswa sebagai agen of change .  Secara historis empiris, aksi unjuk rasa di Indonesia yang dipelopori oleh mahasiswa disebabkan oleh (1). Kemerosotan ekonomi, sehingga melahirkan kebijakan pemerintah sebagai solusi alternative yang sering dipandang berada diluar jangkauan perasaan dan aspirasi rakyat dan bahkan terkesan sangat tidak berpihak pada rakyat jelata, (2). Hegemoni pemerintah (Negara) yang teramat besar kepada rakyat sehingga menjurus pada otoritarianisme rezim. Ironisnya perjalanan sejarah pergerakan mahasiswa di republik ini tak luput dari stigmatisasi politis aparat keamanan yang didesain secara apik melalui manajemen konflik mereka. Kebiasaan untuk menyederhanakan persoalan memang dapat dipahami, tapi tentunya bukan dijadikan dalih untuk menghalalkan cara-cara animalis yang menciderai demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan.
     Perlawanan yang berbuah anarkisme secara kausalitas sesungguhnya memiliki motif dan indikator-indikator tertentu yang menjadi dasar argumentasi tindakan anarkis suatu kelompok perlawanan. Pada konteks ini, anarkisme mahasiswa dalam melakukan aksi unjuk rasa tentu memiliki motivasi yang melatari sehingga mahasiswa memandang bahwa tindakan anarkis itu perlu dilakukan. Semisal ada pertanyaan mengapa kami (mahasiswa) anarkis ?, maka secara simple jawabannya adalah “Kami Anarkis Karena “Bapak” ada dua kategori sosok bapak yang dimaksud penulis dalam catatan ini yaitu; pertama adalah “mereka para pemimpin pemerintahan” yang melakoni peran sebagai pengambil kebijakan (policy maker), dan kedua adalah  “aparat keamanan” sebagai alat pengaman kebijakan (policy security). Sikap kedua kelompok  “bapak” tersebut telah memicu semangat perlawan mahasiswa, sebagai akibat dari; (a). ketidakpekaan dan kurang responsifnya para pemimpin (pemerintah) dalam menanggapi dan merealisasikan aspirasi mereka berimplikasi pada kekecewaan mahasiswa yang justru makin menyuburkan militansi dan sikap anti pemerintah yang membias pada kian meningkatnya frekuensi aksi demonstrasi mahasiswa, (b). sikap eksesif aparat keamanan yang disertai dengan tindakan refresif berupa penyerangan dan pengrusakan kampus, pengeroyokan, penganiayaan, dan penangkapan para aktivis mahasiswa semakin meningkatkan solidaritas mahasiswa dan kian menyuburnya sikap antipati kepada aparat keamanan yang dianggap alat rezim yanhg sok moralis dan menggunakan jargon supremasi hukum sebagai identitas etisnya dalam penegakan hukum.
     Doktrinasi terhadap subyektifitas kebenaran aparat keamanan sebagai penegak hukum ini seolah-olah mutlak milik aparat kepolisian. Meskipun pada aplikasinya seringkali mereka lakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum itu sendiri, yang konon katanya sangat di junjung tinggi oleh mereka. Dalam konstelasi seperti ini, ketidakpekaan dan apatisme pemerintah dalam merespon dan merealisasikan tuntutan mahasiswa serta tindakan refresif aparat kepolisian pada mahasiswa yang tidak manusiawi ini, kadonya adalah resistensi sebagai efek dari rentetan kekecewaan mahasiswa kepada para pemimpin (pemerintah) dan aparat keamanan (kepolisian)  yang kemudian dikompensasikan dalam bentuk tindakan anarkis.
    Pemandangan terhadap aksi demonstrasi mahasiswa dalam memperjuangan aspirasi masyarakat kelas bawah yang sering berujung pada anarkisme dan tindakan refresif aparat keamanan pada mahasiswa merupakan suatu kelaziman, anarkisme mahasiswa sering dijadikan sebagai pemicu dan alasan pembenaran tindakan beringas aparat keamanan. Sejumlah peristiwa tragis penangan aksi protes mahasiswa maupun masyarakat kepada penguasa yang dilakukan oleh aparat keamanan baik itu kepolisian maupun TNI cukup menjadi catatan hitam kebiadaban rezim Soeharto serta aparat keamanan kita dalam mengatasi gejolak masyakat sipil yang hendak menuntut keadilan, sebut saja beberapa peristiwa pergerakan mahasiswa dan rakyat di negeri ini meninggalkan stigma dan elegi seperti tragedi Malari 1974, Tanjung Priuk 1984, Semanggi I dan II 1998 serta Trisakti Mei 1998 yang merupakan awal gerakan fenomenal reformasi yang berbutntut pada lengsernya rezim otoritarian orde baru dan tewasnya Elang Mulya Lesmana cs sebagai pahlawan reformasi.  Memasuki era reformasi yang merupakan simbol kebangkitan demokrasi di Indonesia setelah 32 tahun disandera, intensitas partisipasi rakyat dalam mengawal reformasi dan demokratisasi semakin besar, terutama pada komunitas masyarakat intelektual seperti mahasiswa.
     Refleksi terhadap pengawalan reformasi dan demokratisasi dalam memperjuangkan aspirasi rakyat terus dimanifestasikan dalam bentuk aksi-aksi demonstrasi mahasiswa. Namun di era reformasi ini aksi-aksi mahasiswa masih tidak luput dari kekerasan aparat keamanan. Lagi-lagi anarkisme mahasiswa dijadikan apologi aparat dalam melegalkan tindakan refresif mereka, pemukulan, penganiayaan, dan penyerbuan terhadap mahasiswa ke kampus-kampus dengan menggunakan senjata api yang disertai pengrusakan fasilitas kampus, bagi aparat keamanan merupakan bagian dari tindakan penegakan hukum, dalam kasus seperti ini, banyak aktivis mahasiswa yang menjadi korban penculikan, penganiayaan dan bahkan ada yang dipenjarakan dengan berbagai motif. Penyerangan kampus Universitas Nasional oleh aparat keamanan pada hari Sabtu 24 Mei 2008 kemarin, dimana 75 orang mahasiswa ditahan, 7 diantaranya menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Abu Bakiar nataprawira dikenakan sanksi pidana sesuai dengan pasal 170, 212, dan 214 KUHP tentang Pengrusakan, Pengeroyokan, dan penggunaan narkoba. Anehnya pengeroyokan dimaksud adalah pengeroyokan mahasiswa terhadap aparat keamanan atau pengrusakan yang dilakukan oleh mahasiswa ketika terjadi chaos, sementara pengeroyokan terhadap mahasiswa dan penyerangan kampus  yang dilakukan oleh aparat keamanan justru tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran hokum yang juga layak untuk dipidanakan.
    Potret kelabu tersebut diatas menunjukan terjadinya polarisasi dan distorsi dalam penegakan hukum oleh aparat keamanan, sebab jika segala tindakan yang dilakukan aparat merupakan upaya  dari penegakan supremasi hukum atau palah namanya, sejatinya sebagai institusi penegak hukum yang memiliki kedalaman pemahaman hukum, aparat keamanan semestinya melakukannya dengan tetap menggunakan koridor hukum bukan malah melanggar hukum , karena apapun alasannya reaksi mereka yang cenderung emosional dan brutal dalam mengatasi maraknya aksi unjurasa mahasiswa di tanah air yang berakhir pada pemukulan sewenang-wenang sebagaimana disaksikan pada tayangan media audio visual tidak dibenarkan.  Peristiwa penyerangan kampus Universitas Haluoleo (UNHALU) Kendari akhir Maret lalu dan  sekarang terjadi di Universitas Nasional (UNAS) Jakarta adalah rangkaian peristiwa kotemporer penanganan aksi unjuk rasa (demonstrsi) mahasiswa adalah salah satu dari sekian bentuk pelanggaran hukum yang dapat dijadikan sampel kegagalan aparat keamanan dalam melakukan reformasi ditubuhnya. Seharusnya institusi penegak hukum, aparat keamanan harus lebih bijak dan professional dalam menangani para pengunjuk rasa dengan cara-cara yang proporsional, sebab aparat keamanan itu adalah community justice bukan hanya sekedar refresif security. ***

NB; Catatan ini sebelumnya pernah di publikasikan pada media massa LUWUK POST edisi 26 – 28 Mei 2008