Kamis, 17 Januari 2013

PANTASKAH KITA TERSINGGUNG ? (Telaah kritis Atas Ketersinggungan Masyarakat Adat)


Oleh : Fatharany Berkah Abdul Barry
(Sekretaris Jenderal Pemuda Montolutusan Banggai)

Rivalitas antara kontestan politik pada pemilukada Kabupaten Banggai yang dihelat 6 April lalu menyisakan polimik yang cukup menggelitik logika publik yang rasional. Mulai dari saling klaim kemenangan, ketidakpuasan dan gugatan atas hasil akhir Pemilukada hingga klaim ketersinggungan masyarakat adat Banggai terhadap pernyataan Murad Husain beberapa waktu lalu yang dinilai menghina dan melecehkan Hideo Amir, salah seorang tokoh adat Banggai yang selama ini mengklaim diri dan diklaim oleh mereka yang kurang memahami sistem, struktur  tata pemerintahan, serta mekanisme dalam adat Banggai sebagai Tomundo (Raja) Banggai yang merupakan simbol Batomundoan adat Banggai. 
Basic problemnya sesunggunya sederhana yaitu berangkat dari ketidak puasan sekelompok orang atas hasil Pemilukada Banggai yang sebelumnya di manag dengan isu politik terkait indikasi kecurangan politik lalu dibiaskan ke isue SARA dan  ketersinggungan adat Banggai yang dimanifestasikan dalam bentuk rekomendasi pengusiran kepada sesama Warga Negara Indonesia atas nama Lembaga Adat Banggai yang disertai pressure massa. Namun dibalik polemik ini, ada sisi yang menarik bagi penulis untuk dibedah berkaitan dengan KETERSINGGUNGAN MASYARAKAT ADAT atas pernyataan menyentil Murad Husain kepada tokoh adat Hideo Amir. Outputnya adalah merasionalisasikan publik tentang pantas atau tidaknya kita sebagai masyarakat adat babasal untuk tersinggung dan ikut marah terhadap sentilan tersebut berdasarkan referensi fakta sejarah dan telaah konseptual hukum formil Batomundoan adat Banggai yang meliputi pembedahan aspek  referensi historis dan rasio ketersinggungan berupa klarifikasi, siapa Tomundo Banggai yang sah dan siapa Lembaga Adat Banggai yang legal dan memiliki legitimasi konstitusional dalam Batomundoan Adat Banggai, termasuk legitimasi pemberian sanksi pengusiran pada seseorang yang dianggap menghina dan melecehkan adat Banggai.

ASPEK REFERENSI HISTORIS  
         
Babakan sejarah peradaban Batomundoan (kerajaan) Banggai dibagi dalam dua fase peradaban yaitu fase Kerajaan Banggai klasik dan fase Kerajaan Banggai moderen. Fase peradaban Kerajaan Banggai klasik diperkirakan sekitar abad ke 13-14 masehi. Menurut Dr.Alb.C.Kruyt dalam studinya De Vorsten van Banggai (terjemahan), kerajaan Banggai kala itu dipimpin oleh seorang raja yang bergelar ADI dengan didampingi empat orang dewan penasehat bagi ADI yang bergelar TOMUNDO SANGKAP yang masing-masing mempunyai wilayah kekuasaan tertentu yaitu Olu, Lombongan, Singgolok dan Kokini. Secara berturut-turut disebut empat orang Adi yang memerintah sebelum seorang Adi Lambal Polambal memerintah sebagai raja terakhir pada fase Kerajaan Banggai klasik.  Sedangkan fase kerajaan Banggai moderen dimulai dari Adi Cokro  yang bergelar Mumbu Doi Jawa, setelah melalui proses transisi kepemimpinan secara damai dari Adi Lambal Polambal ke Mbumbu Doi Jawa.
Dalam peradaban kerajaan Banggai telah dikenal struktur tata pemerintahan yang demokratis sejak lama secara turun temurun yang terdiri dari unsur eksekutif dan legislatif. Dimana Tomundo (Raja) sebagai pucuk pimpinanan kekuasaan kerajaan dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh empat orang staff eksekutif atau dewan menteri yang dikenal dengan sebutan KOMISI SANGKAP yang terdiri dari : (1). Mayor Ngopa atau Raja Muda; (2). Kapitan Laut atau Kepala Angkatan Perang; (3), Jogugu atau Menteri Dalam Negeri; (4). Hakim Tua atau Pengadilan. Komisi empat ini ditunjuk dan diangkat oleh raja yang sedang bertahta.
Sedangkan sebagai Badan Legislatif atau Dewan Penasehat adalah empat Pau Basal yang sekarang disebut BASALO SANGKAP yaitu (1).Basalo Babolau (Doduung); (2). Basalo Kokini (Tanobonunungan); (3). Basalo Singgolok (Monsongan); (4). Basalo Katapean (Gonggong). Basalo Sangkap ini di ketuai oleh Basalo Babolau yang bertugas melakukan pemilihan dan pelantikan setiap bangsawan untuk menjadi raja, yang pengukuhannya dilakukan di hadapan Basalo Sangkap, lalu selanjutnya meriwayatkan secara teratur sejarah raja-raja Banggai secara berurut, kemudian disebutkan calon raja yang akan dilantik dan kepadanya dipakaikan mahkota kerajaan. Dengan demikian raja tersebut akan resmi menjadi raja pemimpin kerajaan Banggai. Keempat Basalo ini sangat dihormati oleh Raja dan para penerusnya, memiliki pengaruh yang sama luasnya dengan kekuasaan Raja.
Dewan penasihat atau Basalo Sangkap  ini sesungguhnya merupakan pendiri sejati Kerajaan Banggai, dimana eksistensi dan kapasitas mereka sebagai dewan penasehat bagi raja telah ada secara turun temurun sejak kerajaan Banggai klasik, sebelum datangnya seorang Adi Cokro yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Banggai moderen. Dimana dahulu diera kerajaan Banggai klasik para leluhur mereka dikenal dengan gelar TOMUNDO SANGKAP atau empat raja yang masing-masing mempunyai wilayah kekuasaan tertentu yaitu Olu atau Babolau, Lombongan atau Katapean, Singgolok dan Kokini, sehingga orang bicara Tomundo dari Olu/Babolau, Lombongan/Katapean, Singgolok dan Kokini.  Namun dalam struktur kerajaan Banggai klasik kala itu kedudukan Tomundo sangkap lebih rendah dari ADI, dimana Tomundo Sangkap merupakan dewan penasehat bagi ADI . Gelar Tomundo sangkap bagi dewan penasihat raja ini berubah pada masa kerajaan Banggai moderen ketika Adi Cokro yang bergelar MBUMBU, mengganti julukan Tomundo Sangkap bagi para dewan penasehat dengan yang lebih rendah dari gelar Tomundo, namun merupakan gelar kehormatan kepada keempat penasehat dengan sebutan PAU BASAL, disebut gelar kehormatan karena membentuk hubungan seperti anak-bapak antara MBUMBU (raja) dan keempat dewan penasehat. Selanjutnya gelar PAU BASAL berkembang menjadi BASALO SANGKAP istilah yang kita kenal sekarang. Begitu halnya dengan gelar raja di era kerajaan Banggai moderen  mulai dari Adi Cokro,Mandapar sampai ke Nurdin Daud, gelar bagi raja yang digunakan adalah MBUMBU dan TOMUNDO, hanya saja gelar MBUMBU selalu di kombinasikan dengan tempat sang raja meninggal dunia dan dikubur seperti Raja Mbulang Mbumbu Doi Balantak berarti raja yang meninggal di Balantak, kemudian Adi Cokro Mbumbu Doi Jawa atau Raja yang meninggal di Jawa dll.
Tercatat sebagai Tomundo Banggai 20 terakhir yang legal pada fase kerajaan Banggai moderen adalah Tomundo Nurdin Daud  yang dikukuhkan oleh Basalo Sangkap pada usia 12 tahun kala raja Awaludin mangkat. Namun karena usianya yang teramat belia dan dianggap belum cakap dan mampu melaksanakan tugas pemerintahan maka ditunjuklah Mayor Ngofa kala itu yakni Syukuran Aminudin Amir untuk menjabat sebagai pelaksana harian Tomundo Banggai dengan ketentuan sampai Raja Nurdin Daud dewasa dan dapat melaksanakan tanggungjawabnya sebagai Tomundo Banggai. Namun sayangnya amanat sementara itu justru dibajak secara inkonstitusional karena tanpa restu dari raja muda Nurdin Daud dan Dewan Penasehat Basalo Sangkap.
Sedangkan pada fase kekinian pasca penghapusan sistem swapraja Banggai, keberadaan Batomundoan Banggai hanyalah merupakan upaya konkrit untuk melestarikan budaya Banggai. Sehingga kurang tepatlah kiranya jika sekarng kita menggunakan terminologi Batomundoan Banggai (kerajaan Banggai), tetapi yang tepat adalah Batomundoan Adat Banggai (Adat Kerajaan Banggai) karena era sekarang bukanlah era masa lampau melainkan hanya era yang mereflesikan kearifan masa lampau demi tujuan pelestarian adat dan budaya. tetapi dengan cara penggunaan mekanisme dan atribut-atribut budaya dan adat masa lampau. Inilah yang sekarang sebagai simbol sejati adat Babasal. Dimana yang dinobatkan sebagai Tomundo Banggai yang merupakan simbol dan pemimpin adat banggai adalah tomundo yang dikukuhkan sesuai tatacara pengukuhan raja-raja banggai sebelumnya. Seperti pengukuhan tomundo Iskandar Awaludin Zaman sebagai pengganti Raja Banggai sejati (era kerajaan) Nurdin Daud. Kemudian ia diagantikan oleh puteranya Moh.Fikran Zaman sebagai simbol dan pemimpin adat Babasal yang ke 22. Namun karena masih muda dan sedang menuntut ilmu maka ditunjuklah Irwan Zaman sebagai Tomundo Batomundoan adat Banggai yang legal. Olehnya itu maka dapat disimpulkan bahwa Tomundo sebagai pemimpin dan simbol adat yang sah dan legal sesuai dengan mekanisme keadatan adalah Moh.Fikran zaman/Plt Irwan Zaman bukan Moh.Chair Amir atau Hideo Amir. Sama seperti Raja Banggai terakhir bukan Syukuran Aminudin Amir melainkan Nurdin Daud.

ASPEK RASIO KETERSINGGUNGAN

Penggalan sejarah diatas jelas menguraikan bagaimana struktur,peran dan fungsi serta mekanisme rotasi kepemimpinan dalam Batomundoan Banggai. Dimana seorang Tomundo (Raja) Banggai yang sah dan legal secara konstitusional dalam Batomundoan Banggai ketika dikukuhkan oleh Basalo Sangkap selaku pihak yang memiliki kewenangan prerogatif untuk mengangkat dan melantik raja-raja Banggai.
Sehingga ketika kita bicara tentang Tomundo yang legal sebagai simbol masyarakat adat Babasal atau sebagai simbol Batomundoan Adat Banggai, maka akan memantik logika nakal kita untuk mengorek, soal keabsahan Tomundo dan kepantasan kita untuk turut tersinggung apabiala ada pelecehan terhadap simbol-simbol adat. filterisasi tentang esensi legalitas dan kepatutan eksitensi dari simbol-simbol tersebut perlu dilakukan untuk mengantar kita pada kebenaran sejarah, sehingga nantinya akan sangat logis untuk kita merasa perlu tersinggung atau tidak dalam kapasitas kita sebagai masyarakat adat. Sebab jika kita tidak melihat dari sisi yang paling ideal dan logis pada konteks mekanisme dan aturan formil adat, maka akan sangat prematur dan rancu bila kita langsung menjustification bahwa sikap dan pernyataan seseorang yang bersinggungan dengan obyek sentilan secara pribadi adalah penghinaan dan pelecehan adat, lantas kitapun marah dan berkesimpulan pula bahwa itu adalah penghinaan adat secara masif, apalagi sampai kita mengeluarkan sanksi pengusiran kepada seseorang. Sementara obyek sentilan yang kita figurkan sebagai simbol adat itu tidak memiliki kapasitas adat yang jelas apalagi legal, artinya:

Pertama; Kalau ada seseorang yang divonis telah menghina dan melecehkan adat Banggai lantas diberikan sanksi pengusiran dari wilayah hukum adat Banggai, maka tentunya harus dillakukan sesuai dengan mekanisme pengambilan kebijakan adat yang baik dan benar berdasarkan ketentuan adat yang baku. Sehingga sikap dan reaksi kita dalam menyikapi hal-hal tersibut tidak mencideari nilai-nilai keadatan itu sendiri, jangan sampai kita merasa marah kepada mereka yang meludahi adat tetapi kita juga sebagai putera daerah yang mengaku tau adat justru adalah orang yang senang dan  sering mengingkari adat.
Harusnya sanksi pengusiran dari wilayah hukum adat Banggai baru dapat dikenakan kepada sesorang dengan alasan-alasan yang sangat logis dan mendasar, dengan terlebih dahulu mempertimbangkan kadar kesalahan seseorang yang dalam hukum adat Banggai disebut “Molokis-Lokis Tano” dimana seseorang dipandang telah berkhianat dan melakukan kesalah besar yang tidak bisa diampuni, sehingga harus dibuang bimbang dan diusir paksa meninggalkan tanah Banggai, Akan tetapi ketika seseorang telah banyak melakukan pengabdian dan membangun tanah adat Banggai maka tidak ada alasan untuk melakukan pengusiran terhadapnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Lembaga Adat Banggai (LAB) Hamsen B.Kuat dalan nota penjelasan LAB beberapa wakttu lalu yang dilansir oleh media massa 25 April lalu.
Kalaupun toh sanksi pengusiran itu pantas dan harus diberikan kepada seseorang karena telah terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindakan molokis lokis tano, maka keputusan eksekusi itu merupakan domain Dewan Adat yang terdiri dari TOMUNDO (inklut staf eksekutifnya/komisi Sangkap) dan BASALO SANGKAP tentunya melalui proses pengkajian dalam SEBA (Musyawarah) Dewan Adat Batomundoan Adat Banggai. Sebab jika bicara tentang perangkat adat yang legitimate, maka kedua komponen inilah sumber kebijakan adat yang final pada setiap pengambilan keputusan adat yang strategis dan urgen.  Konkritnya sanksi pengusiran kepada Murad Husain dan Herwin Yatim dari wilayah hukum adat Banggai hanya dapat dilakukan dan dinyatakan syah serta memiliki kekuatan hukum adat apabila direkomendasikan oleh mereka yang berkompeten yaitu Tomundo dan Basalo Sangkap, dengan demikian maka rekomendasi sanksi pengsiran kepada Murad Husain dan Herwin Yatim yang dilakukan oleh Lembaga Adat Banggai yang ditandatangani oleh unsur lembaga adat tersebut sangat irasional dan tidak berdasar. 

Kedua; Kalau toh ada sindiran seseorang secara lisan terhadap figur tokoh adat Banggai  Hideo Amir dengan menggunakan kosakata Anak Selir, Ko dan lain sebagainya, maka juga sangat prematur untuk kemudian kita terjemahkan sebagai bentuk penghinaan dan pelecehan kepada sosok Tomundo Banggai, apalagi sampai kita mengeksplorasinya menjadi isu penghinaan adat dan masyarakat Babasal. Tanpa telaah obyektif tentang kapasitas dan legalitas pihak yang difigurkan sebagai Tomundo Banggai sesuai dengan ketentuan konstitusional Batomundoan adat Banggai yang baku. Sebab Tomundo atau Raja Banggai yang sah dan legal hanyalah mereka yang terlegitimasi sesuai dengan mekanisme yang benar. idealnya kita bisa mengatakan bahwa pernyataan itu merupakan bentuk penghinaan terhadap icon masyarakat adat Babasal, jika figur yang disindir atau dilecehkan  itu adalah benar-benar Tomundo Banggai. Tetapi bila yang dilecehkan hanyalah icon imitasi, maka sangat tidak tepat kalau kita masyarakat adat Banggai (Babasal) menilai bahwa itu adalah penghinaan terhadap simbol adat Banggai dan kita patut tersinggung dan marah.
Ketiga; ketika kita harus marah dan turun ke jalan meneriakan ketersinggungan itu, dengan mengatasnamakan koalisi masyarakat adat Babasal atau apapun nama frontnya, pertanyaannya apakah iya sikap itu telah merefrentasikan ketersinggungan publik adat Banggai yang meliputi Adat Banggai, Balantak dan Saluan secara kolektif, ataukah hanya merupakan refrensentasi dari salah satu komponen masyakat adat tersebut ?. Apakah benar komunitas masyarakat adat Banggai yang mayoritas berada di wilayah Banggai Banggai Kepulauan turut merasa tersinggung, apakah juga benar mayoritas masyarakat adat Balantak dan Saluan juga merasa tersinggung ?, kalau jawabannya iya maka sah-sah kita menyampaikan aspirasi didepan publik dengan cara seperti itu, karena hal tersebut merupakan hak konstitusional kita sebagai Warga Negara Indonesia dialam demokrasi seperti ini. Tetapi  kalau jawabannya tidak, maka sangat tidak elegan kiranya ketika kita harus mengatasnamakan ketersinggungan masyarakat adat Babasal secara kolektif demi melegalisasi ketidak puasan dan ketersinggungan pribadi atau kelompok orang tertentu yang bermotif pilitis.
Semestinya kalau memang pernyataan Murad Husain yang ditujukan kepada Hideo Amir atau pihak mereka yang merasa orang istana, berindikasi melanggar hukum, maka kasus yang dianggap melecehkan tersebut harusnya dibawah kerana hukum positif dengan dalil pengaduan berupa perbuatan tidak menyenangkan atau pencemaran nama baik. ***

NB: Catatan ini sebelumnya pernah dipublikasikan pada media massa local   (Luwuk Post) edisi  8 -13 Juni 2011