Oleh : AB. Fathan Luasusun
“Abraham
Lincoln, berkata : “One cannot escape
history, orang tak dapat meninggalkan sejarah”, tetapi saya tambah: “Never leave history”. inilah sejarah
perjuangan, inilah sejarah historymu. Peganglah teguh sejarahmu itu, Never leave your own history!....Jika
engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan
berdiri diatas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa
amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit didalam gelap”.
Kutipan
diatas, adalah penggalan pidato terakhir Bung Karno, yang disampaikan secara
resmi di depan sidang MPRS, pada peringatan HUT RI, 17 Agustus 1966. Pidato
Jasmerah, sebuah pidato yang dinilai media, sebagai pembelaan terhadap Partai
Komunis Indonesia (PKI), karena dalam pidato tersebut Bung Karno juga menyentil
Supersemar, yang menurutnya telah dibelokan menjadi Surat Penyerahan Kekuasaan (transfer of power) jauh dari sejatinya,
yang hanya merupakan perintah kepada Jenderal Soeharto untuk melakukan
pengamanan atas situasi buruk, menyusul terjadinya peristiwa G 30 S/PKI yang
oleh Bung Karno disebut Gestok.
Diluar
dari penilaian politis itu, Roso Daras (2001) dalam bukunya yang berjudul :
Aktualisasi Pidato Terakhir Bung Karno: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah,
memandang bahwa, pemikiran dan penuturan Bung Karno tersebut bersifat everlasting...evergreen..tak lekang
dimakan waktu, selalu relevan dalam berbagai dimensi ruang dan waktu, bukan
hanya pada konteks keindonesiaan yang jamak, tapi pada konteks kedaerahan kita
yang khusus. Sehingga wejangan terakhir Bung Karno ini, adalah seruan yang
harus terus digaungkan sepanjang zaman. Sebab, pesan dalam pidato itu, bukan
hanya menjelaskan sikap politik Bung Karno, melainkan mengajari kita tentang
filosofi sejarah. Itulah, mengapa, Bung Karno bahkan harus berulang-ulang
memberi tekanan ihwal pentingnya sejarah. Sampai-sampai ia menyebut sejarah
sebagai hal terpenting yang harus dipelajari segenap anak bangsa, bila tak
ingin tercerabut dari akar sejarahnya.
Mian
Banggai adalah bagian dari anak bangsa itu, mengerti dan
menghormati sejarahnya adalah niscaya, agar dapat menterjemahkan sejarah
peradabannya sendiri. Bila sejarah yang telah terdefinisikan oleh Bung Karno
dalam pidato Jasmerah, baru sejarah perjuangan dan pergerakan saja, dalam
merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, dimana ada kebersamaan dan kontribusi
tritunggal ideologi Nasakom, sementara bahaya laten komunisme belum
terdefinisikan olehnya. Pada area kekinian, jika kita menggunakan logika
terbalik yang berbeda dengan pandangan Bung Karno terhadap PKI, maka Jasmerah
menjadi relevan untuk diingatkan kembali kepada setiap anak bangsa, tentang “kesadisan
PKI dalam membunuh Tujuh Jenderal”, meskipun dalang dari aksi ini masih perlu
diperdebatkan. Tetapi yang pasti, kalau kita menggunakan slogan Jasmerah itu,
maka pesannya adalah, jangan sekali-kali melupakan sejarah kesadisan PKI.
Begitupun, bila kita mengesernya pada area Sejarah Peradaban Banggai, maka
pesannya yakni, jangan-sekali-kali melupakan kesadisan Tobelo, atau jangan
sekali-kali merelakan Banggai terjajah kembali oleh Ternate. Ingat sejarah, dan
rasa ketidakrelaan ini, juga pernah dialami dan dilakukan oleh tokoh politik
era renaisance Nicollo Machiavelli, kala
ia menulis surat-surat anjuran tentang bagaimana merebut dan mempertahankan
kekuasaan kepada sang penguasa Florence, Pangeran Lorenzo de’Medici (1512-1737),
karena terdorong oleh patriotisme dan nasionalismenya, ia tidak menghendaki
Italia kembali menjadi bangsa yang lemah dan terjajah berkepanjangan oleh
Francis dan Spanyol secara bergantian seperti di masa lalu. Dan sikap ini,
harus pula kita miliki sebagai anak negeri yang pernah terjajah.
Mengapa
musti demikian, karena dalam derita panjang, sejarah Banggai, indentitas “Ternate”
dan “Tobelo” merupakan satu kesatuan tubuh. Ternate merujuk pada Kerajaan di
bagian Utara Kepulauan Maluku yang merupakan sekutu Vereeniging Oast Indische Compagnie (VOC) Belanda yang menjajah negeri
Banggai selama 201 tahun, sejak raja Mbulang dipaksa oleh Sultan Ternate untuk
menandatangani Kontrak I dengan Ternate dan VOC Belanda pada tahun 1689 hingga tahun
1900 pada masa raja Abdul Azis sebelum kemudian Korte Verklaring ditandatangani oleh raja Abdul Rahman di tahun
1908. Sementara Tobelo bukan hanya menunjuk pada salah satu wilayah Kesultanan
Ternate seperti Galela, Jailolo, Sula, dan Bacan, tetapi Tobelo menitik pada
gerombolan perompak (bajak laut) dan perampok dari Ternate dan Tidore yang sering menyerang dan
menjarah harta benda orang-orang Banggai, baik saat tenang maupun saat perang, sehingga
kerapkali terjadi perselisihan dan pertumpahan darah dengan Talenga-talenga (para kesatria) Banggai,
baik itu di Pulau Banggai, Pulau Peling, Pulau Labobo, Pulau Bangkurung dan Pulau
Bokan serta di wilayah Banggai darat. Sikap barbarian gerombolan ini, begitu
lekat dan menyisakan traumatik dalam perjalanan hidup Mian Banggai, bahkan acap kali kita mendengar orang-orang tua di
kampung kita, sering mempersonifikasikan anak-anak mereka yang bandel, urakan, dan
suka bertengkar dengan ungkapan “Pokakanamo
Kai Ko Tobelo Miano” suatu tutur yang menunjukan betapa “Tobelo” telah
menjadi stigma negatif, sehingga para orang tua kita, menyiratkan agar kita
tidak mengikuti karakter gerobolan Tobelo masa lalu.
A.
Penjajahan
Ternate dan Sekutunya
Kehadiran
Portugis dan Spanyol yang semula di sambut baik oleh Sultan Ternate berubah
menjadi kebencian, dikala kedua Bangsa Eropa itu kian bernafsu menguasai Ternate,
upaya mengusir Portugis dan Spanyol dilakukan Sultan Khairun dan dilanjutkan
oleh Sultan Baabullah (1570-1583) dengan meminta bantuan Kesultanan Demak dan
VOC Belanda. Demak mengirim bantuan tanpa syarat sebagai bentuk solidaritas
sesama Kerajaan Islam, dibawah pimpinan Raden Cokro yang kemudian sesampainya
di Ternate didaulat sebagai Panglima Perang oleh Sultan Babullah (1 Moh.Yamin,1985).
Sementara VOC Belanda bersedia memberikan bantuan dengan syarat mereka diberikan
otoritas pula dibeberapa wilayah kekuasaan Ternate, termasuk Banggai sebagai
jaminan karena posisi Ternate yang merupakan leenheffer (penerima pinjaman/bantuan perang) pada VOC (2 Francois Valentijn,1880).
Meskipun
proses integrasi Kerajaan Banggai kewilayah Kesultanan Ternate tidak melalui
invasi militer, karena kehadiran Raden
Cokro di negeri Banggai sebagai sosok pembawa kedamaian atas gejolak
internal Kerajaan Banggai, yang karena kebijaksanaannya, Raja Banggai kala itu,
yakni Adi Lambal Polambal dan keempat penasehatnya (Basalo Sangkap) secara suka
rela menawarkan pemerintahan kepadanya sebagai Adi (raja/tomundo) yang baru.
Namun posisi
Raden Cokro yang berlabel Panglima Perang Kesultanan Ternate, serta posisi
Maulana Prince Mandapar yang dijemput dari Ternate oleh Basalo Sangkap untuk
menjadi Raja Banggai selanjutnya setelah 10 tahun Kerajaan Banggai ditinggal
pergi oleh sang Ayah Adi Cokro, menjadi legitimasi dari klaim Ternate atas Banggai
sebagai wilayah taklukannya. Oleh karena, Ternate menganggap merekalah yang
menghadiahi Banggai raja (pemimpin), walaupun secara genetik, baik Raden Cokro
(Jawa) maupun Mandapar (Jawa+Portugis) tidak memiliki darah Ternate.
Memang pada masa Adi Cokro Mbumbu doi Jawa (1575-1590), Mandapar Mbumbu doi Godong (1600-1630), Molen Mbumbu doi Kintom (1630-1648), dan Paudagar
Mbumbu doi Beteng (1648-1689). Banggai
tidak memberi penghormatan kepada Ternate sebagai suatu negara taklukan. Karena
di era Adi Cokro dan Mandapar, Banggai masih dianggap sebagai keluarga Kesultanan
Ternate, sedangkan pada era raja Molen dan Paudagar, Banggai berada dalam
kekuasaan Kerajaan Gowa sampai tahun 1667, saat Perjanjian Bongaya (Het Bongaisch Verdraag) yang
diprakarsai Gubernur VOC, Cornelis Speelman ditandangani empat raja,
diantaranya adalah raja Gowa Sultan Hasanuddin dan raja Ternate Sultan Mandarsyah,
yang salah satu isi perjanjian tersebut adalah; kerajaan Gowa harus melepaskan seluruh haknya terhadap
Pulau Banggai dan Pulau Gapi (Peling).
Efek samping dari Perjanjian Bongaya, yang telah
melumpuhkan perlawanan Sultan Hasanuddin atas monopoli dagang Belanda, yang
menginspirasi pemberontakan raja Mbulang terhadap VOC dan Sultan Ternate, turut
pula dirasakan Banggai. Setelah tahun 1675 Banggai kembali
dalam kekuasaan Ternate pada masa Sultan Mandarsyah (1648-1675) yang sangat
berpihak kepada Pemerintahan Hindia Belanda, dan disertai penandatangan
perjanjian antara Sultan Sibori (1675-1691) dengan VOC Belanda pada tanggal 7
Juli 1683 yang merupakan peresmian dari kesepakatan jahat Ternate dan Belanda
atas wilayah-wilayah taklukan Ternate termasuk Banggai, sebagai kompensasi jasa
baik VOC yang telah sukses membantu Ternate mengusir Portugis dan Spanyol di
1575 dan jasa sudah membantu mengembalikan Banggai ke tangan Ternate dari kekuasaan
Gowa, memaksa Tomundo XII, Mbulang Mbumbu
doi Balantak (1689-1705) harus
tunduk dan menandatangani Kontrak I
dengan VOC Belanda pada tanggal 26 Januari 1689 (3 Dormier, Banggaishe Adatrecht ,1945).
Isi
kontrak I ini, menjadi titik awal dilucutinya segala kemerdekaan Banggai dalam
menentukan peradabannya, disinilah kisah penjajahan Ternate dan sekutunya compagnie Belanda kepada Banggai secara de jure dan de facto dimulai. Dr. J.J. Dormier (Abdul Barry,2016:36), terdapat
4 (empat) point dalam perjanjian (Kontrak I) tersebut yang semuanya merugikan
Banggai, yaitu :
1) Banggai
harus memberikan bantuan berupa makanan dan balatentara kepada compagnie dalam peperangan di Sulawesi
dan Maluku; sebelumnya Banggai tidak ikut memberikan bantuan.
2) Banggai
dilarang melakukan pengangkatan petinggi kerajaan (Komisi Sangkap) yang terdiri
dari (mayor ngopa, jogugu, kapitan laut, hukum tua), tanpa izin compagnie Belanda bersama Sultan Ternate;
sebelumnya pengangkatan komisi sangkap merupakan hak prerogatif raja dengan
pertimbangan Basalo Sangkap tanpa harus seizin Compagnie dan Sultan.
3) Raja
Banggai baru, harus dipilih oleh Gubernur VOC, Sultan Ternate dan Bobato
Banggai), dengan mempertimbangkan tingkahlaku jahat Raja (harus setia kepada
VOC dan Sultan); sebelumnya Raja Banggai baru dipilih dan dikukuhkan oleh
Basalo Sangkap bukan oleh Gubernur VOC, Sultan Ternate dan Bobato Banggai.
4) Raja
Banggai harus memberikan penghormatan (upeti) kepada Sultan Ternate setiap
tahun, termasuk pula pengiriman budak (ata) ke Ternate; sebelumnya tidak ada
pemberian upeti dalam bentuk apapun.
Perjanjian
ini kemudian diperbaharui dengan penandatanganan Kontrak II pada tanggal 9
November 1741 oleh Tomundo XIV, Abu Kasim Mbumbu
doi Bacan (1728-1753) yang tak lain adalah putra dari raja Mbulang dengan
penambahan point ditempatkannya seorang “utusan”
berpangkat kopral dan empat orang prajurit, sebagai perpanjangan tangan Sultan Ternate
yang bertugas membantu Raja Banggai melaksanakan pasal-pasal perjanjian dimaksud.
Pada perkembangannya, peran “utusan” ini kian besar, karena utusan tersebut
telah; (a). Memegang fungsi pemerintahan, (b). Semua kebijakan kerajaan harus
sepengetahuan dan persetujuan utusan, dan (c). Mempunyai hak veto atas keputusan
raja bersama para penasehatnya (Basalo Sangkap). Meski demikian, raja Abu Kasim
secara sembunyi-sembunyi menjalin kerjasama dengan raja Bungku untuk melepaskan
diri dari kekuasaan Ternate, namun belum sempat melakukan konfrontasi, rencana
itu diketahui oleh Ternate dan VOC, Abu Kasim lantas ditangkap dan di buang ke
Pulau Bacan. (4 ibid,Dormier).
B. Perang Tobelo, Perang Melawan
Penjajah
Menghadapi
konfrontasi Banggai yang hendak melepaskan diri, Ternate mengerahkan
orang-orang Tobelo yang selama ini dikenal oleh orang Banggai memiliki watak
barbarian sebagai prajurit Kesultanan Ternate, mereka diperintahkan oleh
Kesultanan Ternate untuk menyerang, mengintimidasi dan melakukan berbagai macam
teror agar orang-orang Banggai menyerah dan takut memperjuangkan kemerdekaannya.
Itulah sebabnya perjuangan kemerdekaan Banggai atas Ternate yang di back up VOC Belanda di kenal dengan nama
“Perang Tobelo” karena mayoritas prajurit Ternate itu adalah orang-orang
Tobelo, selain orang-orang dari Galela, Sula, Bacan dan wilayah lainya.
Kurang
lebih 81 tahun diam karena terkungkung oleh berbagai aturan perjanjian (kontrak
I & II), setelah raja Mbulang dipaksa menyerah, dan rencana perlawanan raja
Abu Kasim terendus, timbulah perlawanan Tomundo XVIII, Atondeng Mbumbu doi Galela (1809-1821), namun konfrontasi Atondeng
berhasil di gagalkan, ia ditangkap dan diasingkan ke Galela
(Pulau Halmahera). Setelah Atondeng, pecahlah Perang Tobelo paling legendaris
dalam sejarah Kerajaan Banggai dibawah kepemimpinan Tomundo XIX, Agama Mbumbu
doi Bugis (1821-1827). Agama memimpin perlawanan rakyat Banggai dari “kota
tua” benteng Banggai Lalongo, ratusan syuhada gugur dalam perang yang tanpa kemenangan
itu, karena sang Mbumbu tak mampu
membendung serangan pasukan Tobelo, ia terkepung dan nyaris terbunuh, sebelum akhirnya
dapat diloloskan oleh orang-orang setianya ke tanah Bugis (Bone) hingga mangkat
disana, ia digelari anumerta Mbumbu doi
Bugis, “Tomundo Agama Mbumbu doi Bugis” yang berarti, Tuanku Raja Agama Meninggal
di Tanah Bugis (5 ibid).
Sepeninggal Agama, upaya Banggai untuk
memerdekakan diri, dari penjajahan Ternate dan sekutunya VOC Belanda masih terus
dilakukan oleh 2 (dua) raja berikutnya, meskipun eskalasi perlawannya tidak
lagi sebesar dan semasif perlawanan raja Agama. Tercatat usaha
serupa juga dilakukan kakak beradik Tomundo XX, Laota Mbumbu doi
Tenebak (1827-1847) dan Tomundo XXI, Tadja Mbumbu doi Sau (1847-1852) namun mudah saja dipatahkan, raja Laota takluk
dari tentara Tobelo, ia di tanggap dan dibuang ke Tenebak, Pulau Halmahera,
begitu pula perlawanan sang adik raja Tadja, ia bernasib sama ditangkap dan
diasingkan ke Sau (Pulau Bacan) hingga wafat ditempat pengasingannya (6
ibid).
Setelah Laota dan Tadja, perlawanan raja-raja
Banggai sempat meredup, baru kemudian berkobar kembali pada masa Tomundo XXV,
Tuu-Tu Abdul Azis (1882-1900), Abdul Azis dengan gagah berani melakukan
konfrontasi terhadap Ternate dan Belanda, semua “Utusan” Sultan Ternate dan VOC
Belanda yang sejak penandatangan Kontrak
II tahun 1941, mulai berada dan berperan sangat dominan dalam pengambilan kebijakan
dilingkungan kerajaan, karena merupakan perpanjangan tangan Sultan Ternate dan
VOC Belanda, oleh Tuu-Tu Abdul Azis, di usir dari wilayah Kerajaan Banggai. Begitu
tegasnya terhadap Ternate dan VOC, ia dikenal dengan prinsip perlawannya yaitu “Olumpaiyo Loluk Nanggu Bangke, Sodo Alanda
Mola na Usok doi Tano nia (Langkahi dulu mayatku, baru Belanda bisa masuk di Negeri
ini)”. Inilah masa dimana Kerajaan Banggai sempat menikmati manisnya
kemerdekaan dari penjajahan, meskipun singkat, hanya 18 tahun, sampai ketika
Abdul Azis mendapatkan konspirasi dari Belanda dan Ternate hingga akhirnya
wafat di tanah suci Mekkah (7 Mondika,2008:64).
Selain
perlawanan yang dipimpin oleh raja-raja Banggai, terdapat pula kisah kepahlawan
para ksatria yang berasal dari masyarakat yang dengan gagah menghadapi serangan
para perajurit/perampok orang-orang Tobelo
yang sering datang menyerang daerah-daerah perkampungan masyarakat
Banggai, kita pernah mendengar legenda tentang seorang Pangkeari Tomundo
Kadupang, bernama Mata Timbaling, yang karena keberaniannya sukar ditandingi,
ia harus dibunuh secara licik saat meneguk minuman (8
Abdul Barry,2016:10), atau tutur tentang Talenga Sendeng dari wilayah Tonuson, Talenga Laginda yang melawan Tobelo di
wilayah Balantak sampai Totikum, yang konon tertangkap dan terbunuh disekitar
wilayah Tanjung Pemali. Di Banggai darat ada kisah Talenga Banggi Tandos yang berjuluk Loinang Matangkas dari
Kamumu-Keleke, Talenga Bongon dari
wilayah Kilongan-Boyou yang legenda keberaniannya melawan Tobelo menjadi
asal-usul nama lokasi Lumuan di Desa Biak (9 Djalumang,2012),
dan kisah Talenga Unjok dari Batui
yang sempat diragukan keinginannya bergabung dalam armada tempur yang berangkat
ke Banggai, namun menjadi orang paling perkasa dimedan perang dalam menghadapi
Tobelo. Serta cerita kesatria Banggai dari suku sama (bajo) Kalumbatan, seperti
Talenga Mbo Mangatti dan Talenga Mbo Totto yang dengan gagahnya memimpin
perang laut di wilayah perairan Banggai hingga Salabangka, menghadapi serangan
Pakata-pakata/armada laut Tobelo (10 Nasir,2015:66),
serta masih banyak lagi kisah perlawanan Talenga-talenga Lipu Banggai terhadap
Tobelo, yang jelas cerita tentang perlawanan Mian Banggai dari berbagai
etnik (Banggai, Saluan, Balantak dan Sama) kepada Ternate dengan para prajurit
Tobelonya, adalah kisah tentang pembelaan tanah air, kisah tentang upaya
mempertahankan hidup dan memperjuangkan kehormatan negara (Kerajaan Banggai)
dari penjajahan Ternate dan VOC Belanda, yang masih akan terus hidup dan
menjadi pengantar tidur bagi anak-anak negeri Banggai sehingga mereka tidak
akan mudah melupakan tragedi dari kisah kepahlawanan itu.
Demikianlah perlawanan raja-raja Banggai
serta para talenga-talenga Banggai dalam upayanya memerdekakan diri dari
imperialisme Ternate yang panjang. Setelah sempat menikmati kemerdekaan pada
masa Tuu-Tu Abdul Azis, Banggai kembali dalam kendali Ternate dan baru terbebas
pada tahun 1908, ketika Tomundo XXVI, Abdul Rahman
menandatangi Korte Verklaring
(pelekat pendek) dengan Ternate dan Pemerintah Hindia Belanda Kapten A.R.
Cherrissen, pada tanggal 1 April 1908, yang isinya: Banggai berstatus daerah
otonom (Goverment) lepas dari
Kesultanan Ternate namun mentaati aturan-aturan VOC Belanda,artinya Banggai hanya dipindahtangankan
oleh Ternate ke sekutunya Belanda untuk selanjutnya di jajah sepenuhnya oleh
VOC Belanda sampai pada tahun 1942.
C. Sebuah Ironi dan Kesimpulan
Catatan
refleksi ini, tentu bukan dimaksudkan untuk melanggengkan sentimen historis
masa lalu antar suku bangsa, atau menyerang dan mendiskreditkan salah satu kelompok
suku, agama dan ras, tetapi sekedar mengingatkan kembali kepada kita semua,
sebagai anak negeri Banggai, bahwa ada serpihan sejarah kelam tempo dulu, yang
tidak bisa kita biarkan terulang kembali diera kekinian dengan pola dan
motivasi yang berbeda, apapun argumentasinya, bila kita tidak ingin terjajah
dirumah sendiri.
Sehingga
sikap dan tindakan-tindakan konyol yang dapat menciderai nilai heroisme para Mbumbu dan Talenga Lipu tersebut tidak terhianati, karena sebagai generasi
penikmat buah sejarah para syuhada, kita bukan hanya memiliki tanggungjawab
untuk mengenang perjuangan mereka, tetapi kita berkewajiban menjaga serta meneladani
semangat dan nilai patriotisme mereka, dalam membela rakyat dan tanah air
tercintanya bumi Babasal. Kenapa demikian?, karena dewasa ini, ada banyak perilaku
anak-anak negeri yang ahistoris, padahal mereka mengaku mengerti sejarah dan
mencintai negeri ini. Dalam catatan penulis, setidaknya ada 2 (dua) peristiwa
ironis yang pernah terjadi dan dilakukan oleh tokoh-tokoh adat dan para aktivis
Banggai, yaitu :
a) Pada
Februari 2007 silam, ketika Ibukota Banggai Kepulauan dipindahkan ke Salakan
oleh Bupati Banggai Kepulauan yang baru, untuk melaksanakan amanat Pasal 11 UU
Nomor 51 tahun 1999 dan risalah kesepakatan antara Pemkab dan Polres Bangkep,
Pempropv.Sulteng serta Direktur Otda Depdagri pada tanggal 5 Oktober 2006 (11
Mondika,2008:91), munculah
suatu wacana dan keinginan untuk menyerahkan diri (Banggai Laut) ke penjajah Ternate
(bergabung dengan Provinsi Maluku Utara).
b) Ditahun
yang sama, sekitar Maret 2007, ketika kisruh pemindahan ibukota itu terus memanas,
dalam satu kesempatan Sultan Mudafarsyah dari Ternate datang berkunjung ke Banggai
(kota Luwuk), ia disambut dengan arak-arakan dan bahkan di gotong bak pahlawan
Jenderal Soedirman.
Bagi
penulis, kedua sikap dari peristiwa tersebut, adalah merupakan sebuah ironi
yang sangat memilukan sekaligus memalukan, sebab bagaimana mungkin kita hendak
menyerahkan diri dan meletakan kehormatan kita secara suka rela dibawah garis
kaki para kaum imperialis, bagaimana bisa kita memuja-muja dan meletakan kaum
imperialis diatas kepala kita dan biarkan mereka mengencingi sekujur tubuh kita,
sementara ratusan tahun yang lalu, leluhur kita berjuang berdarah-darah untuk
membebaskan diri dari rantai mereka. Terlepas kemudian, sikap dari peristiwa
itu dilakukan dalam kondisi emosional, atau hanya sekedar manuver dan sugesti
politik belaka, sebagai reaksi dari kekecewaan terhadap penguasa, terkait
kebijakan pemindahan ibukota, atau pula hanyalah cermin dari budaya kesantunan
kita dalam menerima tamu, tetapi sikap itu, dalam perspektif teori politik
kekuasaan, sungguh tidak bermartabat, karena bertentangan dengan esensi kemerdekaan
yang diperjuangkan oleh para kesatria Banggai, apalagi sikap tersebut dilakukan
kepada eks penjajah.
Mungkin,
selain faktor kekecewaan dan kesantunan kita yang kebablasan, sikap dan
perilaku dari peristiwa semacam itu, terjadi karena kita tidak mengerti dengan
benar sejarah kita, atau kita tahu dan mengerti, tetapi pura-pura lupa dan
tidak mengerti, hanya karena ego pragmatisme sesaat kita, atau karena “mungkin”
secara genetik, dalam tubuh kita, telah
teraliri darah penjajah, darah pecundang dan penghianat, serta darah pelaku
culas. Sehingga kita begitu bangganya dengan identitas ke“banggai”an kita yang
palsu ditengah hiruk pikuk dinamika daerah, oleh sebab itu, wajar kiranya kalau
kita membuat tindakan yang menjurus pada pengkultusan penjajah Ternate.
Karena
memang, dalam album historial Banggai, bukan hanya kisah kepahlawanan para Mbumbu dan Talenga yang diurai, tetapi kisah tentang para pencundang dan
penghianat, serta pelaku culas (licik) juga dihikayatkan. Seperti kisah pecundang
dan penghianatan yang ditulis Dormier dalam Banggaishe Adatrecht (1945), bahwa pernah ketika perlawanan
rakyat Banggai terhadap Tobelo (Ternate) digelorakan, ada 2 (dua) kepala
wilayah (Basalo) yang bermental dan berperilaku sebagai pecundang, yaitu Basalo
Liang (Saleati) dan Bosanyo Batui, karena alasan klasik yang serupa yakni
mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan Ternate, Basalo Liang
memutuskan tidak ikut dalam perang yang dipimpin oleh raja Banggai, sementara
Bosanyo Batui menarik diri dari komitmen perang yang telah disepakati, dengan
tidak mengirimkan armada perangnya ke Banggai disaat perang dimulai hingga
selesai.
Atau
kisah perilaku culas sang negosiator raja, bernama Tampuyak Budul yang merusak
citra Mian Tuu, ia mengambil hak milik, hasil kebun rakyat dalam “jumlah yang banyak (besar) menggunakan
kode“mian tuu” yang selama ini menjadi tanda khusus untuk dan digunakan oleh
dewan kerajaan, Mian Tuu (Liang, Basaan, Palabatu, dan Lipu Adino) ketika
mereka “mengambil seperlunya” milik
rakyat dikala mereka kehabisan bekal dalam perjalanan melaksanakan tugas negara
(kerajaan), tanpa harus memberi tahu terlebih dahulu kepada yang empunya kebun,
karena rakyat sudah sangat percaya dengan moral Mian Tuu, sehingga mereka tidak
keberatan, bahkan bersyukur karena merasa telah turut membantu memperlancar
tugas-tugas negara. Akibat ulah Tampuyak Budul, integritas Mian Tuu tercoreng,
bahkan tidak lagi dipercaya oleh masyarakat, padahal pelakunya bukan Mian Tuu (12
Mondika,2008:29).
Dari refleksi ini, kita
akan menentukan posisi dan peran apa yang hendak kita lakoni, apakah kita akan
memerankan diri sebagai dalang atau wayang ?, sebagai pecundang dan penghianat
atau sebagai pelaku culas, yang surut dan lari dari garis depan perjuangan ?,
atau saling memfitnah sesama saudara dan membiarkan orang lain tertawa dan
mengambil peluang ?, atau kita akan memerankan diri sebagai kesatria, yang
berada di garda depan, dalam derap langkah yang satu dan seirama untuk
menghadang serangan lawan ?, semua alternatif dari pertanyaan-pertanyaan itu,
jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Semoga kita benar-benar menemukan
jawaban yang tepat, sehingga di bulan kemerdekaan ini (Agustus), bukan hanya
sekedar menjadi bulan kemerdekaan bagi NKRI saja, atau bulan kemerdekaan untuk kita
bebas mencari dan melakukan ekspansi wilayah koloni baru, atau sebaliknya,
sebagai bulan kemerdekaan kita yang terakhir sebagai suatu suku bangsa yang
pernah terjajah oleh suku bangsa lain, mungkin kita nanti memang secara fisik,
masih merdeka sepanjang kita berada dalam rumah besar NKRI, tetapi secara sikis
kita telah terjajah. Tabea, Soosa Mbumbu
Kadupang doi tano telendangan-Lipu Belebentu (Sampekonan), mu-sau lelo moinsale
lipu na monodokan.(****)
Penulis
bukanlah siapa-siapa, penulis hanyalah“banggapi”yang selalu tergetar hatinya
oleh cinta negeri, karena seluruh jiwa, nadi, tulang dan sum-sumnya bermerek
Sea-Sea Banggai.
Artikel
ini pernah dimuat di Koran Mingguan Suara Rakyat, Edisi VI Minggu ke-4 Agustus
2016 dan Edisi VII Minggu ke-2 September 2016.