Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry
(Sekretaris Jenderal Pemuda
Montolutusan Banggai)
Rivalitas antara kontestan
politik pada pemilukada Kabupaten Banggai yang dihelat 6 April lalu menyisakan
polimik yang cukup menggelitik logika publik yang rasional. Mulai dari saling
klaim kemenangan, ketidakpuasan dan gugatan atas hasil akhir Pemilukada hingga
klaim ketersinggungan masyarakat adat Banggai terhadap pernyataan Murad Husain
beberapa waktu lalu yang dinilai menghina dan melecehkan Hideo Amir, salah
seorang tokoh adat Banggai yang selama ini mengklaim diri dan diklaim oleh
mereka yang kurang memahami sistem, struktur
tata pemerintahan, serta mekanisme dalam adat Banggai sebagai Tomundo
(Raja) Banggai yang merupakan simbol Batomundoan adat Banggai.
Basic problemnya sesunggunya
sederhana yaitu berangkat dari ketidak puasan sekelompok orang atas hasil
Pemilukada Banggai yang sebelumnya di manag
dengan isu politik terkait indikasi kecurangan politik lalu dibiaskan ke isue
SARA dan ketersinggungan adat Banggai
yang dimanifestasikan dalam bentuk rekomendasi pengusiran kepada sesama Warga
Negara Indonesia atas nama Lembaga Adat Banggai yang disertai pressure massa.
Namun dibalik polemik ini, ada sisi yang menarik bagi penulis untuk dibedah
berkaitan dengan KETERSINGGUNGAN MASYARAKAT ADAT atas pernyataan menyentil
Murad Husain kepada tokoh adat Hideo Amir. Outputnya adalah merasionalisasikan
publik tentang pantas atau tidaknya kita sebagai masyarakat adat babasal untuk
tersinggung dan ikut marah terhadap sentilan tersebut berdasarkan referensi
fakta sejarah dan telaah konseptual hukum formil Batomundoan adat Banggai yang
meliputi pembedahan aspek referensi
historis dan rasio ketersinggungan berupa klarifikasi, siapa Tomundo Banggai
yang sah dan siapa Lembaga Adat Banggai yang legal dan memiliki legitimasi
konstitusional dalam Batomundoan Adat Banggai, termasuk legitimasi pemberian
sanksi pengusiran pada seseorang yang dianggap menghina dan melecehkan adat
Banggai.
ASPEK REFERENSI
HISTORIS
Babakan sejarah peradaban
Batomundoan (kerajaan) Banggai dibagi dalam dua fase peradaban yaitu fase
Kerajaan Banggai klasik dan fase Kerajaan Banggai moderen. Fase peradaban
Kerajaan Banggai klasik diperkirakan sekitar abad ke 13-14 masehi. Menurut
Dr.Alb.C.Kruyt dalam studinya De Vorsten van Banggai (terjemahan), kerajaan
Banggai kala itu dipimpin oleh seorang raja yang bergelar ADI dengan didampingi
empat orang dewan penasehat bagi ADI yang bergelar TOMUNDO SANGKAP yang
masing-masing mempunyai wilayah kekuasaan tertentu yaitu Olu, Lombongan,
Singgolok dan Kokini. Secara berturut-turut disebut empat orang Adi yang memerintah
sebelum seorang Adi Lambal Polambal memerintah sebagai raja terakhir pada fase
Kerajaan Banggai klasik. Sedangkan fase
kerajaan Banggai moderen dimulai dari Adi Cokro
yang bergelar Mumbu Doi Jawa, setelah melalui proses transisi
kepemimpinan secara damai dari Adi Lambal Polambal ke Mbumbu Doi Jawa.
Dalam peradaban kerajaan
Banggai telah dikenal struktur tata pemerintahan yang demokratis sejak lama
secara turun temurun yang terdiri dari unsur eksekutif dan legislatif. Dimana
Tomundo (Raja) sebagai pucuk pimpinanan kekuasaan kerajaan dalam melaksanakan
tugasnya dibantu oleh empat orang staff eksekutif atau dewan menteri yang
dikenal dengan sebutan KOMISI SANGKAP yang terdiri dari : (1). Mayor Ngopa atau
Raja Muda; (2). Kapitan Laut atau Kepala Angkatan Perang; (3), Jogugu atau
Menteri Dalam Negeri; (4). Hakim Tua atau Pengadilan. Komisi empat ini ditunjuk
dan diangkat oleh raja yang sedang bertahta.
Sedangkan sebagai Badan
Legislatif atau Dewan Penasehat adalah empat Pau Basal yang sekarang disebut BASALO
SANGKAP yaitu (1).Basalo Babolau (Doduung); (2). Basalo Kokini
(Tanobonunungan); (3). Basalo Singgolok (Monsongan); (4). Basalo Katapean
(Gonggong). Basalo Sangkap ini di ketuai oleh Basalo Babolau yang bertugas
melakukan pemilihan dan pelantikan setiap bangsawan untuk menjadi raja, yang
pengukuhannya dilakukan di hadapan Basalo Sangkap, lalu selanjutnya
meriwayatkan secara teratur sejarah raja-raja Banggai secara berurut, kemudian
disebutkan calon raja yang akan dilantik dan kepadanya dipakaikan mahkota
kerajaan. Dengan demikian raja tersebut akan resmi menjadi raja pemimpin
kerajaan Banggai. Keempat Basalo ini sangat dihormati oleh Raja dan para
penerusnya, memiliki pengaruh yang sama luasnya dengan kekuasaan Raja.
Dewan penasihat atau Basalo Sangkap ini sesungguhnya merupakan pendiri sejati
Kerajaan Banggai, dimana eksistensi dan kapasitas mereka sebagai dewan
penasehat bagi raja telah ada secara turun temurun sejak kerajaan Banggai
klasik, sebelum datangnya seorang Adi Cokro yang dianggap sebagai pendiri
kerajaan Banggai moderen. Dimana dahulu diera kerajaan Banggai klasik para
leluhur mereka dikenal dengan gelar TOMUNDO SANGKAP atau empat raja yang
masing-masing mempunyai wilayah kekuasaan tertentu yaitu Olu atau Babolau,
Lombongan atau Katapean, Singgolok dan Kokini, sehingga orang bicara Tomundo
dari Olu/Babolau, Lombongan/Katapean, Singgolok dan Kokini. Namun dalam struktur kerajaan Banggai klasik
kala itu kedudukan Tomundo sangkap lebih rendah dari ADI, dimana Tomundo
Sangkap merupakan dewan penasehat bagi ADI . Gelar Tomundo sangkap bagi dewan
penasihat raja ini berubah pada masa kerajaan Banggai moderen ketika Adi Cokro
yang bergelar MBUMBU, mengganti julukan Tomundo Sangkap bagi para dewan
penasehat dengan yang lebih rendah dari gelar Tomundo, namun merupakan gelar
kehormatan kepada keempat penasehat dengan sebutan PAU BASAL, disebut gelar
kehormatan karena membentuk hubungan seperti anak-bapak antara MBUMBU (raja)
dan keempat dewan penasehat. Selanjutnya gelar PAU BASAL berkembang menjadi BASALO
SANGKAP istilah yang kita kenal sekarang. Begitu halnya dengan gelar raja di
era kerajaan Banggai moderen mulai dari
Adi Cokro,Mandapar sampai ke Nurdin Daud, gelar bagi raja yang digunakan adalah
MBUMBU dan TOMUNDO, hanya saja gelar MBUMBU selalu di kombinasikan dengan
tempat sang raja meninggal dunia dan dikubur seperti Raja Mbulang Mbumbu Doi
Balantak berarti raja yang meninggal di Balantak, kemudian Adi Cokro Mbumbu Doi
Jawa atau Raja yang meninggal di Jawa dll.
Tercatat sebagai Tomundo
Banggai 20 terakhir yang legal pada fase kerajaan Banggai moderen adalah
Tomundo Nurdin Daud yang dikukuhkan oleh
Basalo Sangkap pada usia 12 tahun kala raja Awaludin mangkat. Namun karena
usianya yang teramat belia dan dianggap belum cakap dan mampu melaksanakan tugas
pemerintahan maka ditunjuklah Mayor Ngofa kala itu yakni Syukuran Aminudin Amir
untuk menjabat sebagai pelaksana harian Tomundo Banggai dengan ketentuan sampai
Raja Nurdin Daud dewasa dan dapat melaksanakan tanggungjawabnya sebagai Tomundo
Banggai. Namun sayangnya amanat sementara itu justru dibajak secara
inkonstitusional karena tanpa restu dari raja muda Nurdin Daud dan Dewan
Penasehat Basalo Sangkap.
Sedangkan pada fase kekinian
pasca penghapusan sistem swapraja Banggai, keberadaan Batomundoan Banggai
hanyalah merupakan upaya konkrit untuk melestarikan budaya Banggai. Sehingga
kurang tepatlah kiranya jika sekarng kita menggunakan terminologi Batomundoan
Banggai (kerajaan Banggai), tetapi yang tepat adalah Batomundoan Adat Banggai
(Adat Kerajaan Banggai) karena era sekarang bukanlah era masa lampau melainkan
hanya era yang mereflesikan kearifan masa lampau demi tujuan pelestarian adat
dan budaya. tetapi dengan cara penggunaan mekanisme dan atribut-atribut budaya
dan adat masa lampau. Inilah yang sekarang sebagai simbol sejati adat Babasal.
Dimana yang dinobatkan sebagai Tomundo Banggai yang merupakan simbol dan
pemimpin adat banggai adalah tomundo yang dikukuhkan sesuai tatacara pengukuhan
raja-raja banggai sebelumnya. Seperti pengukuhan tomundo Iskandar Awaludin
Zaman sebagai pengganti Raja Banggai sejati (era kerajaan) Nurdin Daud.
Kemudian ia diagantikan oleh puteranya Moh.Fikran Zaman sebagai simbol dan
pemimpin adat Babasal yang ke 22. Namun karena masih muda dan sedang menuntut
ilmu maka ditunjuklah Irwan Zaman sebagai Tomundo Batomundoan adat Banggai yang
legal. Olehnya itu maka dapat disimpulkan bahwa Tomundo sebagai pemimpin dan
simbol adat yang sah dan legal sesuai dengan mekanisme keadatan adalah
Moh.Fikran zaman/Plt Irwan Zaman bukan Moh.Chair Amir atau Hideo Amir. Sama
seperti Raja Banggai terakhir bukan Syukuran Aminudin Amir melainkan Nurdin
Daud.
ASPEK RASIO KETERSINGGUNGAN
Penggalan sejarah diatas
jelas menguraikan bagaimana struktur,peran dan fungsi serta mekanisme rotasi
kepemimpinan dalam Batomundoan Banggai. Dimana seorang Tomundo (Raja) Banggai
yang sah dan legal secara konstitusional dalam Batomundoan Banggai ketika
dikukuhkan oleh Basalo Sangkap selaku pihak yang memiliki kewenangan prerogatif
untuk mengangkat dan melantik raja-raja Banggai.
Sehingga ketika kita bicara
tentang Tomundo yang legal sebagai simbol masyarakat adat Babasal atau sebagai
simbol Batomundoan Adat Banggai, maka akan memantik logika nakal kita untuk
mengorek, soal keabsahan Tomundo dan kepantasan kita untuk turut tersinggung
apabiala ada pelecehan terhadap simbol-simbol adat. filterisasi tentang esensi
legalitas dan kepatutan eksitensi dari simbol-simbol tersebut perlu dilakukan
untuk mengantar kita pada kebenaran sejarah, sehingga nantinya akan sangat
logis untuk kita merasa perlu tersinggung atau tidak dalam kapasitas kita
sebagai masyarakat adat. Sebab jika kita tidak melihat dari sisi yang paling
ideal dan logis pada konteks mekanisme dan aturan formil adat, maka akan sangat
prematur dan rancu bila kita langsung menjustification bahwa sikap dan
pernyataan seseorang yang bersinggungan dengan obyek sentilan secara pribadi
adalah penghinaan dan pelecehan adat, lantas kitapun marah dan berkesimpulan
pula bahwa itu adalah penghinaan adat secara masif, apalagi sampai kita
mengeluarkan sanksi pengusiran kepada seseorang. Sementara obyek sentilan yang
kita figurkan sebagai simbol adat itu tidak memiliki kapasitas adat yang jelas
apalagi legal, artinya:
Pertama;
Kalau
ada seseorang yang divonis telah menghina dan melecehkan adat Banggai lantas
diberikan sanksi pengusiran dari wilayah hukum adat Banggai, maka tentunya
harus dillakukan sesuai dengan mekanisme pengambilan kebijakan adat yang baik
dan benar berdasarkan ketentuan adat yang baku. Sehingga sikap dan reaksi kita dalam
menyikapi hal-hal tersibut tidak mencideari nilai-nilai keadatan itu sendiri,
jangan sampai kita merasa marah kepada mereka yang meludahi adat tetapi kita
juga sebagai putera daerah yang mengaku tau adat justru adalah orang yang
senang dan sering mengingkari adat.
Harusnya sanksi pengusiran
dari wilayah hukum adat Banggai baru dapat dikenakan kepada sesorang dengan
alasan-alasan yang sangat logis dan mendasar, dengan terlebih dahulu
mempertimbangkan kadar kesalahan seseorang yang dalam hukum adat Banggai
disebut “Molokis-Lokis Tano” dimana seseorang dipandang telah berkhianat dan
melakukan kesalah besar yang tidak bisa diampuni, sehingga harus dibuang
bimbang dan diusir paksa meninggalkan tanah Banggai, Akan tetapi ketika
seseorang telah banyak melakukan pengabdian dan membangun tanah adat Banggai
maka tidak ada alasan untuk melakukan pengusiran terhadapnya. Sebagaimana
diungkapkan oleh Ketua Lembaga Adat Banggai (LAB) Hamsen B.Kuat dalan nota
penjelasan LAB beberapa wakttu lalu yang dilansir oleh media massa 25 April
lalu.
Kalaupun toh sanksi
pengusiran itu pantas dan harus diberikan kepada seseorang karena telah
terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindakan molokis lokis tano, maka
keputusan eksekusi itu merupakan domain Dewan Adat yang terdiri dari TOMUNDO
(inklut staf eksekutifnya/komisi Sangkap) dan BASALO SANGKAP tentunya melalui
proses pengkajian dalam SEBA (Musyawarah) Dewan Adat Batomundoan Adat Banggai.
Sebab jika bicara tentang perangkat adat yang legitimate, maka kedua komponen
inilah sumber kebijakan adat yang final pada setiap pengambilan keputusan adat
yang strategis dan urgen. Konkritnya
sanksi pengusiran kepada Murad Husain dan Herwin Yatim dari wilayah hukum adat
Banggai hanya dapat dilakukan dan dinyatakan syah serta memiliki kekuatan hukum
adat apabila direkomendasikan oleh mereka yang berkompeten yaitu Tomundo dan
Basalo Sangkap, dengan demikian maka rekomendasi sanksi pengsiran kepada Murad
Husain dan Herwin Yatim yang dilakukan oleh Lembaga Adat Banggai yang
ditandatangani oleh unsur lembaga adat tersebut sangat irasional dan tidak
berdasar.
Kedua; Kalau toh ada
sindiran seseorang secara lisan terhadap figur tokoh adat Banggai Hideo Amir dengan menggunakan kosakata Anak
Selir, Ko dan lain sebagainya, maka juga sangat prematur untuk kemudian kita
terjemahkan sebagai bentuk penghinaan dan pelecehan kepada sosok Tomundo
Banggai, apalagi sampai kita mengeksplorasinya menjadi isu penghinaan adat dan
masyarakat Babasal. Tanpa telaah obyektif tentang kapasitas dan legalitas pihak
yang difigurkan sebagai Tomundo Banggai sesuai dengan ketentuan konstitusional
Batomundoan adat Banggai yang baku. Sebab Tomundo atau Raja Banggai yang sah
dan legal hanyalah mereka yang terlegitimasi sesuai dengan mekanisme yang
benar. idealnya kita bisa mengatakan bahwa pernyataan itu merupakan bentuk
penghinaan terhadap icon masyarakat adat Babasal, jika figur yang disindir atau
dilecehkan itu adalah benar-benar
Tomundo Banggai. Tetapi bila yang dilecehkan hanyalah icon imitasi, maka sangat
tidak tepat kalau kita masyarakat adat Banggai (Babasal) menilai bahwa itu
adalah penghinaan terhadap simbol adat Banggai dan kita patut tersinggung dan
marah.
Ketiga; ketika kita harus
marah dan turun ke jalan meneriakan ketersinggungan itu, dengan mengatasnamakan
koalisi masyarakat adat Babasal atau apapun nama frontnya, pertanyaannya apakah
iya sikap itu telah merefrentasikan ketersinggungan publik adat Banggai yang
meliputi Adat Banggai, Balantak dan Saluan secara kolektif, ataukah hanya
merupakan refrensentasi dari salah satu komponen masyakat adat tersebut ?.
Apakah benar komunitas masyarakat adat Banggai yang mayoritas berada di wilayah
Banggai Banggai Kepulauan turut merasa tersinggung, apakah juga benar mayoritas
masyarakat adat Balantak dan Saluan juga merasa tersinggung ?, kalau jawabannya
iya maka sah-sah kita menyampaikan aspirasi didepan publik dengan cara seperti
itu, karena hal tersebut merupakan hak konstitusional kita sebagai Warga Negara
Indonesia dialam demokrasi seperti ini. Tetapi
kalau jawabannya tidak, maka sangat tidak elegan kiranya ketika kita
harus mengatasnamakan ketersinggungan masyarakat adat Babasal secara kolektif
demi melegalisasi ketidak puasan dan ketersinggungan pribadi atau kelompok
orang tertentu yang bermotif pilitis.
Semestinya
kalau memang pernyataan Murad Husain yang ditujukan kepada Hideo Amir atau
pihak mereka yang merasa orang istana, berindikasi melanggar hukum, maka kasus
yang dianggap melecehkan tersebut harusnya dibawah kerana hukum positif dengan
dalil pengaduan berupa perbuatan tidak menyenangkan atau pencemaran nama baik.
***
NB:
Catatan ini sebelumnya pernah dipublikasikan pada media massa local (Luwuk
Post) edisi 8 -13 Juni 2011